16

122 10 3
                                    

16| Pacaran Dulu

———

Hal yang paling diharapkan dari pasangan suami istri yang baru saja menikah biasanya hanya satu; tidak jauh-jauh dari kalimat sakral yaitu 'Gimana? Sudah isi belum?' atau 'Sudah berbulan-bulan nikah, kok masih belum juga isi? Nunda, ya?' Yang sebenarnya, bagi beberapa orang justru membuahkan beban pikiran tersendiri.

Dari dulu, stigma perempuan itu selalu buruk di mata masyarakat. Jauh berada di bawah dibandingkan dengan laki-laki. Bukan hanya untuk hal-hal semacam dapur, kasur, dan sumur. Bahkan untuk sesuatu seperti yang Areta rasakan saat ini — belum juga hamil padahal usia pernikahan sudah sekitar lima bulanan — lagi-lagi hanya pihak perempuan lah yang akan disalahkan. Atau paling tidak, yang dipandang sebagai sumber masalahnya. Yang dikata tidak mau hamil dulu, yang dikata lebih mementingkan karir dan menjadi egois, tidak mementingkan keadaan suami, dan yang paling parah yang Areta sempat tak sengaja dengar adalah, kemandulan.

Sungguh, hati Areta langsung serasa dihujam paku yang tepat mengenai ulu hatinya. Rasanya sakit, dan sialnya berakhir membuatnya overthinking.

Tapi siapa yang berani-beraninya menggunjingnya seperti itu?

Pertama, beberapa rekan dosen yang tidak dekat dengannya. Bisa dibilang dosen beda program studi atau dosen yang mengajar di fakultas selain FKIP. Tidak secara terang-terangan, dan mungkin jatuhnya malah seperti candaan semata, ngomong sambil sok s-k-s-d lalu tiba-tiba menyinggung soal momongan. Lalu tiba-tiba, mulai memberikan pertanyaan dan pernyataan yang sedikit menyudutkannya sebagai sebab kenapa belum juga hamil.

Lalu kedua, para tetangga kompleknya. Suatu kali di hari minggu, Areta pergi keluar rumah hanya untuk belanja sayuran di mang sayur yang biasa mangkal di depan komplek. Sendirian tanpa Azril dan Daffa. Ketika dia tiba, semua orang yang belanja disana tampak fine-fine saja dan menyambut dirinya dengan biasa. Ya pada umumnya sapaan dari tetangga untuk tetangga lainnya. Namun, saat Areta berbalik dan pamit pulang dulu karena memang sudah selesai acara belanjanya, Areta yang memang baru saja berbelok ke blok yang berbeda dan masih terbilang dekat dengan tempat mang sayur mangkal, saat itulah Areta mendengar gosip yang menyakiti hatinya.

Awalnya hanya membicarakan tentang dirinya yang hanya tinggal bertiga tanpa orang tua. Lalu tiba-tiba merembet kepada kehidupan pribadinya yang katanya sedikit menyedihkan dan membuat beberapa dari mereka merasa iba. Bahkan, masalah mengenai konflik orang tuanya dulu juga turut dibahas. Mereka bilang Ayah dan Bundanya sering sekali adu mulut sampai terdengar samar ke rumah sebelah karena alasan Bundanya yang tidak bisa hamil anak ketiga. Areta sudah ingin marah-marah sebetulnya, berani-beraninya menggunjing keluarganya di belakang, tapi dia tipe orang yang malas memperpanjang masalah. Sampai saat itu dia mendengar salah satunya bilang begini,

"Bu Feira dan Pak Jaehyun itu sering adu mulut karena masalah poligami, jeng. Garasi rumah mereka kan ada di samping rumah saya toh, pernah sekali dengar ribut-ribut, ternyata Bu Feira yang minta sendiri ke suaminya untuk poligami karena susah hamil. Kalau saya sih ya amit-amit, jeng. Terus sekarang, anaknya juga sudah nikah berbulan-bulan tapi kayaknya masih belum ada tanda-tanda mau hamil. Apa penyakit bawaan dari Ibunya mungkin ya, penyakit susah hamil gitu. Kasihan saya, tuh. Takutnya mandul apa gimana, kan kasihan suaminya si Areta itu. Mana masih muda."

Sakit, saat itu Areta tidak bisa berkata-kata apapun selain lekas meninggalkan tempat dan berjalan cepat ke rumah. Memang, mulut seseorang itu lebih tajam daripada sebilah pisau. Tapi meskipun sakit hati, Areta tidak memberitahukan hal itu pada siapapun termasuk suaminya sendiri. Hanya ia simpan sendirian yang ternyata malah menjadi momok menyeramkan yang bersarang di kepalanya.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang