40

119 13 0
                                    

40| Calon Nama Si Adek?

———


Sambil menunggu waktu kepulangannya ke Purwokerto, yang Areta lakukan hanyalah santai-santai. Setelah pulang dari makam — dilanjut jajan seblak hingga melihat ayam betina melakukan 'pencak silat' secara tak terduga — tak ada sesuatu berarti yang Areta ataupun Daffa lakukan. Segala sesuatu yang mesti dibawa balik sudah tertata rapi dalam koper. Termasuk baju-baju kotor yang belum sempat dicuci.

Saat ini Areta tengah duduk di kursi yang ada di teras depan melihat adik kecilnya belajar naik sepeda bersama Daffa. Kata Bunda, Jean itu sudah bisa ngebut dan penuh gaya kalau naik sepeda, tapi itu sepeda yang roda empat. Dan sekarang ini, Daffa tengah mengajari adik ipar kecilnya naik sepeda roda dua. Dua roda kecil yang ada di kanan-kiri samping roda belakang sudah cowok itu lepas, dan sedari tadi Jean belajar keseimbangan agar sepeda yang dinaikinya bisa berjalan tanpa oleng.

Areta tertawa geli ketika celetukan-celetukan Jean tak pernah berhenti untuk Daffa. Kata-katanya sama, yaitu; "Jangan dilepas lho, Abang! Jean udah jatuh tiga kali! Jean cubit kalo Bang Dapa nakal dan jahil terus!" Namun suaminya hanya membalas santai, "Iya, Dek." Tapi ya tetap dilepas ketika Jean mulai fokus mengayuh, dan berakhir jatuh.

Diam-diam Areta membayangkan, gambaran tentang Daffa yang mengajari anak mereka naik sepeda kalau sudah sebesar Jean.

Areta sendiri duduk seraya memegang botol minyak zaitun di tangannya. Setelah meletakkan satu kursi lainnya di depan ia duduk — memposisikan dua kursi saling berhadapan, karena kursi di depannya ingin ia gunakan untuk meletakkan kaki agar bisa selonjoran — Areta mulai mengurut kakinya sendiri menggunakan minyak itu. Sungguh, walau tak pernah ia ucapkan sebenarnya kakinya itu pegal-pegal banget. Aktifitasnya cuma duduk-duduk dan berjalan-jalan ringan, tapi karena beban yang ia bawa juga tidak ringan, punggung dan kakinya jadi sering pegal. Bahkan kalau sudah terlampau capek pun kaki Areta akan terlihat sangat bengkak.

Mengurut kakinya sendiri, sementara Daffa sibuk bercanda ria dengan Jean.

"ABANG, JEAN BISA NAIK SEPEDANYA! ENGGAK JATUH LAGI, KAN, ABANG! YEAYYY JEAN BISA NAIK SEPEDA RODA DUA!"

Areta tersenyum bangga melihat pemandangan di depannya. Daffa tampak mengacungkan dua jempolnya pada Jean lalu tepuk tangan heboh, lantas menegakkan badan untuk bisa melenturkan otot-otot punggungnya lagi.

"ADEKNYA BANG DAFFA KEREN!"

Jean masih sibuk mengayuh dengan pede, walau tidak cepat dan sedikit oleng kanan oleng kiri tapi sudah bisa berjalan maju.

"Wuiinggg~ Jean bisa naik sepeda roda dua~"

"Belok, Je. Coba ke—eh eh eh eh—"

"Abang—eh eh—Bang Dapa Jean nggak bisa belok—a a a a—"

bruk!

Dan, Jean jatuh untuk keempat kalinya. Kali ini nabrak tembok.

"Yaampun..." Desis Areta.

Daffa sigap berlari dan membantu Jean kembali berdiri. Tapi naas, sepertinya jatuhnya yang keempat ini lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Lutut bocah itu berdarah sedikit, dan telapak tangannya pun memerah.

"Ada yang sakit?" Tanya Daffa.

"Kakinya..."

Daffa lekas melihat lutut sang adik yang berdarah, langsung ia gendong menuju kran di dekat pagar agar Daffa bisa membersihkan luka kecil itu.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang