34

182 13 15
                                    

34| Marah

———

Pagi ini Isma menyuruh Areta untuk menggantikannya berbelanja di warung desa berhubung ibu dari Daffa tersebut tengah sibuk menyetrika baju. Areta jelas menyanggupi, walau sebenarnya Areta agak kurang suka jika harus bertemu dengan ibu-ibu lain ketika di warung. Bukan apa-apa, kadang ibu-ibu itu suka ngomong bahasa jawa yang mana Areta banyak tidak pahamnya, dan dirinya merasa kalau mereka aslinya tengah menyindirnya.

Tidak ingin suudzon sebenarnya, tapi hidup hampir satu tahun di desa ini sudah membuatnya cukup paham bagaimana sifat para tetangga. Meski tidak semua, tapi ada beberapa orang yang di depan selalu bersikap seperti teman seakan-akan selalu berpihak padanya, tapi ketika di belakang dirinya di-ghibah-kan.

Kali ini juga sama, Areta yang kebetulan belum mandi dan keluar hanya mengenakan baju tidur — yang memang kebanyakan miliknya berlengan dan bercelana pendek — dia merasa dibicarakan sengaja menggunakan bahasa yang tidak bisa ia pahami. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan mencoba sabar. Meski rasanya hati juga sakit saat tiba-tiba ada yang menyeletuk,

"Ora bisa nempatna diri, apa durung bisa. Budaya wong sugih umah nang ibukota sih pada individualis mbok. Ora bisa grapyak maring tangga. Pindah mene juga sing dipentingna makarya disit, rong tahun ora ngurus bojo. Siki pindah mene juga padha be. Kerja terus. Ya apik. Ndapi mbok'an nyong duwe mantu sing ora bisa bantu resik-resik umah, ya padha be."

(Nggak bisa menempatkan diri, atau belum bisa. Budaya orang kaya tinggal di ibukota kan pada individualis. Nggak bisa membaur sama tetangga. Pindah kesini juga yang didahulukan pekerjaannya, dua tahun nggak ngurus suami. Sekarang pindah kesini juga sama aja. Kerja terus. Bagus, sih. Tapi kalau saya punya menantu kayak begitu yang nggak bisa bersih-bersih rumah, ya sama aja kayak nggak punya).

Areta memang tidak paham secara keseluruhan, tapi ada beberapa kata yang sudah ia pahami. Dan, memang tidak secara langsung menyebutkan nama Areta sebagai orang yang digunjingkan, mata mereka juga tidak ada yang menatap dirinya, tapi Areta paham hanya melihat dari gelagat si bapak penjual sayur yang sesekali melirik iba padanya. Tangan Areta mengepal erat di saku bajunya, di dalam saku ada hp yang sengaja ia pasang recorder untuk merekam pembicaraan itu.

"Areta?"

Yang dipanggil langsung menoleh. "Oh, hai Zahra?" Balasnya seraya tersenyum tipis.

Zahra balas tersenyum juga, lalu sibuk memesan sesuatu di bapak penjual.

"Sendiri aja, Ret?"

"Iya."

"Daffa?"

"Di rumah."

Zahra mengangguk kecil. Dia tidak lama berada disana, bahkan Areta masih tinggal ketika Zahra sudah mau balik rumah lagi.

"Nanti sore kayaknya aku sama Raka mau ke rumah Ibuk. Mau bicara sesuatu."

"Apa?"

"Nanti aja sekalian." Zahra tersenyum tipis, lalu melihat pada perutnya yang membulat besar. "Daffa pasti senang, ya? Sebentar lagi kamu mau lahiran."

Areta hanya tersenyum saja. Jujur saja, dengan Zahra itu Areta suka canggung. Mengingat dulu Zahra sempat membencinya karena Daffa yang tidak bisa membalas perasaan wanita itu. Bahkan saat sekarang wanita itu sudah menikah dengan Raka, kadang kalau melihat Daffa, Zahra suka menatap dengan tatapannya seperti menyimpan sesuatu.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang