YASA merasa kosong. Semuanya benar-benar terasa lapang. Baru pertama kali dalam hidup Yasa, dia memandang belantara dunia yang ternyata sangat luas. Saking luasnya, Yasa tak mampu untuk sekedar menerka di mana letak ujung dunia dan di mana bentangan keindahan itu akan berakhir. Yasa pandangi dunia luar di balik jendela kamar. Sudah beberapa hari Yasa bermalam di rumah sakit. Sudah tak terhitung pula pil pahit yang telah Yasa telan.
Ternyata, Yasa masih memiliki hari ini. Hari yang tak jauh berbeda dengan kemarin, di mana Yasa hanya menunggu sang mentari pamit meninggalkan dunia. Perlahan, Yasa menghirup udaranya begitu dalam. Dia usap perutnya yang kini jauh terasa lebih ringan. Tak ada perut besar lagi. Tak ada lagi sentuhan kecil di dalamnya. Senyuman getir kembali terukir kala Yasa mengingat kembali bahwa keajaiban kecil itu sudah tidak dia miliki.
Yasa hampir lupa, transaksi itu kini telah usai, belenggu kebohongan yang Yasa damba telah berakhir, dan setiap keindahaan Gesa tak Yasa miliki lagi.
Kini, hanya tertinggal Yasa seorang dengan limbung hati berselimut sangsi. Yasa tak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Yasa juga tak mengerti dengan perasaan yang ada dalam hatinya.
Mungkinkah kelapangan ataukah kehampaan?
Yasa merasa lega karena segalanya telah terlewati. Yasa merasa jauh lebih damai karena semuanya sudah berakhir. Namun, dalam hati yang sama, Yasa merasa ada yang hilang dari dirinya. Seperti ada sesuatu yang meninggalkan Yasa dalam kesendirian yang begitu kosong.
Begitu kosong, semuanya benar-benar kosong.
Jika memang Yasa tak bisa menerka di mana letak ujung dunia, mungkinkah Yasa mampu melihat ujung dari setiap kekosongannya. Yasa ingin menggenggam, tapi entah tangan siapa yang akan terulur untuk Yasa. Yasa ingin merengkuh, tapi siapa yang sudi mendekap tubuh penuh luka milik Yasa. Yasa juga ingin menangis, tapi entah apa yang harus Yasa tangisi.
Haruskah Yasa menangisi hal yang bukan miliknya lagi?
Untuk kesekian kalinya, Yasa hanya bisa memandang luasnya dunia di balik jendela yang begitu sempit. Untuk pertama kalinya, Yasa tak mengagungkan birunya langit di atas sana, Yasa tak tergoda oleh terpaan semilir angin, Yasa juga tak menikmati bentangan lukisan Tuhan itu. Yasa memandang tanpa rasa.
Sampai akhirnya, suara kenop pintu yang terbuka merenggut perhatian Yasa. Dia hanya menoleh saat pintu kamarnya terbuka. Figur indah nan kokoh di sana tak mampu Yasa pandang terlalu lama. Yasa membuang pandangannya ke sembarang arah. Dia remat tangannya sendiri. Tiba-tiba hatinya kembali berdenyut.
"Yas," panggil Gesa.
Dengan langkah jenjangnya, pria itu mendekati Yasa. Dia melirik tas besar Yasa yang sudah terkemas rapi. Hari ini, Yasa memang sudah diperbolehkan untuk pulang.
Namun, Gesa tersenyuh kala dia menatap wajah sendu Yasa. Perempuan itu begitu mahir bersandiwara. Gesa bisa melihat bagaimana sorot mata Yasa berbicara bahwa Yasa enggan untuk pergi. Namun, berulang kali pula Yasa meminta untuk pulang dengan sorot mata yang sama.
"Yas, Dia sangat cantik. Kamu gak mau melihatnya dulu?"
Yasa tersenyum kecil. Dia membelakangi Gesa untuk kembali memandangi jendela yang masih sama di depannya.
"Untuk apa?" tanya Yasa. Dia meremat tangannya sendiri. Tanpa Yasa minta, entah kenapa air matanya mengalir begitu saja. Dia tersedu tanpa suara. "Jika aku melihatnya untuk mengucapkan selamat tinggal, untuk apa?" tanyanya.
Gesa tercekat oleh napasnya yang terasa sesak. Gesa ingin mengulurkan tangannya untuk Yasa. Gesa ingin merengkuh tubuh pilu itu. Gesa juga ingin menjadi tempat ternyaman untuk Yasa bersedu.
Haruskah Gesa merenggut kembali kesempurnaan Yasa oleh keegoisannya lagi?
Saat langkah Gesa tepat berada di belakang Yasa, perempuan itu buru-buru menepis tangisannya jauh-jauh. Dengan senyuman yang masih sama, Yasa menatap kedua bola mata Gesa yang masih sama legamnya.
"Aku takut. Aku takut ... saat aku melihatnya, aku malah ingin memilikinya. Biarlah wajah cantik itu tak pernah aku lihat. Biarlah tangisan itu tak pernah terdengar dalam hidupku."
Gesa menggelengkan kepalanya. "Tapi Yas ... kamu-"
"Aku mungkin yang mengandung dan melahirkannya, tapi dia bukan putriku. Dia bukan putriku." Yasa menggelengkan kepalanya. Dengan menggenggam setiap benda yang bisa dia jangkau, Yasa berjalan mendekati pintu kamar. Perempuan itu bersusah payah untuk menjangkau jalan keluar.
"Yasa, tak bisakah kamu tetap tinggal. Tak bisakah kamu tetap bersamaku?" suara Gesa terdengar indah penuh luka saat masuk ke pendengaran Yasa. Pria itu tetap berdiri tanpa gentar, meski sorot matanya mulai bergetar.
Di ambang pintu, Yasa tertegun. Dia menundukkan kepalanya sambil bertumpu pada ujung pintu. Perlahan dia menolehkan kepala dan menadang Gesa dari kejauhan. "Jangan membuang waktuku lagi. Transaksi kita selesai. Aku mau pulang."
Tiba-tiba, langkah Yasa terhenti saat dia berpapasan dengan Mamah. Lagi dan lagi, Yasa tertegun. Yasa tak bisa menopang tubuhnya lagi saat Mamah berjalan dengan seroang bayi merah dalam pelukannya.
Yasa mengigit bibirnya sendiri. Punggungnya tak sengaja terbentur pada pintu kamar. Sekuat tenaga Yasa berusaha untuk bertumpu pada kedua kakinya sendiri. Namun, Yasa tak mampu. Dia memegang kenop pintu dengan perasaan yang tak bisa Yasa kenali.
Semakin dekat langkah Mamah mendekati Yasa, semakin rapuh hatinya itu kalah untuk bertahan. Yasa menggelengkan kepalanya dengan ribut.
"Jangan ... jangan bawa bayi itu ... jangan. Aku tak mau melihatnya," gumamnya.
Bibir pucat Yasa tak henti bergumam. Semakin kuat tekadnya untuk menghindari bayi cantik itu, semakin jelas netra Yasa melihat figur mungil itu. Yasa bisa melihat betapa indahnya wajah kecil itu. Yasa juga bisa melihat teramat cantiknya malaikat kecil itu. Bahkan, dengan kelopak yang tertutup sekali pun, Yasa bisa merasakan kedamaian dari figur kecil itu.
"Jangan bawa dia ke sini!" Yasa memekik sempurna. Dia mengeluarkan seluruh suaranya hingga tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk Yasa berpijak pada kedua kakinya sendiri.
Akhirnya, Yasa bersimpuh di ambang pintu dengan tangisan yang tak bisa dia bendung lagi. "Aku mohon. Jangan bawa dia ke sini ...."
Gesa berlari. Dia berlutut di hadapan Yasa. Dia genggam kedua tangan Yasa yang bergetar. Dia bawa Yasa dalam pelukannya. Dia dekap tubuh itu. Dia sembunyikan tangisan Yasa dalam dadanya.
"Jangan gini, Yas. Jangan gini," bisik Gesa.
"Tolong, jangan bawa dia ke sini. Aku gak mau. Aku gak mau melihatnya," lirih Yasa.
Mamah menangis dalam diam. Tubuhnya bergetar dengan Yasa kecil dalam pangkuannya. Dia eratkan pelukannya pada cucunya itu. Mamah sungguh tak kuasa melihat kondisi Yasa saat ini.
"A, gimana?" tanyanya begitu parau.
Gesa menggelengkan kepalanya. "Jangan dulu, Mah ...," gumamnya pelan.
Namun di saat yang sama, mata sipit Gesa terbelalak, merasakan pelukan Yasa melemah. Genggaman tangan Yasa terlepas. Perempuan itu terkulai tak sadarkan diri dalam pelukan Gesa.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...