38

127 10 1
                                    

38| A Little Sweet Moment

———

Sore itu semua berkumpul bersama di ruang keluarga. Mereka menonton televisi — ah, ralat, menemani Jean menonton salah satu serial kartun favoritnya; Shinbi House. Termasuk Daffa, laki-laki itu merengek ingin keluar kamar dengan alasan bosan. Alhasil, Areta tak punya alasan untuk menolak dan kini sibuk menyuapi sang suami dengan belut goreng yang sudah berhasil Azril dapatkan.

Tapi memang, sih, orang mengidam itu permintaannya random dan terlalu dadakan. Tiba-tiba saja kepengin. Nyatanya, bukan hanya dirinya, bukan? Daffa saja tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba minta belut goreng. Dan makannya pun lahap banget, mana Areta menyuapinya menggunakan tangan. Persis mendulang anak kecil yang susah disuruh makan.

Jean berceloteh sendirian, dengan posisi duduk menyender pada tubuh Daffa matanya fokus pada layar televisi yang menggantung tidak tinggi dari meja televisi.

"Abang pulang Jakarta kapan? Izin cuti berapa hari?" Tanya Feira ketika kembali dari dapur, habis membuatkan susu formula untuk anak bungsunya. "Nih, Dek. Duduknya yang manis." Dan Jean menurut, langsung duduk tegak tapi masih menempel pada Daffa.

"Besok aku udah pulang, Bun." Jawab Azril agak tidak rela. "Begini nih, kalau PNS. Nggak bisa cuti lama-lama."

"Nggak papa, besok Jumat kan ketemu lagi. Bunda sama Ayah yang ke Jakarta."

"Oh iya, lamaran." Azril berujar senang. "Anggit udah aku kasih tau rencana ini betewe, dan alhamdulilah langsung diterima. Kayaknya emang orangnya udah menunggu kepastian ini sejak lama juga. Aku jadi merasa bersalah." Katanya. "Malah dia langsung speak up."

"Speak up apaan?" Tanya Areta sambil mendulang nasi ke mulut suaminya.

"Dia udah berkali-kali disuruh orang tuanya buat tanya ke gue, kapan ada niatan melamar. Soalnya pacaran udah lama. Tapi si Anggit takut kalau gue menolak untuk menikahinya terus minta putus." Kata Azril. "Sangat-sangat relevan dengan apa yang lo bilang dulu, Kak, sebelum lo pindah ke Purwokerto dulu."

"Yang mana, ya? Gue lupa."

"Yeuuu, si pikun. Lo yang ngasih petuah bijak lo sendiri yang lupa."

"Pikun? Pikun itu apa, Bang?" Tanya Jean, merasa penasaran dengan kosakata baru yang ia dapatkan.

"Abang, jangan ngomong yang aneh-aneh kalau lagi ada adeknya, lah." Tegur Feira.

"Yaampun, keceplosan, Bun. Maaf." Azril nyengir tanpa dosa.

"Bang Dapa pikun itu apa, sih?" Jean kini menoleh ke samping kirinya.

Daffa yang diserbu tiba-tiba langsung kaget. "Pikun, ya? Pikun itu pelupa. Tapi Jean kalau mau ngomong pakai kata yang 'pelupa' aja, ya? Soalnya pikun itu kata-kata yang jelek. Nggak baik. Jangan dipakai."

Jean langsung ber-oh ria. "Hooo, Abang ngomong jelek. Nanti Jean bilangin Ayah biar dimarahi."

"Gimana rasanya diledek bocil?" Areta bertanya geli, Azril cuma mendengus.

"Intinya itu, terus keluarganya Anggit berkenan di hari minggu ya, Bun. Soalnya Sabtu itu papa nya Anggit ada acara."

"Oke. Kamu besok langsung hubungin Tante Sherrin ya, minta tolong buat ngurus pesanan seserahan buat dibawa di hari minggu. Anggit sudah ngasih tau mau mahar apa aja?"

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang