51. Rampung

20.5K 1.3K 65
                                        

YASA yakin kini segalanya telah usai. Tak ada lagi sandiwara yang harus Yasa perankan. Tak ada lagi kebohongan yang harus Yasa telan. Bahkan, tak ada lagi transaksi yang harus Yasa tuai.

Hitungan mundur itu mungkin sudah berhenti. Dunia kelabu itu mungkin juga telah pergi. Sampai-sampai, bias kebahagian itu juga abai untuk mengikuti. Kini, hanya Yasa dengan puing-puing kalbu yang bersenandung elegi.

Barangkali, inilah akhir dari sebuah transaksi jual-beli.

Yasa pulang ke rumahnya dengan keyakinan akan awal yang baru nan indah. Sambil memamerkan rambut panjang itu, Yasa setia duduk di depan meja rias. Perempuan itu hanya menatap pantulan dirinya sendiri tanpa melakukan apa pun dan tanpa mengecapkan satu kata pun. Di sana, hanya kalbu diri yang bercakap dengan sanubari hati.

Satu kisah menyedihkan telah Yasa selesaikan. Satu kidung nestapa telah Yasa habiskan.

Semuanya memang telah rampung, tapi terasa rumpang. Hati menjerit kala raga mengemis untuk bangkit. Lembah penderitaan ini tak mampu Yasa negosiasi. Gadis miskin itu harus kembali merapu dalam tumpukan jerami yang hina. Gadis miskin itu harus kembali melepaskan sepatu kacanya yang terlampau sempurna.

Yasa biarkan dirinya menjelma jadi serpihan kaca yang telah hancur. Saking hancurnya, hanya luka yang mampu Yasa ciptakan.

Namun, itu bukanlah akhir dari sebuah cerita.

Yasa biarkan serpihan kaca dalam dirinya hancur bersama bara kebencian. Yasa biarkan kalbunya melebur dan kembali dibentuk kuat oleh bara yang sama. Sampai akhirnya, Yasa percaya bahwa kesembuhan akan hatinya miliki.

Pantulan raga dalam cermin itu, Yasa tatap dengan kesendirian. Tak ada keindahan rupa yang terlukis dalam benda pipih itu, hanya Yasa dengan tubuh selepas melahirkan yang masih samar akan lekuk elok. Wajahnya tak memancarkan cahaya. Gurat kehampaan tak ayal menghiasi senyuman palsunya. Yasa bahkan tak mengenali sorot matanya sendiri.

Tanpa melepaskan pandangan pada cermin itu, Yasa membuka laci dari nakas di samping tempat tidur.

Sepasang mata gunting Yasa genggam dengan erat. Ujungnya mirip sebuah belati tajam yang mungkin bisa menghancurkan sebuah mimpi. Yasa penasaran, apa benda itu juga mampu menghancurkan kesedihannya.

Perlahan, jemari lentik Yasa mulai menyusuri setiap ujung mata gunting hingga sampai ke ujung lain. Yasa angkat benda tajam itu di depan wajahnya. Senyuman kecil itu kembali memalsukan isi hatinya sendiri.

Yasa terdiam sejenak. Dia tengah menerka-nerka sebesar apa luka yang akan tercipta oleh benda kecil di tangannya. Dia juga tengah menghitung-hitung akan sebanyak apa kesedihan yang benda kecil lenyapkan.

Banyak sekali bisikan keji yang kini Yasa rungu. Tak terhitung kedamaian palsu yang kini Yasa netra. Yasa menutup matanya, menepis semua kekejian dan kepalsuan itu.

Dalam kegelapan sekali pun, keindahan wajah malaikat kecil itu kembali hadir. Jemari mungil itu seakan bisa Yasa genggam.

Namun, bagaikan bunga tidur dalam mimpi indah Yasa, bayi cantik itu kembali hilang saat Yasa membuka matanya, figur kecil itu kembali cabar saat kenyataan merebut kembali hayalan seorang pemimpi.

Yasa mengambil beberapa helai dari rambut panjangnya. Legamnya surai itu bersinggungan langsung dengan mata tajam sebuah gunting dalam genggaman Yasa.

Helai demi helai indahnya rambut itu terjatuh di bawah kaki Yasa. Semakin banyak helaian rambut itu tergunting, semakin ringan rasanya pundak Yasa. Seakan menjadi mantra penawar kesedihan, setiap rambut yang terpotong seakan membawa segala kepedihan.

Sekarang, Yasa hanya bisa berharap merahnya potongan hati juga bisa selegam helaian rambut. Saat indahnya rambut dengan tega terpotong tanpa belas kasih, maka akan tumbuh rambut baru yang jauh lebih indah nan kokoh.

Yasa ingin hati juga seperti itu.

Dia ingin hati yang semakin kuat setelah dipatahkan, hati yang kian kokoh setelah dihancurkan, juga hati yang teramat indah setelah dikecewakan.

Yasa tertawa pelan saat melihat potongan rambutnya tak seimbang antara kiri dan kanan. Bahkan, masih tersisa beberapa helai rambut yang tak sengaja belum terpotong. Sekali lagi, Yasa genggam gunting itu dan kembali memotong rambut indahnya hingga usai.

Pantulan dari cermin di depan Yasa memang tak jauh berbeda dengan tadi, hanya ada seorang Cinderella naif yang kehilangan keajaiban dari sepatu kacanya.

Yasa tersenyum getir. Ternyata, selama ini dia adalah gadis cengeng itu. Ternyata, selama ini dia yang haus akan indahnya dongeng itu. Yasa menyentuh rambut pendeknya. Kini, tak ada rambut cantik lagi. Kini, tak ada rambut panjang lagi. Meski masih sama legamnya, hal yang tersisa hanya rambut di atas bahu yang tak memiliki keindahan sama sekali.

Namun, semuanya terasa jauh lebih ringan. Entah karena beban di kepalanya menghilang atau mungkin hatinya yang perlahan mulai mampu untuk menyembuhkan diri. Yasa merasa tenteram dengan debar kalbu yang rahayu.

Sampai detik ini, Yasa paham kenapa beberapa orang terkadang memilih untuk memotong rambutnya saat dunia mulai berani mematahkan setiap hati. Yasa semakin yakin bukan hanya rambut yang akan tumbuh lagi dengan indah, hati juga akan menemukan caranya untuk pulih dan kembali indah.

Yasa beranjak. Dia simpan kembali gunting bermata tajam itu di dalam laci, lantas dia duduk di tepian ranjang. Baru saja punggung bersandar pada bantalan kasur, Yasa lebih dulu terganggu oleh sebuah kalender.

Tepat di bulan November, Yasa memberi tanda sebuah tanggal dengan pena merah. Jujur, Yasa kira transaksi itu akan berakhir pada tanggal itu, tepat hari Rabu pada tanggal 16 November 2022.

Mungkin benar kata pujangga, manusia itu hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang memberi restu. Ternyata, transaksi itu berakhir dua bulan lebih cepat. Bukan niat angan Yasa untuk kufur pada skenario Tuhan, tapi dia belum menyisihkan sedikit waktu untuk sekedar menyiapkan hati.

Yasa menghela napasnya begitu berat. Yasa mungkin lelah, tapi tak seharusnya dia pasrah. Cepat atau lambat, transaksi itu tetap akan berakhir. Kemarin atau esok, perpisahan akan selalu dia temui.

Yasa kembali meneguhkan hatinya dengan debar yang damai.

Sayup-sayup, ketukan di balik pintu kamar terdengar. Tanpa Yasa minta, pintu yang terbuat dari kayu jati itu terbuka dengan sendirinya.

Senyuman kecil Yasa seakan menyambut kehadiran Mala di ambang pintu.

Mala mendekati kakaknya dengan perasaan yang tak karuan. Dia cukup terkejut saat melihat rambut kakaknya dipotong pendek tanpa ada keindahan. Gadis itu makin terenyuh ketika helain rambut panjang kakaknya berserakan di lantai.

"Teh ...," parau Mala begitu pilu.

Senyuman Yasa seketika memudar. Dia menggelengkan kepalanya samar. Yasa tak suka tatapan iba dari Mala. Yasa tak suka mendengar suara pilu dari Mala. Tolong, jangan tatap Yasa dengan netra menyedihkan seperti itu. Yasa mohon, jangan menggumamkan penderitaan Yasa seperti itu.

Yasa tak mau dikasihani.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang