saya sudah menikah

4.7K 202 0
                                    


"Belum saatnya itu terjadi,  jangan dulu berkecil hati.  Allah maha tau waktu terbaik untuk umatnya."

.

.

.

"Mas!" Haliyah mengerutkan keningnya saat melihat suaminya sedang berbicara.  Ridwan menoleh sembari tersenyum melihat Haliyah yang berjalan kearahnya sambil memegang berkas yang ia butuhkan.

"Sini, Dek." Ridwan melambaikan tangannya, menyuruh istrinya untuk mendekat.

Haliyah mengecup pundak tangan suaminya dan Ridwan memberi satu kecupan singkat di dahinya. Kening gadis itu mengerut saat menatap lekat-lekat wanita di depannya yang tampak familiar di matanya.

"Kak Dinda?"

Wanita itu tersenyum, Haliyah tersenyum kecil membalasnya. Ia melihat ke bawah, tangan Dinda tak berhenti mengelus perutnya yang buncit. Seketika ia merasa insecure dengan Dinda dan juga semua orang yang menanyakan kapan?

"Berapa bulan, kak?" tanya Haliyah.

"Lima bulan." Haliyah mengangguk.

Di dalam perjalanan Haliyah tampak  terdiam tidak seperti biasanya, membuat Ridwan beberapa kali menoleh kearah istrinya yang tampak begitu mendung saat ini. "Dek!"

Haliyah masih terdiam. "Dek, kenapa diam, Kamu sakit?"

Istrinya menggelengkan kepalanya, sibuk dengan pikiran yang begitu banyak di otaknya. Ia menghela napas, berandai-andai jika Ridwan menikah dengan Dinda dulu mungkin mereka sudah akan mempunyai anak seperti Dinda dan suaminya sekarang.

Haliyah menundukkan kepalanya, ia bergumam kecil. "Liyah, engga bisa kasih keturunan sampai sekarang."

Ridwan menoleh, meminggirkan terlebih dahulu mobil yang sedang ia kendari. "Dek!"

"Dek, mau es krim?" tanya Ridwan.

Haliyah menggelengkan kepalanya.

"Mau sate, baso, martabak?"

"Engga pengen, Mas."

Ridwan menghela napas sebelum bersuara. "Yasudah."

_

Ridwan melihat istrinya dengan cemas setelah mereka sampai di rumah. Haliyah langsung mengurung  diri di kamar mereka, bahkan mengunci pintu.

Ridwan berjalan ke sana kemari di depan pintu kamar seraya memegang piring yang berisikan makanan yang dia buat untuk Haliyah.

"Dek!" panggil Ridwan, namun tidak ada sautan. Ia menghela napas gusar, menyimpan terlebih dahulu piring yang sedang pegang tadi. Kemudian mencari kunci duplikat di laci sebelah ia berdiri. Ia terpaksa membukanya, rasa khawatirnya terlalu tinggi karena sudah beberapa jam istrinya enggan untuk keluar bahkan untuk makan.

Pintu terbuka, Ridwan menghela napas lega melihat istrinya sedang tertidur pulas sambil memeluk guling. Ridwan mendekat, duduk di tepi ranjang sembari melihat istrinya yang tampak terlelap. Tangannya mengusap bekas air mata di pipinya, matanya pun membengkak. "Kenapa nangis, Dek?"

"Kenapa engga cerita sama Mas?" tanya Ridwan sembari menatap lekat istrinya.

Ridwan mengecup kening, kedua mata Haliyah lalu membenarkan selimut yang di pakai istrinya.

"Mas sayang kamu, Dek."

-

Keesokan harinya.

"Dek!"

Haliyah berlari menghampiri Ridwan yang berada di kamar. Laki-laki itu tersenyum, Haliyah menghela napas saat melihat suaminya telanjang dada. "Pilih, Dek, yang mana yang bagus Mas pake sekarang?" tanya Ridwan.

Haliyah membalikkan tubuhnya, netranya melihat kemeja hitam yang berjejer di lemari. Semua pakaian suaminya kebanyakan berwarna hitam dan hanya sedikit yang berwarna. Haliyah membuka bagian sisi lemari, mencari pakaian yang sedikit berbeda dengan pakaian yang biasa suaminya pakai. Ia mengambil kemaja kotak-kotak berwarna hitam dan juga putih, menyerahkan pada suaminya.

"Ini, Dek?" tanya Ridwan sembari menatap istrinya, laki-laki itu  menggaruk rambutnya.

Haliyah mengangguk, membantu memakaikan kemeja tersebut. Membiarkan kancing bagian atas terbuka. "Nah, kan, bagus." Haliyah tersenyum sembari melihat baju yang di pakai suaminya.

"Dek."

Ridwan membalikkan badannya, melihat replika dirinya dihadapan cermin, keningnya mengerut menarik kemeja itu ke bawah. "Ganti, Dek, keliatan mahasiswa banget Mas pake ginian."

Haliyah memutarkan bola matanya malas, memang dasarnya laki-laki tidak pernah mengerti kemauan wanita. "Ya, sudah."

Ridwan menghela napas gusar, mengecup pipi istrinya. "Yaudah Mas pake."

Haliyah tersenyum, ia membalikkan badan mengambil celana jeans dan menyerahkannya pada Ridwan.

"Udah belum, Dek?"

"Belum ... Mas engga pede tau engga, Dek."

Haliyah membuka pintu kamar mandi, senyumnya langsung muncul ketika melihat suaminya tampak seperti seumuran dengannya. Ia mendekat, merapihkan kerah kemeja suaminya.

"Mas ganteng tau."

Ridwan mengecup sekilas kening Haliyah. "Udah, Mas sana berangkat nanti kesiangan loh. Malu sama karyawan bosnya telat.

"Bos itu bebas, Dek."

Haliyah mencubit lengan suaminya. "Bos itu harus kasih contoh bukan  malah telat di sini."

"Iya, Dek, Mas berangkat." Haliyah mengangguk, menyenangkan hati sang istri memang nomor 1 yang harus ia lakukan daripada melihat istrinya murung dan tidak berbicara dengannya.

_

Bruk

Buku dan lembaran kertas  yang di pegang Haliyah jatuh berhamburan di lantai, bahkan tugas makalah yang harus selesai besok kini berhamburan tidak berurutan di lantai. Haliyah menjongkok membereskan kertas miliknya, seseorang yang menabraknya meminta maaf. Ia mengangguk, menyuruhnya pergi karena dia tampak seperti terburu-buru.

Kila yang melihat Haliyah menjongkok di koridor kampus langsung menghampirinya. "Sini biar Kila bantu."

Haliyah mengangguk, menerima buku dan juga kertas yang sudah Kila kumpulkan tadi. Gadis bergamis hitam melihat sekeliling, kampus hari ini tampak sepi seperti tidak ada kehidupan.

"Kil, bantu nyusun  makalah, dong."

Kila mengangguk. "Oke, di cafe Mas Rid aja deh."

"Oke."

Di tempat lain, suasana cafe tampak begitu ramai. Banyak sekali pelanggan wanita di sini dari SMA hingga mahasiswa, mereka bahkan tidak segan untuk meminta nomor ponselnya katanya ingin mengenal lebih dalam.

Mereka bahkan tidak percaya kalau dirinya sudah menikah. Ia beranjak dari duduknya, merapihkan kemeja yang dia pakai sekarang sebelum beranjak.

Beberapa langkah ia berjalan, suara seseorang terdengar jelas di telinganya spontan Ridwan menoleh lalu menundukkan pandangannya.

"Eh, Mas, boleh kenalan." Gadis itu mengulurkan tangannya. Ridwan memejamkan matanya sejenak, mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Menunjukkan cincin yang ia pakai di jarinya, senyum di bibir gadis itu langsung menghilangkan tampak seperti percaya dan tidak percaya.

"Saya sudah menikah," ucap Ridwan. Gadis itu terdiam sejenak lalu pergi begitu saja. Ridwan menggelengkan kepalanya, sedangkan laki-laki di belakangnya tampak tersenyum memperhatikan bosnya.

Ridwan membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua tangannya keatas tinggi-tinggi. Pertanda menyerah dengan semua yang terjadi tadi.

"Saya nyerah, Fir," ucap Ridwan.

Firman hanya tersenyum. "Kamu yang urus, ya, saya pusing." Ridwan memijat keningnya yang berdenyut.

"Baik, Bos."

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang