46

139 11 4
                                    

46| Gara-gara Kesenggol

———

Hari ini, bunda serta sang ayah, juga Azril dan Anggit akan pulang ke Jakarta. Ayahnya melakukan ekstensi cuti karena keluarga mertuanya tengah berduka. Padahal sebelumnya, rencana untuk stay di Purwokerto sampai akhir weekend. Namun karena tak ada yang tahu takdir Tuhan, ya, jadi terpaksa Areta harus mengalah.

Ingin sekali rasanya dia ikut ke Jakarta, tapi Daffa pasti tidak akan mengizinkannya. Lagipula dia juga sadar kalau dia baru saja jadi seorang ibu yang tak mungkin meninggalkan sang anak sendirian.

Areta tersenyum getir melihat bundanya yang kini tengah duduk di hadapannya, bercanda dengan cucu pertamanya karena posisi Bintang sedang ada dipangkuan beliau. Seakan-akan merasa baik-baik saja, padahal Areta tahu pasti keadaan asli sang bunda.

Malam sebelumnya, ketika Areta selesai menidurkan anaknya dan ingin ke dapur karena ingin buat mie instan, tak sengaja ia malah mendengar perbincangan kedua orang tuanya yang sudah berada di dalam kamar. Bundanya terdengar mencurahkan segala kesedihannya karena ditinggal mati oleh mamanya kepada sang ayah. Bahkan ketika namanya ikut dibawa-bawa dalam perbincangan itu, Areta sungguh merasa bersalah.

Saat itu bundanya bilang;

"Sedih banget, Mas, Mama pergi tanpa pamitan ke aku dulu."

Areta sempat mendengar perkataan itu dari mulut sang bunda, pintu kamar kedua orang tuanya itu tidak tertutup rapat jadi walau tidak jelas karena lampu kamar juga sudah dimatikan, Areta bisa melihat kalau bundanya sudah menangis sesenggukan dengan dipeluk oleh ayahnya.

"Ikhlas, nda. Mas juga sedih, tapi satu-satunya cara agar Mama tenang, kita hanya perlu kirim doa."

"Aku pengen langsung ke Jakarta, tapi kasihan Areta. Anakku baru aja melahirkan dan masih butuh aku, tapi aku merasa bersalah karena pikiranku nggak bisa fokus ke Areta terus."

Padahal, kalau saat itu bundanya mau langsung ke Jakarta pun Areta tak mungkin melarang. Sedih, mungkin ada. Tapi kesedihan bundanya pasti jauh lebih besar, kan?

"Sshh, nggak ada yang perlu disalahkan. Nggak ada yang salah. Kakak juga pasti paham, kok."

Saat itu, Areta membenarkan ucapan sang Ayah dengan anggukan iba.

"Aku nggak ada di waktu-waktu terkahir Mama pergi, Mas. Aku nggak bisa lihat Mama lagi."

"Sshhh... it's okay, it's okay. You still have me, right. Mas disini sama kamu. Sedih itu boleh, tapi sewajarnya aja, ya? Sekarang nangis aja nggak papa, luapin semua kesedihannya jangan ditahan, biar lega. It's okay. Mas temani disini, Mas peluk kamu."

Sakit, sedih, serba salah. Itu yang menyeruak dalam hati Areta malam kemarin. Tak tahan, mie instan pun batal ia buat, malah kembali masuk kamar dan ikut-ikutan menangis sampai-sampai membuat Daffa terheran-heran.

"Iya, Sayang. Mamamu itu... malah asik bengong sendiri... jangan bengong, Mama. Bintang mau nen, Ma. Bintang haus."

Seolah ditarik menuju realitas, Areta tersentak kaget ketika merasakan pipinya dicolek-colek oleh anaknya, tentu saja atas bantuan tangan sang bunda. Wanita itu lantas menghela nafasnya panjang, lalu tersenyum tipis dan mengangkat anaknya menggunakan kedua tangan. Berniat mengambil alih tubuh si kecil.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang