48

158 9 8
                                    

48| Pemicu Rasa Cemburu

———

Entah karena sebab apa, malam ini tumben Bintang tidak se-rewel seperti malam-malam sebelumnya ketika malam hari. Biasanya, anak itu akan menangis tengah malam karena mengompol paling sedikit tiga kali — tidak setiap malam tiga kali, tapi biasanya sekitaran tiga atau empat kali. Namun kali ini, bayi itu hanya satu kali saja membangunkan Daffa di jam setengah dua dini hari. Iya, hanya Daffa karena Areta sama sekali tidak terusik. Tumben, atau karena di antara mereka ada dirinya sebagai pemisah jarak.

Hingga subuh di jam setengah lima, Bintang sama sekali tidak terbangun lagi. Satu-satunya hal yang membangunkan Daffa adalah alarm dari hpnya sendiri. Tangannya gontai meraih hp di atas nakas, membuatnya secara teknis jadi memeluk istrinya karena nakasnya di sisi kasur. Alarm mati, Daffa tidak langsung bangun. Dia masih sibuk kiyip-kiyip mengumpulkan nyawa, dengan kepala dibuat nyaman di dalam ceruk leher istrinya. Sungguh, semalaman dia memang literally memeluk Areta ketika tidur.

"Sayang..." Bisik Daffa serak seraya menepuk pundak Areta pelan. "Sholat, yuk."

Namun Areta masih tidak merasa terganggu.

Daffa usil semakin masuk dalam tubuh istrinya yang terlentang dan menciumi pipi gempil itu. "Sayangku." Bisiknya lagi. "Udah subuh. Sholat dulu. Biar nggak dosa dan masuk neraka."

"...eungg bentar, lima menit, ya." Areta membalas malas dengan suara tak kalah serak dan menolehkan kepala menghindari ciuman brutal.

Daffa memgulet, menimbulkan suara gemerisik akibat pergesekan tubuhnya dan bed cover. Daffa berbalik memunggungi Areta, ganti tidur miring menghadap anaknya dan memeluknya lembut. Mencium pipinya pelan agar tidak membangunkannya. Daffa hanya diam, tapi netranya tak lepas dari wajah anaknya yang terlihat begitu damai dan menggemaskan di satu waktu. Kadang masih sukar percaya, kalau sekarang dia sudah jadi bapak-bapak dengan buntut satu.

Sepuluh menit berlalu, dirinya merasa tubuhnya dipeluk dari belakang. Sudah dipastikan itu ulah istrinya yang memeluk dan menempelkan wajah di balik punggungnya.

"Tadi bilangnya lima menit, sekarang udah lewat sepuluh menit sejak aku bangunin kamu."

"Hehe, ayo sholat pak suami."

Daffa berbalik lagi, jadi kini pasutri itu telah saling berhadapan. Daffa cubit kecil pipi istrinya, bikin Areta langsung bereaksi, menghindari dengan cara membenamkan wajahnya di depan dada bidang miliknya. Daffa terkekeh, ia peluk se-erat mungkin tubuh mungil itu dan dihujani ciuman di pucuk kepalanya.

"Adek tumben, ih, nggak bangun."

Daffa mengelak. "Kata siapa? Adek bangun sekali, yang. Pipis dia, tapi kamunya nggak kebangun jadi aku yang gantiin popoknya."

Areta mendongakkan kepala menatap suaminya. "Kok nggak bangunin aku?"

"Habis, tidurmu pulas banget. Kan suaminya jadi nggak tega."

Areta berdecak, namun terkekeh tak lama kemudian.

"Sholat, yuk?"

Areta lantas menarik diri dan mengulet, diikuti Daffa, lalu dua sejoli itu pun menunaikan ibadah wajib secara berjamaah.

Pagi di Jakarta kali ini suasananya cukup berbeda. Apalagi ketika Areta turun setelah sholat subuh, di dapur sudah ada bunda dan ibu mertuanya yang sibuk memasak untuk sarapan. Areta tersenyum manis lalu bergabung bersama mereka.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang