“Kita hanya perlu kecewa, kemudian pergi tanpa harus berbohong lagi.”
_____________________________________GESA begitu serius mengendarai mobil, sedangkan Yasa hanya duduk di kursi penumpang dengan keheningan. Ternyata, Yasa salah. Serapat apa pun dia menutup mata pada kenyataan. Nyatanya, dia tak bisa terus-terusan mengelabui kebohongan. Yasa tetaplah seorang perempuan yang Gesa beli. Yasa tetaplah sebatas tempat pelarian Gesa saat dunia Elfara hancur. Hanya rahim Yasa yang Gesa inginkan. Hanya anak dalam kandungan Yasa yang menjadi tujuan Gesa.
Sekarang, Yasa tak tahu harus menyembunyikan harga dirinya di mana saat menemui orang tua Gesa. Haruskah Yasa menjadi wanita murahan yang menjajakan kehormatannya atau haruskah Yasa menjadi seorang penolong yang diberi sejumlah bayaran. Yasa tak tahu, orang tua Gesa akan menyambutnya dengan pelukan hangat atau malah meludahinya mentah-mentah.
Sekali lagi, Yasa usap perut bulat di balik bajunya, berharap bisa sedikit memberikan penawar atas kegundahan hati itu. Namun, tidak. Bahkan, bayi itu bukan milik Yasa.
Perjalanan panjang hari ini benar-benar menguras pikiran dan hati Yasa. Sudah banyak persimpangan jalan yang Yasa lalui bersama Gesa. Sudah tak terhitung pulang lalu-lalang kendaraan yang mereka lalui.
Entah sosok perempuan seperti apa yang akan Yasa temui hari ini.
Helaan demi helaan yang mampu Yasa dengar dari bibirnya sendiri. Dia pandangi jalanan panjang di depannya. Di mana jalanan itu akan berakhir? Puncak kebahagaiaan ataukah jurang kenestapaan.
“Kamu lelah, ya?”
Pertanyaan Gesa hanya Yasa balas dengan tatapan. Yasa pandang wajah elok itu dari samping. Tak ada alasan bagi Yasa untuk tidak menjatuhkan hatinya pada Gesa. Kecuali, fakta bahwa Gesa sudah dimiliki perempuan lain.
“Masih lama sampainya?” tanya Yasa.
Yasa tak mengerti. Rasanya, jalanan yang mereka lalui tak memiliki ujung. Sekarang, matahari sudah berada tepat di atas kepala, tapi Gesa tak kunjung membawa Yasa pada tujuan dari perjalanan mereka.
“Bentar lagi. Katanya, Mamah ada di rumah yang dulu. Jadi sedikit lebih jauh.” Gesa usap rambut legam Yasa. “Maaf, ya ... mau istirahat? Kita bisa mampir dulu, kalau kamu mau,” ucapnya.
Yasa hanya menggelengkan kepalanya.
“Atau ... mau tidur di mobil aja? Aku siapin tempat tidur di kursi belakang. Nanti, aku bangunin kalau udah sampai.”
Lagi-lagi, Yasa hanya menggelengkan kepalanya. Dia sendiri tak tahu apa yang dia inginkan saat ini. Dia hanya terdiam saat Gesa meraih tanganya. Pria itu memautkan jemarinya dengan indah. Bahkan, Yasa tetap terdiam saat Gesa mengecup tangannya.
“Yas ... apapun yang nanti Mamah katakan, tolong ... jangan diambil hati. Orang tua itu punya cara-cara yang berbeda untuk menunjukkan kasih sayang mereka. Ada orang tua yang menunjukkannya dengan ucapan lembut, ada juga dengan bentakan kasar. Tapi ... apapun yang mereka lakukan, pasti untuk kebaikan kita sebagai anaknya. Mereka marah karena sayang, mereka berteriak juga karena sayang.”
Gesa tak tahu bagaimana caranya menguatkan hati Yasa. Tiba-tiba, Gesa menghentikan laju mobilnya dan menepi di pinggir jalan yang cukup sepi.
“Yas ... apapun yang terjadi nanti, aku di pihak kamu.”
Yasa tak tahu apa yang ada dalam manik legam Gesa. Ketulusan ataukah kebohongan. Entah apapun itu, biarkan Yasa memilikinya sekali lagi. “Aku mau martabak.”
Gesa mengerjapkan matanya beberapa kali karena ucapan Yasa. Dia terkejut dengan kelakuan Yasa mulai berulah aneh. “Tiba-tiba banget?” tanyanya.
“Martabak manis pake toping selai stroberi, pake kacang, keju, sama ... kecap dikit.”
Gesa meringis mendengar perpaduan rasa yang Yasa inginkan. “Emangnya ada?” tanyanya.
“Bukan aku yang mau.” Yasa menunjuk perut bulat di balik midi dress miliknya. “Nih ... si kacang polong.”
Gesa tersenyum simpul. “Ada-ada aja maunya,” ucapnya. Gesa memeriksa jalanan di hadapan mereka. “Di sekitar sini gak ada yang jual martabak tapi. Kalau udah sampai di rumah Mamah, kita beli martabaknya, gimana?”
Yasa hanya mengangguk seperti anak kecil. Kehobongan kecil seolah menjadi penawar bagi Yasa. Dia tak peduli apa yang akan di hadapi nantinya. Dia tak peduli jika cacian yang akan terima. Dia juga tak peduli dengan kenyataan di depan mata mereka. Yasa ingin kecewa, begitu kecewa, saking kecewanya sampai dia mati akan rasa.
Tak terasa, perjalan yang mereka tempuh berlabuh pada sebuah rumah besar dengan cat putih. Di pekarangannya, ada taman kecil dan kolam ikan yang memiliki air terjun kecil. Gemercik air itu seakan menyambut kedatangan Gesa dan Yasa.
Dengan penuh kehati-hatian, Gesa mulai menuntun Yasa untuk masuk ke dalam rumah bergaya klasik itu. Berbeda dengan rumah yang Gesa tempati bersama Elfara, rumah ini jauh lebih sederhana. Ornamen tradisional menjadi pemeran utama di dalamnya.
“Tunggu dulu di sini, sebentar. Aku panggil Mamah,” begitu kata Gesa. Pria itu berjalan cepat, meninggalkan Yasa di ruang tamu sendirian.
Duduk sendirian seperti ini, membuat Yasa hanya bisa mengelus perutnya sendiri. Dia menggulirkan matanya ke setiap sudut rumah, mengabsen satu persatu benda di sana. Tak ada kemewahan di sana. Tak ada kerlap-kerlip kemegahan di sana. Semuanya seperti rumah, penuh dengan kenangan dan kehangatan yang berdikari dengan kokoh. Yasa tersenyum melihat deretan potret yang seakan memiliki kisah mereka masing-masing. Ada Gesa kecil di sana, Gesa yang menangis di pangkuan seorang perempuan cantik.
Tanpa sadar, Yasa melangkahkan kakinya. Dia ingin melihat dengan jelas bagaimana setiap kenangan itu bercerita. Sekarang, ada Gesa remaja di sana. Gesa yang bangga memamerkan medali pertamanya. Yasa yakin, Gesa dulu adalah jagoan kecil yang penuh dengan kejutan. Banyak sekali penghargaan yang Gesa dapatkan. Banyak juga kenalakan dan keakraban yang diabadikan oleh potret-potret itu. Mulai dari kenakalan Gesa di hari kelulusannya, hingga keakraban Gesa dan geng motornya.
Yasa sentuh setiap figura dari potret-potret itu. Sampai akhirnya, Yasa berakhir pada potret Gesa yang begitu gagah di hari pernikahannya bersama Elfara. Ternyata, senyuman Gesa tak berubah sejak dulu. Sepasang manik legam Gesa masih menjadi senyuman indah yang Yasa ingin miliki sepenuhnya.
Tak mau larut dalam hal takkan pernah Yasa miliki, dia memilih untuk kembali melangkahkan kakinya. Kali ini, Yasa berakhir di depan sebuah pintu kamar. Pintunya sedikit terbuka. Yasa bisa melihat Gesa ada di sana. Gesa yang kini sedang duduk berdua dengan seorang perempuan yang hanya bisa Yasa lihat bagian punggungnya saja. Mungkin, itu sosok Mamah yang akan Yasa temui. Tubuhnya tidak kurus, tapi juga tidak berisi. Rambutnya ditata rapi dengan warna putih yang hampir mendominasi seluruh warna rambutnya yang bergelombang.
“Yasa perempuan baik-baik, Mah.”
Samar-samar, Yasa bisa mendengar ucapan Gesa di dalam sana. Jantungnya tiba-tiba berdebar tak karuan. Diam-diam, Yasa mengeratkan genggaman pada tangannya sendiri dan dengan sekuat tenaga, Yasa menguatkan hati untuk mendengarkan obrolan Gesa dan ibunya.
“Gesa, gak ada perempuan yang mau diduakan! Apalagi ditipu!”
Yasa tertegun di ambang pintu. Dia tak ingin mendengar semua hal itu, tapi Yasa harus menghancurkan hatinya sekali lagi.
“Mamah gak ngerti, A ....” Ucapan Mamah di dalam sana terdengar begitu lelah. Perempuan berumur itu beranjak dari duduknya. “Jadi, kalian janji akan bercerai setelah anak itu lahir?”
Cukup, Yasa sudah cukup untuk menghancurkan hatinya. Dia berjalan untuk menjauhi kamar itu. Entah ke mana langkah itu akan membawanya pergi. Setidaknya, sekarang Yasa tahu bahwa dia tidak memiliki alasan untuk bermimpi indah lagi.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...