63

139 15 4
                                    

63| (Meeting) of Two Brothers
———

"Adek, udahan yuk mainnya. Makan terus bobo siang dulu."

"Adek yagi main cama ikan, Mama."

"Itu nanti kalau ikannya pusing karena diobok-obok terus pakai ranting gimana? Kalau ikannya mati Papa marah, lho."

"Ikan na ndak mati, Mama."

Namanya anak-anak, kalau sudah menemukan dunianya sendiri yang membuatnya enjoy dan senang ya begitu. Susah banget dibujuk-rayu untuk diberi nasehat. Contohnya Bintang saat ini, dari tadi kerjaannya cuma mainan ikan milik papanya. Menggunakan ranting kayu pohon mangga yang kering lalu diubek-ubek dari pinggiran kolam.

"Mama bawa masuk baju kering dulu ya, Dek. Jangan main keluar gerbang, ya?

"Ya ya!"

Areta meninggalkan Bintang di halaman rumah sendirian tanpa pengawasan. Hanna libur karena hari ini hari Sabtu. Sementara Daffa, sedang datang ke acara temu kangen bersama teman masa kuliahnya dulu di salah satu kafe yang ada di pusat kota. Ada beberapa teman yang masuk dalam satu geng yang sama sedang datang ke Purwokerto, mereka membuat janji ketemuan, jadilah hari ini mereka meet up. Tidak sendiri, Daffa pergi bersama Chandra.

Ngomong-ngomong tentang Chandra, sohib dari Daffa itu sudah resmi jadi bapak dengan dua anak. Iya, Kiya sudah melahirkan anak kedua yang ternyata jenis kelaminnya lagi-lagi perempuan. Tidak jadi paket lengkap, deh. Padahal saat main bareng, Kiya pernah bilang padanya kalau anak kedua ini dia pengennya laki-laki. Tapi karena yang lahir cewek lagi, yasudah. Tidak mungkin kan disuruh masuk lagi ke dalam perut.

Kalau jadwal lahirannya sendiri, masih butuh satu bulan lagi. Kali ini, Areta tidak akan memaksa kedua orang tuanya datang lagi. Walau kalau mau datang dan menemaninya ya Areta bakal senang banget, sih. Soalnya, setahu dirinya kedua orang tuanya juga akan pergi ke Jakarta saat Anggit melahirkan buah hati kembarnya. Punya dua anak yang tinggal di dua kota yang berbeda ya begitu, apalagi mempunyai jadwal melahirkan yang berdekatan yaitu dua bulan.

Sebenarnya Areta suka merasa kasihan kepada kedua orang tuanya. Umur sudah tidak muda lagi tapi masih harus bolak-balik menemui anak-anaknya yang tinggal di kota yang berbeda semua. Tapi berhubung Areta juga sudah jadi orang tua, dia paham bagaimana rasanya berjauhan dengan anak. Meski pengalamannya hanya tidak bertemu Bintang selama beberapa hari ketika dirinya harus mendekam di rumah sakit.

"Mamaaa!"

Areta buru-buru keluar rumah lagi saat mendengar teriakan anak cowoknya.

"Adek? Kenapa teriak?"

"Ituuu! Ada ulal."

"HAH?!" Areta bergegas mendekat pada anaknya dan menggendongnya. Walau perutnya harus sedikit tertekan karena bobot Bintang yang sudah lumayan berat. "Ulat apa ular?!"

"Ulal, Mama."

"Adek lihat dimana—astaga—iya ular!" Areta buru-buru kembali berjalan meninggalkan halaman rumah. "Gimana coba papa mu belum pulang."

Areta resah. Ya bukan gimana-gimana, namanya ular walau kecil ya tetap bahaya. Apalagi kalau berbisa. Memang hanya di halaman rumah, tapi kalau dibiarkan, tidak menolak kemungkinan hewan melata itu bisa masuk ke dalam rumah sewaktu-waktu alih-alih pergi menjauh.

𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang