꧁ 17| Sadness And Fear ꧂
———
Malam ini Daffa benar-benar dibuat bingung dan serba salah. Pikirannya berkecamuk, pikiran-pikiran negatif terus menghantuinya. Salah satu alasannya ya karena besok pagi dirinya sudah harus meninggalkan kota Jakarta. Namun, ada lagi yang membuatnya tak tenang malam ini adalah sikap istri tersayangnya.
Areta, wanita itu sedari pulang kerja bawaannya hanya diam terus. Dan Daffa tidak bodoh untuk tidak mengetahui kalau mungkin saja Areta telah mendapatkan hal kurang baik yang membuatnya menangis selama di luar. Bagaimana Daffa tahu? Areta pulang terlambat, dengan mata merah dan sedikit membengkak. Lalu saat ditanya mengapa, jawabannya hanya diam dan geleng-geleng kepala terus.
"Sayang, kamu kenapa, sih? Ada apa?" Tanya Daffa mungkin ada untuk yang ke-lima kalinya.
Tapi lagi-lagi, respon Areta hanya diam dan pura-pura sibuk dengan kegiatan lain. Seperti sekarang, pura-pura sibuk memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper besar bersama dengan barang-barang pribadi miliknya lainnya.
"Areta?"
"Nggak papa."
"Nggak mungkin nggak papa, pasti ada apa-apa."
Tapi lagi, Areta nampaknya sedang ingin menguji kesabarannya. Karena tak ingin kekesalannya membuatnya salah bertindak, Daffa memilih keluar kamar begitu saja meninggalkan sang istri sendiri. Mencoba menenangkan diri dan menetralisir rasa jengkelnya dengan minum kopi buatan sendiri di dapur. Daffa kira dengan memilih menenangkan diri barusan, dia akan menjadi lebih tenang. Namun salah, karena begitu dia kembali ke dalam kamar dia malah dihadapkan pada Areta yang tengah menangis dalam diam sendirian.
Ya jelas dong, Daffa tambah dibuat bingung dan panik. Dia mendekat, duduk tepat di hadapan sang istri.
"Hey, kok malah nangis? Coba sekarang jujur, cerita lagi ada masalah apa, kalau kamu diam aja kan aku nggak tau, Reta. Hm?" Daffa berujar. "Aku nggak tau kamu bersikap aneh kayak gini ini karena kesalahan ku atau orang lain. Bilang, kalau karena kesalahan ku ya aku minta maaf. Kalau kesalahan orang lain cerita mereka udah ngapain kamu?"
"Daffa—hiks—nggak bisa, ya, disini lebih lama lagi?"
"Besok senin aku udah mulai kerja di Purwokerto sana. Tapi oke, kalau kamu minta aku berangkat besok minggu, nggak papa. Aku berangkat besok minggu. Nggak jadi hari sabtu. Tapi kamu bilang dulu, kamu nangis tuh kenapa?"
Areta beringsut masuk memeluk tubuh sang suami. Menangis lebih banyak di balik dada yang membuatnya sedikit nyaman.
"When will I get pregnant?" Bisik Areta sedih. "Kapan aku bisa hamil, Daf?"
"Itu lagi?" Tanya Daffa, merasa heran karena istrinya itu sering menyinggung soal kehamilan. "Kenapa sih pengen buru-buru hamil?"
Tetapi, Areta hanya terus menangis sambil menggelengkan kepalanya. Daffa menghela napas berat, tangannya lembut menepuk-nepuk punggung sang istri.
"Kita udah nikah, kita nggak ada rencana menunda punya momongan, dan keinginan terbesar seorang wanita yang sudah menikah jelas dengan datangnya kehamilan. Aku tau kamu pengen hamil, aku pun kalau boleh jujur juga pengen kamu hamil. Tapi kan aku kemarin bilang, yang bisa mengabulkan doa itu ya cuma Allah. Kita cuma bisa usaha dan terus memohon." Jelas Daffa. "Wajar kamu sedih, tapi kesedihan dan overthinking kamu ini menurut aku sedikit berlebihan. Kita menikah baru lima bulan yang lalu, Ret."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦
Romance-'𝐬𝐞𝐪𝐮𝐞𝐥 𝐨𝐟 '𝐫𝐚𝐢𝐧 𝐢𝐧 𝐲𝐨𝐮' ⚠︎[Mature Content]⚠︎ *** "𝐌𝐚𝐚𝐟..." "𝐌𝐚𝐚𝐟 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐚𝐩𝐚, 𝐃𝐚𝐟?" "𝐀𝐤𝐮 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚 𝐚𝐤𝐮 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐩𝐚𝐜𝐚𝐫𝐦𝐮... 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐚�...