40. Strata

16.5K 1.3K 93
                                    

"Terkadang, kita sulit membedakan mana sadar diri dan mana rendah diri."
_____________________________________

YASA mengemas pakaian demi pakaiannya. Dia lipat seluruh bajunya menjadi sangat kecil dan rapi. Dia masukkan setiap sandang itu dalam sebuah koper. Tangannya begitu telaten memasukkan baju demi baju itu. Sesekali, dia menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Tak jarang pula, dia mengusap perut besarnya yang makin hari makin terasa berat.

Yasa menghela napasnya sebentar. Dia meregangkan punggungnya yang sejak tadi pagi terus duduk di lantai dan berkutat dengan baju-baju yang serasa tak kunjung selesai. Kemudian, dia melirik jendela kamar yang terbuka. Ternyata, matahari di luar sana sudah sangat panas. Sinarnya bahkan mampu menyilaukan setiap mata yang memandang.

"Udah siang ternyata," gumamnya.

Diusapnya lagi perut besar itu. Entah kenapa, sejak tadi bayi di dalam perutnya tak berhenti bergerak. Seakan meminta untuk diajak bermain, janin yang baru genap 5 bulan itu terus menunjukkan semangatnya.

"Sabar sayang ... sedikit lagi selesai. Nanti kita main."

Yasa tak bisa membohongi hatinya. Cinta pada bayi yang dia kandung terus tumbuh. Yasa juga tak bisa menutup matanya. Harapan besar pada bayi mungil itu terus bersemi.

Ingin Yasa memilikinya. Ingin Yasa merebutnya. Ingin Yasa membawanya pergi dan menyayanginya sendirian dengan sepenuh hatinya. Namun, Yasa sadar. Dia tak bisa terus-terusan egois. Dia tak bisa terus-terusan lupa siapa dirinya dan di mana posisi seharusnya.

Yasa hanya Yasa. Wanita murahan yang menjajakan rahimnya.

Sekali lagi, Yasa usap perut besarnya, merasakan betapa indahnya keajaiban itu. Dia menutup matanya, membayangkan akan seelok apa jika bayi itu adalah bayinya sendiri. Mungkin akan secengeng Yasa atau seberisik Mala.

"Nyonya, ini susunya."

Itu suara Bi Narti, asisten rumah tangga di rumah Gesa. Perempuan paruh baya itu memang tidak tinggal di rumah Gesa. Dia hanya akan datang pagi-pagi buta dan pulang setelah semua pekerjaan rumah selesai. Dulu, dia juga yang menemai Elfara saat Gesa pergi. Sekarang, dia juga yang menjaga Yasa saat Gesa tidak di rumah.

"Udah Bibi bilang, nanti Bibi aja yang kemas bajunya. Nanti, Bibi bisa dimarahin Tuan kalau beliau lihat Nyonya bekerja begini."

Yasa tersenyum tipis. "Udah aku bilang, Bi. Jangan panggil Nyonya. Panggil Yasa aja. Biar lebih akrab, hehehe."

"Gak biasa ah." Bi Narti memberikan segelas susu dan segera mengambil alih koper di depan Yasa. "Sini, biar Bibi yang lanjutin. Minum dulu susunya."

"Terima kasih, Bi. Udah selesai kok. Tinggal perintilan kecil aja yang belum masuk koper."

Yasa beranjak dari duduknya. Dia sedikit meluruskan punggungnya sebelum akhirnya meneguk segelas susu hangat itu. "Bi, kalau ditambahin kopi boleh gak? Agak enek kalau susu doang. Serasa pengen muntah."

"Aduh, Nya. Saya kurang tahu kalau begituan. Takutnya gak boleh. Tanya sama Tuan dulu coba."

"Tanya Mbah Gugel aja, deh."

Yasa mulai berselancar dalam ponselnya. Jemarinya begitu lihai mengetikkan informasi-informasi mengenai ibu hamil dan kopi. "Katanya, boleh kok ibu hamil minum kopi, asal jangan berlebih."

"Dicampur susu ibu hamil?" tanya Bi Narti.

Yasa meringis canggung. Dia memang selalu bingung. Apa yang boleh dan gak boleh saat hamil. Tak jarang, malah Gesa yang selalu mengingatkan Yasa. "Tapi, ada susu ibu hamil rasa mocca, 'kan?" tanyanya.

"Tunggu Tuan pulang aja, Nya. Saya takut ah. Atau nanti minta beliin susunya rasa kopi aja ... kalau ada. Sekarang, habisin dulu aja yang itu."

Yasa mencebikkan bibirnya. Bi Narti memang seperti itu. Perempuan itu sudah melebihi polisi bagi Yasa. Setiap hari selalu saja ada yang dia larang atau dia minta.

"Nya, jangan makan itu. Gak baik untuk ibu hamil."

"Nya, tunggu Tuan pulang aja. Jangan sembarangan."

"Nya, habiskan buahnya."

Celotehan seperti itu yang selalu Yasa dengar dari Bi Narti. Bukan Yasa tak suka, tapi dia kembali merindukan ibunya. Mungkin akan seperti itu jika Ibu masih ada dan melihat Yasa dengan perut besarnya seperti sekarang.

"Bi ... makasih ya. Makasih udah jagain aku selama aku di sini."

Bi Narti menolehkan kepalanya. "Makanya, Nyonya jangan pulang. Di sini aja. Bibi siap jagain Nyonya, kok! Bahkan sampai lahiran sekalipun."

Yasa mengulum sebuah senyuman. "Ini bukan rumah aku, Bi. Kalau yang punya udah pulang, gimana? Daripada nanti aku diusir, lebih baik pulang sekarang."

"Nyonya cantik bakal pulang dari rumah sakit sekarang-sekarang?" tanya Bi Narti bingung. Setahunya, Elfara masih dirawat di rumah sakit dan entah kapan akan pulang.

"Mbak Elfara udah lebih baik sekarang. Mungkin, dia akan segera pulang." Yasa terdiam sebentar. Dia mengingat kembali kondisi Elfara yang memang sudah sangat baik. Mungkin, tempat Yasa di sini akan kembali diisi oleh pemilik aslinya. Karena, sejak awal Yasa hanya seorang tamu di rumah mewah ini.

"Sekali lagi, terima kasih ya, Bi."

"Iya, Nyonya. Sehat-sehat di sana. Sering-sering main ke sini. Kalau bayinya udah lahir, jangan lupa—"

Ucapan Bi Narti seketika membisu saat mendengar suara langkah dari sepatu pantofel di luar kamar. Dia terdiam sambil menatap Yasa yang kini duduk di tepi ranjang.

"Yas, ternyata kerjaan aku selesai cepat." Gesa terdiam di ambang pintu. Dia menatap Bi Narti yang masih mematung, memegangi koper milik Yasa. "Loh, ada Bibi ternyata."

Bi Narti langsung beranjak. Perempuan paruh baya itu sungguh segan bila Gesa datang. Bahkan, dia tak berani untuk sekedar menatap mata Gesa. "Maaf, Tuan ... tadi bantuin Nyonya sedikit. Sekarang, udah selesai sih. Saya permisi dulu," pamitnya.

"Oh iya, Bi. Hari ini gak perlu masak. Kita beli di luar aja."

"Baik, Tuan."

Setelah Bi Narti pergi, Gesa mendekati Yasa yang masih duduk dengan segelas susu yang belum habis. "Yas, hari ini kita makan di luar, yuk! Sambil cari suasana baru," ajaknya.

"Gak ke rumah sakit?" tanya Yasa.

"Aku udah bilang sama Elfara, hari ini aku gak ke sana dulu."

Yasa hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Tak biasanya Gesa melewatkan untuk menjengguk Elfara tanpa Yasa minta.

"Besok, antarkan saya pulang ke Sukabumi."

Gesa mengkerutkan keningnya. Dia bingung sampai akhirnya dia melihat keberadaan koper besar milik yang Yasa sudah penuh dan rapi.

"Pulang? Kenapa?" tanyanya.

Yasa menganggukkan kepalanya. Dia beranjak. Dia tutup koper itu dan menyimpannya di sudut kamar. "Cuti ngajar saya sudah selesai. Kemarin, saya ambil cuti untuk sebulan saja. Kebetulan, ditambah libur setelah kenaikan kelas, jadi agak lama. Pekan depan udah mulai ajaran baru lagi. Kalau Pak Gesa gak sibuk ... saya mau diantar pulang, tapi kalau gak bisa, saya bisa naik bus travel," jelasnya.

"Pak Gesa?" tanya Gesa. Dia mendekati Yasa. Dia tarik koper itu ke sisinya. "Kamu masih marah, Yas?" tanyanya.

"Saya gak marah."

"Kamu marah, Yas. Sikap kamu beda." Gesa raih kedua pundak Yasa. Dia tatap wajah ayu itu. "Kamu berubah. Kamu gak seperti ini. Kamu lain, Yas."

Yasa tersenyum kecil. Dia singkirkan tangan Gesa dari bahunya. "Saya gak berubah, saya hanya sadar diri."

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang