05

116 11 1
                                    


05| Before The Day

———

Daffa
Aku hari ini lembur
Nanti minta jemput azril dulu gak papa ya?
Mbak Dian minta rapat dadakan

Pesan dari Daffa itu masuk saat Areta tengah makan siang di kantin khusus dosen. Meletakkan sejenak sendoknya ia pun membalas;

Areta
It's okay
Semangat
👍

Yang sesudahnya hanya dibalas dengan stiker pentol penuh lope-lope.

Sebenarnya bukan mau Areta untuk kembali minta diantar oleh cowok itu, Daffa sendiri yang inisiatif mau mengantar-jemput karena takut pasalnya dirinya lagi datang bulan. Dan karena memang Areta merasakan sendiri bagaimana perutnya yang terasa nyeri, akhirnya dia mau-mau saja. Tanpa tahu kalau rapat dadakan harus Daffa ikuti dan memaksa dirinya dijemput oleh orang lain.

Tadi sih Azril juga bilang kalau pulangnya mungkin bakal malam, soalnya selesai PKL hari ini dia mau jalan dulu sama Anggit. Yah, kalaupun Azril juga tidak bisa menjemput, masih ada saudaranya yang lain yang tinggal disini. Jadi Areta santai-santai saja.

Kembali memakan makan siangnya — yang siang ini dia memesan nasi rames — tiba-tiba ada yang duduk di sampingnya membuat ia lantas menoleh. Gibran, laki-laki itu tersenyum manis yang langsung Areta balas dengan hal serupa.

"Sendiri aja, Ret?" Katanya santai.

"Iya, Mas. Mas Gibran juga sendiri?"

"Kebetulan, masih sendiri."

Areta tampak terkejut, tapi setelahnya hanya bisa terkekeh kecil. Dia bukannya tidak peka, malah sangat sadar kalau lelaki di sampingnya ini diam-diam mungkin sedang mencoba mendekatinya. Mendekati dalam artian ingin memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman kerja.

Areta sih tidak bisa menyalahkan perasaan lelaki itu, hanya saja dirinya juga punya pilihan untuk menerima atau menghindar. Dan pilihannya, jelas menghindar. Alasannya sudah pasti dia tidak menyukai lelaki itu, dan juga, dia sudah punya Daffa. Areta tidak akan menghakimi Gibran karena perasaannya, karena perasaan lelaki itu adalah miliknya. Biarkan itu menjadi urusannya dengan diri sendiri, Areta tidak akan ikut campur. Selama lelaki itu masih mau menghargai apa yang menjadi pilihannya.

"Masih sakit perutnya?" Tanya lelaki itu, mencoba untuk menciptakan sebuah percakapan.

"Masih, tapi bisa ditahan. Udah minum obat juga jadi mendingan. Santai, Mas, biasa kok kayak gini. Cuma penyakit bulanan." Balas Areta ramah.

"Ohh, dikira maag atau apa."

Areta hanya tersenyum, masih sibuk menghabiskan makanannya.

"Yang kemarin itu beneran tunangan kamu, ya?"

"Hm?" Areta menoleh sambil mengunyah nasi di dalam mulutnya, mencoba menelannya dulu baru membalas. "Daffa? Iya, Mas."

"Pacaran berapa lama, tuh?"

Gadis itu tampak menarik napas. Sebenarnya agak tidak suka ya privasinya dikorek seperti ini. "Nggak pacaran, Mas."

Gibran tampak terkejut, lalu full menghadapkan diri kearah Areta. "Nggak pacaran? Terus, dijodohkan gitu?"

Areta menggeleng. "Enggak."

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang