Dinda membawa dua ranjang makanan di tangannya, ia meminta suaminya untuk keluar sebentar. Beberapa menit kemudian Dave keluar sembari tersenyum. Mengecup tangan suaminya lalu tangan Dave berpindah posisi mengusap pelan perut istrinya yang membuncit.
Dave menjongkok, mengecup perut istrinya dan berkata. "Assalamualaikum, Buna, Adek."
Dinda tersenyum, mengusap rambut suaminya dengan lembut. "Waalaikumsalam, Abi."
Dave berdiri tegak, Dinda menyerahkan satu rantang makanan kepada suaminya. "Itu buat Mas Ridwan, Buna?" tanya Dave sembari menunjuk ranjang yang berada di tangan kiri istrinya.
"Iya, Bi." Dinda mengangguk.
Dave sengaja membuatkan makanan untuk Ridwan, sebagai ucapan rasa terimakasih atas bantuan pekerjaan yang ia tekuni saat ini. "Sama Buna aja kasihnya, Mas masih banyak kerjaan di dalam. Ini aja Mas ijin. Engga apa-apa, kan, Buna?"
"Engga apa-apa." Dave mengecup kening istrinya sebelum ia pergi ke dalam.
_
"Permisi Mas, Mas Ridwannya ada?" tanya Dinda pada seseorang yang sedang duduk di meja kasir. Firman yang sibuk merekap pemasukan, membalikkan badannya. Ia terdiam sejenak, menatap seorang wanita yang berada di depannya tampak tidak begitu asing.
"Mas!"
Firman tersentak. "Eh ... ada, Mbak."
"Dinda." Dinda membalikkan badannya saat mendengar suara dari belakang. Ridwan berdiri di depan pintu, menyuruh Dinda masuk ke dalam ruangannya. "Masuk, Din."
Dinda mengangguk, Ridwan membukakan pintu ruang kerjanya lebar-lebar. Ia takut terjadi ke salahpahaman yang aneh-aneh, apalagi ia menghawatirkan mood istrinya yang berantakan saat ini. Jika istrinya lihat semua ini, mungkin saja Haliyah akan mendiamkannya selama seminggu.
"Oh, ini, Mas, untuk Mas Rid sebagai ucapan terimakasih saya sama suami saya atas kebaikan Mas kepada kami." Dinda menyerahkan satu ranjang kearah Ridwan.
"Jazakallah khairan, Din, saya terima dengan senang hati." Ridwan menyimpannya di atas nakas.
Di tempat lain, Haliyah menghentikan langkahnya saat berada di sebrang cafe suaminya. Tiba-tiba saja ia sangat menginginkan soto Betawi yang berada di depan cafe, menurut Ridwan soto ini sangat enak.
"Lima, ya, Mas bungkus."
Kila menoleh kearah Haliyah, menatapnya dengan bingung. "Banyak banget, mau kamu makan semua?" tanya Kila.
Haliyah menggelengkan kepalanya. "Buat bagi-bagi."
Kila mengangguk. "Baunya enak banget."
Kila mengambil satu plastik yang berisi soto, menghirup aromanya dalam-dalam. Baunya masih sama dengan soto ayam yang Bundanya buat, hanya saja soto ini memiliki khasnya sendiri.
"Kayak biasa kok."
"Masa, sih?" tanya Haliyah.
Kila mengangguk selagi mengikuti langkah kaki Haliyah yang berada di depannya. Mereka memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan, karena pintu ruangan milik Ridwan terbuka lebar.Haliyah tersenyum. "Assalamualaikum, Mas." Senyumannya tiba-tiba redup begitu saja, Kila terkejut dengan kehadiran Dinda langsung meraih wanita itu ke dalam pelukannya.
"Kak Dinda, eh." Kila merasa ada yang berbeda, ia melihat ke bawah. Mengusap pelan perut wanita itu dengan lembut sembari bertanya. "Berapa bulan, kak?"
"Lima bulan, Kil."
Haliyah masih terdiam di tempat, netranya tidak sengaja melihat ranjang makanan berwarna biru di meja suaminya. Ia tersenyum tipis, memilih menyembunyikan soto yang ia beli di belakang punggungnya sebelum suaminya menyadarinya.
"Dek." panggil Ridwan.
Haliyah kembali tersenyum tipis, menyambut tangan suaminya. "Tumben kalian ke sini?" tanya Ridwan.
Kila menunjukkan Haliyah. "Mau nyusun makalah punya Liyah, Mas."
Haliyah menatap suaminya, menarik tangan suaminya supaya laki-laki itu sedikit membungkuk. "Mas Liyah keluar dulu, ke belet pipis," bisik Haliyah.
Ridwan mengangguk, Haliyah membalikkan tubuhnya sembari merubah posisi soto yang berada di tangannya. Ia beranjak ke luar, meminta satu kantung plastik berwarna hitam pada pelayan.
"Makasih, Mbak." Haliyah mengambil plastik hitam itu, meletakkannya di atas meja. Haliyah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di dekat jendela, mengambil napas dalam-dalam.
Ia memasukkan dua soto di plastik hitam yang tadi ia minta. Haliyah merasa suaminya tidak membutuhkan soto yang ia beli tadi, perutnya pasti akan terisi penuh oleh makanan yang di berada di mejanya. Lebih baik ia berikan pada orang lain.
Ia membalikkan badannya, memanggil Firman menyuruhnya untuk datang ke sini menghampirinya. "Buat kamu, Fir." Haliyah memberikan soto itu ada Firman.
"Alhamdulilah, Jazakallah khairan, Mbak."
Haliyah mengangguk, Firman langsung meminta ijin untuk pergi kembali melakukan aktivitasnya seperti sebelumnya.
Haliyah membuka lembaran makalah yang akan ia susun, menyusun satu persatu menurut angka terkecil di atas meja. Ia menghela napas, melihat kearah ruangan suaminya. Mereka masih berada di sana, ia memutuskan untuk merapihkan semuanya sendiri tanpa bantuan Kila.
Ia menghela napas lega, mulai merapihkan semua yang ada di meja. Tangannya menarik pelan tas yang berada di atas meja, supaya mendekat kearahnya. Mengambil sesuatu yang berada di dalam tas, yang ia simpan di sebuah kotak pensil kecil. Sebuah penjepit kertas, ia menggunakan itu untuk menjepit kertas yang baru ia susun supaya tidak berantakan lagi apalagi jika terjatuh kembali.
Kila berlari menuju Haliyah yang sedang duduk. "Liyah."
"Hm." Haliyah menoleh, ia memalingkan wajahnya sejenak. Saat melihat Dinda dan juga suaminya berjalan beriringan. Mereka seperti pasangan suami istri di matanya.
Kila menatap makalah yang tadi Haliyah simpan di atas meja. "Eh, udah selesai?" tanya Kila.
Haliyah mengangguk, membawa makalah dari atas meja langsung berjalan mendekati suaminya. Ia membisikkan sesuatu di telinga suaminya, Ridwan mengangguk langsung mengecup kening istrinya.
"Iya, Dek."
Liyah mengambil tangan Ridwan, mengecupnya sekilas. Haliyah meninggalkan Kila yang berteriak memanggil namanya itu.
Ponsel milik Kila berdering, rupanya satu pesan di kirim oleh Haliyah. Gadis mengatakan kalau ia pulang terlebih dahulu, Kila menghela napas. "Main di tinggal."
Ridwan mengambil plastik yang berada di atas meja, dari harumnya ia sudah tau kalau yang di pegangnya adalah soto Betawi kesukaannya.
"Punya siapa ini, Kil?" tanya Ridwan.
Kila menoleh, mengambil plastik yang berada di tangan Ridwan. "Punya Haliyah, tadi dia beli sebelum ke sini." Ia membukanya, keningnya mengerut. Tadi mereka membeli lima mengapa sekarang hanya tersisa tiga.
"Lah kok?"
"Kenapa, Kil?" tanya Dinda.
Kila menggaruk kepalanya yang di lapisi hijab. "Tadi kalau engga salah Kila sama Liyah beli lima deh kok sekarang ada tiga."
"Mungkin kamu beli tiga, Kil, bukan lima."
Kila menggelengkan kepalanya. "Engga, Mas, Kila beli lima kok tadi aja uangnya lima puluh ribu pas."
Kila terdiam, mencoba mengingat kembali. Perasaan Haliyah tidak membawa apapun tadi, lalu ke mana dua lagi itu menghilang.
Ia mengambil ponsel yang ada di saku gamisnya.
|Kila, sotonya kamu bawa aja.|
Gadis itu langsung membalasnya, menanyakan ke mana lagi dua soto itu.
|Liyah kasih ke orang, sekarang udah engga pengen makan soto.|
Kila menggaruk kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Rid! Nikah, yuk? (End)
Spiritual|Follow akun sebelum membaca| Insyaallah, konflik ringan! Apa jadinya jika, seseorang gadis mungil mengajak laki-laki yang umurnya jauh di atasnya menikah? Tentang laki-laki bernama Ridwan Alamsyah, yang tiba-tiba dibuat terkejut oleh seorang gadis...