21. Bias

25.9K 1.8K 122
                                        

YASA duduk di kamarnya sendirian. Tak hanya duduk sebetulnya, perempuan cantik itu tengah memijat kakinya sendiri. Jemari lentik itu terlihat begitu kesulitan memijat kedua betisnya. Bahkan, dia tak jarang meringis sakit sekaligus kesal.

Namun, Gesa ragu untuk mendekati Yasa. Seakan terpaku, dia malah berdiri di ambang pintu sambil membawa sebuah nampan. Gesa tatap beberapa potongan buah yang dia bawa. Pikirannya seketika berkelana. Suara Yasa kala itu benar-benar mengusik pikiran Gesa.

“Saya ingin memiliki suami yang mencintai dan bisa dicintai ....”

Sekali lagi, entah karena cinta atau iba. Gesa merasa ada yang salah dalam hatinya. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Sudah lebih dari dua pekan Gesa menghabiskan harinya di rumah Yasa. Pria itu seakan enggan untuk meninggalkan perempuan hamil muda itu.

“Pegel ... Gusti nu Agung!” Yasa menggerutu sambil terus memijat kedua kakinya sendiri. Wajahnya terlihat seperti anak kecil, bibir mengerucut dengan pipi berisi yang terlihat mengembang. Kadang kala, lesung pipinya memenuhi kedua pipi berisi itu.

Gesa makin mematung di sana. Untuk pertama kalinya bagi Gesa, ada perempuan cantik selain Elfara. Untuk pertama kalinya bagi Gesa, dia memuja keindahan perempuan lain selain Elfara. Bohong jika Gesa bilang, dia tidak terpesona. Dusta bila Gesa bilang, dia tidak tergoda. Tanpa sadar, Gesa tersenyum melihat tingkah Yasa yang begitu menggemaskan. Alih-alih memijat, Yasa malah memukul-mukul kedua kakinya sendiri.

“Ya Allah ... pegel banget! Pengen diamputasi aja deh rasanya—”

“Heh?! Ngomongnya!” Gesa menimpali dengan cepat.

Yasa langsung menoleh. Dia segera mengganti posisi duduk dan membenarkan rok yang tak sengaja tersingkab karena posisi duduknya sendiri. “Pak Gesa ...,” panggilnya panik.

“Boleh masuk gak?” tanya Gesa.

Yasa malah memalingkan wajah, menghindari tatapan Gesa. Namun, pria itu tak menunggu respon dari Yasa, dia langsung melangkahkan masuk. Tanpa segan, Gesa memberikan sepiring buah yang sudah dia kupas dan potong, lengkap dengan segelas susu hangat.

“Saya bawa ini. Katanya, mangga dan apel bagus untuk ibu hamil,” ucap Gesa sambil menyunggingkan senyuman tipis untuk Yasa. Pria itu lantas ikut duduk di sana.

Ternyata, langit di luar sana mulai menjingga. Semilir angin sore mulai terasa hingga ke dalam kamar. Riuh kepergian matahari mulai merebak. Suara anak-anak yang bermain di lapang samping rumah masih terdengar. Yasa dan Gesa masih setia dengan pikiran mereka masing-masing. Hanya helaan napas mereka berdua yang bersahutan di dalam kamar itu.

“Kenapa anda gak pulang ke Bandung?” tanya Yasa. Namun, Gesa sepertinya enggan untuk menjawab. Dia malah memamerkan senyuman kecilnya pada Yasa.

“Saya bukan ngusir, tapi ... Mbak Elfara ... apa dia baik-baik saja kalau terlalu lama ditinggal sendirian?” Yasa kembali bertanya.

“Elfara sama Ary. Sekarang, ada orang tua saya di sana. Jadi, dia gak sendirian,” jawab Gesa.

Yasa hanya ber-oh kecil. Tiba-tiba, Yasa terkejut saat Gesa membawa kaki Yasa ke pangakuannya. Pria itu seakan tak terganggu saat kaki Yasa benar-benar ada di pangkuannya. Yasa ingin kembali menurukan kakinya lagi, tapi Gesa tetap menahannya.

“Enggak apa, Yas ... biar saya pijit,” begitu katanya. Perlahan, tangan berotot itu mulai menyusuri kedua kaki Yasa. Dengan hati-hati, Gesa pijat kedua kaki kuning langsat yang dihiasi bulu-bulu halus milik Yasa. “Kata Diaz ... di awal kehamilan memang bakal sering pegal-pegal bagini,” tuturnya.

Yasa buru-buru menahan pergerakan tangan Gesa. Dia menggelengkan kepalanya dan mulai menurukan kakinya. “Terima kasih, tapi saya baik-baik saja,” ucapnya segan.

Gesa hanya menatap Yasa. Entah sampai kapan kebaikan Gesa akan Yasa tolak. Entah sampai kapan tatapan benci dari Yasa akan Gesa dapatkan. Gesa memang takkan pernah bisa menjadi dongeng indah untuk Yasa. Gesa juga takkan pernah mampu menjadi pangeran kerkuda putih dalam mimpi indah Yasa. Namun, Gesa tak mau menjadi mimpi buruk bagi Yasa. Gesa tak mau menjadi sosok Rahwana dalam cerita cinta Rama dan Sinta.

“Pak Gesa, saya tahu ... perhatian anda, kebaikan anda, kasih sayang anda, dan semua hal yang anda berikan bukan untuk saya, tapi untuk bayi anda yang tengah saya kandung.” Yasa tersenyum kecil. “Saya mengerti, anda pasti ingin yang terbaik untuk calon bayi anda, tapi tolong ... jangan membuat saya salah paham.”

Udara dingin makin berani menelusup masuk ke dalam kamar itu. Para burung di atas langit makin semangat mengepakkan sayap mereka dan Gesa makin larut pada setiap kata yang Yasa ucapkan. Gesa bingung mana yang benar. Benarkah Gesa melakukan semuanya demi bayi dalam kandungan Yasa ataukah Gesa memberikan semuanya untuk Yasa sendiri. Entah cinta atau iba, entah transaksi atau pernikahan, dan entah pengkhianatan atau tanggung jawab. Semuanya benar-benar bias. Gesa asing dengan perasaannya sendiri. Gesa tak mengenal hatinya sendiri. Bahkan, Gesa tak tahu kenapa dia enggan untuk meninggalkan Yasa di sini.

“Pak ... perempuan itu kadang mudah jatuh cinta. Mereka terkadang tak bisa membedakan mana cinta dan mana rasa kasihan. Tak jarang juga, mereka masih mengharapkan mimpi indah saat mata mereka terbuka oleh kenyataan.” Yasa lantas menghela napasnya sebentar. Dia kembali menatap Gesa yang masih mematung di sana.

Gesa hanya terdiam di sana. Dia hanya bisa diam.

“Pak Gesa, saya gak mau bergantung karena kehadiran anda sekarang. Saya juga gak mau merasa kehilangan saat kita berpisah nanti. Jadi, tolong sekali lagi ... bersikaplah seperti biasa. Bersikaplah seperti seorang pria yang memang sudah memiliki istri. Anda gak perlu terus-terusan tinggal di sini. Anda juga gak perlu mengupas buah seperti ini atau memijat kaki saya seperti tadi. Saya masih menjaga diri saya sendiri.”

Gesa benar-benar dibuat bisu karena ucapan Yasa. Tak ada yang bisa Gesa ucapkan dari bibirnya.

“Jika anda takut saya tak bisa menjaga bayi ini, anda salah.” Yasa diam-diam memegang perutnya yang masih rata di sana. “Meski bayi ini bukan milik saya, tapi saya gak lupa diri. Saya ingat, saya masih bertanggung jawab untuk menjaga bayi ini sampai lahir. Jadi ... sampai saat itu tiba, tolong bantu saya untuk tidak membuat transaksi ini jadi rumit. Biarkan kita berdua tetap menjadi dua orang asing,” tuturnya.

Gesa masih membeku dengan kebisuannya. Batinnya diam-diam bergumam, Bagaimana kita menjadi dua orang asing, Yas ... sedangkan bayi itu darah daging kita berdua.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang