34. Sangsi

17.9K 1.3K 78
                                    

"Cinta itu sebenarnya naif. Perasaan yang membuatnya sulit dan keegoisan yang menambahnya makin rumit."
_____________________________________



GESA tak kunjung menemui Elfara. Sungguh, Elfara tak mengerti apa yang terjadi dengan Gesa hingga dia lupa untuk datang ke sini. Tak biasanya Gesa melewatkan hari tanpa menanyakan kabar Elfara. Meski tidak datang, pria berahang tegas itu selalu menelpon. Padahal, luka di pergelangan tangan Elfara sudah mengering. Ruam merahnya sudah berganti hitam. Rasa perih dan panasnya juga sudah menghilang.

Haruskah Elfara melukai dirinya sendiri lagi?

Elfara menggelengkan kepalanya samar. Dia melangkah, mendekati jendela kamar yang mengarah langsung pada taman samping rumah sakit. Dia tatap segala hal yang bisa netranya rengkuh. Tawang di luar sana begitu menyilaukan mata. Horizon di luar sana masih seindah lukisan Tuhan. Hilir mudik orang-orang di luar sana juga terlihat begitu bersuka cita. Harusnya, hari yang cerah seperti ini tidak menjadi halangan untuk Gesa datang.

Kapan Gesa akan datang?

Untuk kesekian kalinya, Elfara hanya bisa memandang dunianya di balik pasir kuarsa yang begitu kokoh nan tebal. Dia genggam teralis besi dari jendelanya. Jendela itu sebenarnya terbuka lebar, hanya saja Elfara tak mampu melongok ke luar dengan leluasa. Jejeran besi itu seolah melarang Elfara untuk sekedar menikmati semilir angin yang mungkin akan semarak indah bila menerpa rambut cokelatnya.

Jika dipikir lagi, tempat ini tidak jauh berbeda dengan sebuah penjara, di mana Elfara hanya bisa menunggu akan kebebasannya. Entah kapan Elfara bisa keluar dari kurungan ini. Entah kapan Gesa akan membawa Elfara pulang. Rasanya, semua ini terlalu jemu untuk Elfara nanti. Dia sudah lelah menghitung hari yang dia miliki. Elfara sudah letih menunggu hari di mana dia akan keluar dari penjara ini. Elfara tidak sakit, tapi kenapa dia harus berada di tempat ini, memakai baju pasien yang pedar seperti ini, juga mencari kenikmatan dari kudapan hambar tanpa rasa.

Sekali lagi, Elfara tidak sakit. Dia tidak sakit sedikit pun. Bahkan, tubuhnya baik-baik saja. Meski, tanpa jiwa yang jera, hatinya yang kini terasa jauh lebih lara. Kerinduaan Elfara pada sang putra benar-benar menggerogoti kalbunya.

Elfara ingin pulang.

Elfara ingin segera berkumpul dengan keluarga kecilnya. Masih jelas dalam bayangan Elfara, bagaimana keluarga kecilnya bersama Gesa akan sangat indah. Dalam netra yang terbias oleh teriknya cahaya mentari, Elfara bisa dengan jelas melihat versi kecil dari Gesa yang berlari ke arahnya. Langkah mungil itu begitu menggemaskan. Kialauan cahaya dari senyumannya sanggup membangkitkan perasaan bahagia di hati Elfara.

Dengan tingkah manja, bocah bermata bulan sabit itu memanggil Elfara, "Buna ...."

Elfara ingin berlari ke sana. Elfara ingin mendekap buah cintanya bersama Gesa di sana. Namun, lagi dan lagi, teralis besi di depannya, menghalangi Elfara untuk melompat keluar.

"Sayang ... Buna di sini." Elfara cengkeram teralis besi itu. Dia tarik sekuat tenaga, berharap bisa melepaskan kurungan yang masih membelenggunya.

"Tunggu di sana!" Elfara berteriak. Tangannya makin erat mencengkeram. Dia obrak-abrik jendela itu hingga menimbulkan kebisingan hingga ke luar kamar. Tak peduli dengan rasa sakit di telapak tangannya, Elfara ingin membuka teralis besi di depannya. Sampai-sampai, kaca jendela itu bergetar dan mungkin bisa saja pecah jika terus dibiarkan.

Tak cukup dengan tangan yang terus menarik rangkain besi itu dari tempatnya, kedua kakinya juga tak henti dia menendang tanpa arah. Elfara siap melalukan apapun untuk menemui putranya di sana. Dia tak bisa untuk berdiam di kamarnya ini seperti orang bodoh.

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang