꧁ 62| Azzam With Someone Who's Gone ꧂
———Butuh waktu satu bulan bagi Areta untuk menata hati dan pikirannya lagi. Berdamai dengan diri sendiri. Tidak menyalahkan diri sendiri atas perginya sang buah hati. Areta sangat berterimakasih pada sang suami. Karena tidak pernah menghakimi, justru memberikannya waktu untuk sembuh dari rasa sakit.
Beberapa minggu yang lalu, hidup terasa begitu berat bagi ibu hamil tersebut. Seperti kedipan mata, semuanya terjadi begitu cepat. Sebelum anak yang mereka beri nama Azzam itu memilih lenyap dari dalam kandungannya, Areta masih bisa merasakan kehidupannya dalam perutnya. Menyundul-nyundul dari dalam perut, seakan menenangkan dirinya bahwa kecelakaan yang menimpanya sebelumnya tidak membuat anaknya kesakitan dalam waktu yang lama. Meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Seakan bilang; 'Mama jangan khawatir, aku baik-baik aja di dalam perut Mama'. Namun, sekarang Areta berpikir hal yang berbeda. Mungkin saja, sundulan dan pergerakan dalam perutnya itu adalah tanda perpisahan.
Beberapa minggu setelah Azzam pergi, Areta masih suka menangis sendirian. Tidak menepati janjinya pada sang suami, karena ada kalanya perasaan rindu, sedih, dan penyesalan itu tak mampu ia tahan. Meskipun anaknya belum sempat bisa melihat dunia, belum melihat ibu yang mengandungnya, tapi wanita itu tetap merasa sangat kehilangan. Karena mau bagaimanapun, Azzam pernah hadir dalam tubuhnya. Mereka sudah terhubung satu sama lain. Berbagi oksigen, makanan, dan darah yang sama.
Areta kadang menangis di kampus. Kadang juga di rumah saat Daffa sedang bertugas di lapangan seperti biasa. Atau yang paling sering, di malam hari ketika semuanya sudah tertidur. Areta akan keluar kamar, naik ke rooftop rumahnya di lantai dua, lalu menangis sambil menengadahkan kepala menatap langit berbintang. Dia percaya, Azzam ada diatas sana, diantara banyaknya bintang, melihat dirinya.
Tidak pernah sekalipun Daffa memergokinya. Tapi Areta tahu, suaminya hanya memilih untuk pura-pura tidak tahu. Kadang suka merasa bersalah, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain itu. Itu adalah cara yang ia pilih untuk menenangkan diri.
Areta tahu bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan. Daffa, suaminya itu juga sama terpukulnya seperti dirinya. Sebagai calon ayah yang kehilangan calon putra pasti juga berat. Bapak dan Ibuk. Kesha. Ayah dan Bundanya. Semuanya merasakan kehilangan. Segala macam nasehat sudah Areta terima, namun hanya Areta balas dengan satu kata; iya, tanpa mampu ia realisasikan dalam hidup.
Baru baru-baru ini Areta mampu berdamai dengan diri sendiri. Dalam satu bulan berperang dengan pikirannya sendiri, Areta berhasil menata hati dan pikiran. Lamban tapi pasti, Areta mulai sadar bahwa Azzam pergi adalah takdir terbaik yang Tuhan beri untuk anaknya. Dan sebagai ganti, Tuhan membiarkan janinnya yang lain yang masih ia kandung itu sangat sehat. Dokter bilang begitu saat terakhir kali ia check up lusa kemarin. Usianya sudah lima bulan lebih dua minggu sekarang. Bayi perempuan kembaran Azzam, akan merasa bangga bahwa sang kakak rela mengorbankan diri agar kembarannya bisa sehat dalam gendongan sang ibu di dalam rahim.
Sore ini, Areta baru berkemas di kantor dosennya ketika Daffa mengiriminya pesan.
Isinya;
suami♡:
yang, aku pulang agak telat ya
bang aji ngajak meeting dadakan buat persiapan acara weekend besok
kamu motorannya hati-hati ya yang
ambil jalan sisi kiri aja, jgn ngebut tolong banget iniAreta tersenyum kecil membaca pesan itu. Benar, pada akhirnya Areta tetap masih mengendarai motor sendiri walau usia kehamilannya sudah masuk lima bulan. Banyak yang bilang resiko naik motor itu jauh lebih buruk ketimbang mobil. Karena kalau — amit-amit — ada musibah yang menimpa, badan langsung yang akan terkena. Berbeda dengan mobil yang ketika ada benturan, masih bisa terhalang dengan badan mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐞𝐲; 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐦
Romance-'𝐬𝐞𝐪𝐮𝐞𝐥 𝐨𝐟 '𝐫𝐚𝐢𝐧 𝐢𝐧 𝐲𝐨𝐮' ⚠︎[Mature Content]⚠︎ *** "𝐌𝐚𝐚𝐟..." "𝐌𝐚𝐚𝐟 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐚𝐩𝐚, 𝐃𝐚𝐟?" "𝐀𝐤𝐮 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚 𝐚𝐤𝐮 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐩𝐚𝐜𝐚𝐫𝐦𝐮... 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐚�...