YASA Lelah. Dia lelah untuk terus mengawali harinya. Semakin hari, rasanya semakin berat. Bayangan akan hari esok terus menghantui Yasa. Entah hari seperti apa yang akan Yasa lalui hari ini dan akan seperti apa Yasa menutup harinya kali ini. Padahal, sekarang segalanya sudah tercukupi. Rumah mewah, masa depan Mala terjamin, bahkan Bapak juga mulai berangsur baik karena pengobatannya.
Mungkin tak salah kata orang, manusia itu tak pernah cukup dengan sekedar cukup. Manusia lebih menginginkan apa yang tidak mereka miliki, dan tak jarang pula mereka malah tidak menginginkan apa dimiliki. Yasa bukan tidak mau bersyukur, tapi dia tak tahu apa yang harus dia syukuri. Haruskah Yasa bersyukur untuk rumah mewahnya ataukah Yasa harus bersyukur untuk statusnya.
Hari ini, tepat satu bulan Gesa pulang ke Bandung. Entah apa yang terjadi dengan Elfara hingga terus menahan Gesa di sana. Pria itu seolah-olah sudah melupakan kehadiran Yasa. Yasa bukan merindu, tapi dia penasaran kenapa Gesa tak kunjung mengadu. Sejak hari itu berlalu, Yasa tak menerima satu kabar pun dari pria itu. Yasa tak tahu apakah Gesa baik-baik saja atau malah tengah tersedu. Yasa juga bukan menanti, tapi dia tak tahu kenapa Gesa tak kunjung kembali. Sejak hari itu Gesa pergi, Yasa tak mendengar Gesa mengucapkan janji untuk kembali atau memilih tetap pergi.
Sebetulnya, bisa saja Yasa menanyakan kabar lebih dulu, bisa saja Yasa mengirim pesan lebih dulu. Namun, untuk apa Yasa bertanya. Apa yang harus Yasa pinta kalau di sana Gesa baik-baik saja dan apa yang harus Yasa lakukan jika di sana Gesa tidak baik-baik saja. Rasanya, tidak perlu meminta Gesa untuk mengadu ataupun kembali. Karena, untuk kesekian kalinya, Yasa bukan merindu apalagi menanti.
Larut berkelana dengan pikirannya sendiri, Yasa sampai lupa alasan dia datang ke warung. Perempuan berwajah ayu itu terus memilah sayuran tanpa benar-benar dia pilih. Tangannya tak henti menyentuh setiap bungkus sayuran dalam gerobak kayu di sana.
“Neng Yasa mah enak, ya. Suaminya kaya raya. Beda banget sama kita-kita yang miskin raya, beli sayur aja masih ngutang.”
Celetukan itu sanggup menyadarkan lamunan Yasa. Dia tersenyum canggung pada beberapa perempuan berumur yang berdiri di hadapannya. Kekehan kecil dari bibir mungilnya juga tak kalah terdengar canggung.
“Kalau Yasa mah ... sekarang, tinggal duduk manis dan layani suami sepenuh hati. Udah, pasti bahagia dunia-akhirat,” celetuk yang lainnya.
Lagi-lagi, hanya kedua lesung pipinya sendiri yang bisa Yasa pamerkan. Perempuan itu kembali tersenyum meski dalam kecangguan.
“Oh iya, Yas. Siapa nama suami kamu teh?” tanya Bu Nita, perempuan sepuh berbadan sintal.
“Gesa,” jawab Yasa pelan.
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Bu Nita menepuk pundak Yasa hingga sang empunya meringis kesakitan. “Ih, Yasa ... A Gesa-nya disuruh ikut perkumpulan bapak-bapak di masjid atuh. Bentar lagi, kampung kita mau bikin acara. Suami kamu ajak untuk ikut. Biar berbaur juga sama bapak-bapak di sini,” ucap Bu Nita dengan nada bicara yang begitu menggebu-gebu.
“I—iya, Bu Nita. Nanti, aku tanya dulu.”
“Ih bukan ditanya, tapi diajak.”
Kali ini, Yasa hanya mangut. Dia memilih untuk segera memilah sayuran dan bahan masakan yang dia butuhkan hari ini.
“Kok dikit, Yas” Bu Nita kembali bertanya. Perempuan berumur itu tak henti menatap sayuran di tangan Yasa.
“Iya, Mala gak terlalu suka sayur. Bapak juga sama. Ini buat aku aja,” tutur Yasa penuh sopan santun.
“Suami kamu juga gak makan sayur?” tanya Bu Nita.
Sebenarnya, Yasa bukan tak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi dia terlalu jengah jika terus menjawab pertanyaan basa-basi dari Bu Nita. Yasa buru-buru mendekati si pemilik warung sekaligus membayar setiap hal yang sudah dia ambil.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
Roman d'amourKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...