Kanaya Dinda larasati

4.3K 187 1
                                    


Haliyah melihat bayi mungil yang tertidur, tangannya begitu kecil berbeda dengan tangannya yang besar. Ridwan yang berada di sebelah merangkul pundak Haliyah sembari menatap bayi cantik yang tertidur pulas. Bayi itu mirip seperti ibunya yaitu Dinda.

Bayi mungil yang lahir dini hari tadi begitu sehat dan juga gemuk. Haliyah menyentuh permukaan perutnya yang membuncit, usia kandungannya masuk bulan ke empat tinggal beberapa bulan lagi mereka akan bertiga.

"Cantik banget, ya, Mas?" tanya Haliyah pada Ridwan yang berada di sampingnya. Ridwan mengangguk, matanya berbinar menatap bayi itu dengan kagum. "Iya, Dek, kayak ibunya."

Haliyah mengangguk. "Nanti dia sekecil ini, ya, Mas?" tanya Haliyah.

"Hm ... nanti wajahnya kayak kamu, Dek." Haliyah menggelengkan kepalanya. "Engga-engga, Liyah mau wajahnya kayak Mas aja."

"Lah kok, Dek?" tanya Ridwan.

"Wajah Mas sejuk di pandang. Bisa buat Liyah jatuh cinta dulu."

Ridwan tersenyum, ia mengelus pucuk kepala istrinya yang tertutup hijab. "Mas pengen kayak kamu, Dek. Cantik."

Haliyah menutup wajahnya malu, ia  memutarkan tubuhnya menjadi membelakangi suaminya. Ridwan menggelengkan kepalanya kecil, tangannya menarik tangan istrinya lalu memeluknya.

"Mas pengen perempuan, Dek."

Haliyah mengangguk. "Nanti kalau laki-laki gimana."

"Ya, engga apa-apa."

Dinda yang sedang berada di ranjang hanya tersenyum menatap mereka berdua. Dave mengelus kepala istrinya lalu bertanya. "Mau makan, Buna?"

Dinda menggelengkan kepalanya.  "Buah aja, ya."

"Iya."

"Kak Dinda!" Haliyah memanggil Dinda, wanita itu menoleh. Haliyah menunjuk bayi yang tertidur di ranjang bayi. "Namanya siapa?"

Dinda dan Dave saling menatap lalu tersenyum. Dinda membuka suara pelan, "Kanaya Dinda larasati, panggilannya Aya."

"Nama yang cantik, secantik wajahnya." Ridwan mengangguk.

Ia terus menatap bayi mungil itu, akan tiba saatnya ia akan berada di posisi Dave dan juga Dinda. Ridwan hanya menunggu, tangannya mengelus perut Haliyah.

Ridwan menarik tangan Haliyah pelan, meminta istrinya untuk duduk karena Haliyah sudah lama berdiri dari tadi. "Duduk, Dek."

Haliyah menggelengkan kepalanya, ia masih ingin melihat bayi Aya. "Masih mau liat bayi Aya, Mas."

"Engga, Dek. Duduk, kamu engga kasihan sama dia kecapean, ummanya terlalu aktif." Haliyah menghela napas, ia memutuskan untuk menurut dengan perintah suaminya. Ia memang super aktif, Haliyah bahkan kadang-kadang lupa jika ia sedang mengandung.

Untung saja suaminya selalu mengingatkannya untuk hati-hati apalagi jika teringat kandungannya lemah beberapa bulan yang lalu.

Ridwan, definisi suami idaman. Bagaimana tidak idaman, laki-laki itu melakukan pekerjaan yang dilakukan olehnya sehari-harinya.  Ridwan hanya memintanya untuk duduk di atas ranjang dan tidak melakukan apapun, semua pekerjaan   suaminya di kerjakan di rumah.

Satu bulan ini, ia hanya tidur, makan, mandi bahkan suaminya mengendong Haliyah ketika ingin ke toilet.

Sungguh, ia seperti kembali menjadi bayi. Tidak bisa apa-apa selain tidur di atas ranjang, lihatlah dia sangat berubah.  Tubuhnya melar, pipinya semakin tumpah dan tubuhnya naik 5 kg.

Haliyah mengambil ponsel miliknya ketika ponselnya berbunyi, ternyata Kila yang menghubunginya. Gadis itu mengatakan, bahwa ia akan datang untuk menjenguk Dinda dan menanyakan di mana Dinda di rawat.

Tangan kecil Haliyah menari-nari di atas ponsel, membalas pesan dari Kila. Lima  menit kemudian Kila datang, gadis itu membuka pintu ruangan dengan kasar lalu berlari mendekat kearah ranjang kecil yang berada di sisi kanan.

Mulut Kila mengganga saat melihat  bertapa kecilnya bayi yang sedang ia lihat sekarang. "Ah, masyaallah ... lucu banget." Tangan Kila menyentuh tangan kecil Kanaya.

"Pengen bawa ke rumah."

"Nikah dulu nanti juga punya," sahut Ridwan, Kila menoleh kearah laki-laki kemudian menghela napas. "Bicara mah gampang, Mas. Kenyataan engga."

Haliyah menepuk tangan Ridwan, suaminya malah tersenyum sambil berbicara kecil pada istrinya. "Cape, Dek. Kila banyak maunya."

Kila melotot saat mendengar kata tersebut. "Mas juga kemarin gitu, engga mau yang muluk-muluk yang asal yang baik, sayang sama Bunda dan lain-lain."

"Kila!"

Haliyah menggelengkan kepalanya, pasti suaminya dulu menginginkan sosok yang sempurna untuk di jadikan istri. Bukan seperti dirinya yang tidak bisa apa-apa, sebaliknya juga Haliyah. Juga menginginkan sosok suami yang bisa membimbingnya lebih baik seperti laki-laki di sampingnya yaitu Ridwan.

"Dek."

"Iya, Mas."

Ridwan menarik pipi kanan Haliyah. "Jangan bengong, Dek."

Haliyah mengangguk, ia menyondongkan tubuhnya ke arah Ridwan. Membisikkan sesuatu di telinga suaminya, "Mas, ayo pulang. Liyah pengen sesuatu."

Ridwan mengangguk, ia lalu pamit pada Dinda dan juga Dave. Kila menolak untuk ikut, karena ia masih ingin di sana bersama dengan Dinda, katanya Kila belum puas melihat Aya.

"Mau beli apa, Dek?" tanya Ridwan saat sudah berada di dalam mobil. Haliyah berpikir, kemudian ia menggeleng.

"Lah." Ridwan menghela napas.

Ridwan menjalankan mobilnya, Haliyah masih memerhatikan jalanan di siang hari. Ia berharap ada makanan yang bisa membuat liurnya menetes saat melihatnya.

Mata Haliyah tertuju pada gerobak martabak yang berada di pinggir jalan. "Mas."

Ridwan menoleh. "Apa, Dek?"

"Berhenti." Ridwan langsung menghentikan mobilnya, Haliyah turun dari mobil dan berjalan dengan cepat kearah gerobak yang ada di sana.

"Dek, jangan lari." Lagi-lagi Ridwan menghela napas, ia mengejar istrinya yang sudah jauh.

"Mas martabak coklat, ya, satu."
Haliyah menelan ludah, ia begitu tergoda oleh coklat yang berada di atas martabak tersebut.

Haliyah memeluk martabak itu di dadanya setelah berada di tangannya. Ridwan tersenyum  dan segera membayarnya.

Ridwan melirik kearah istrinya, "Mau apa lagi, Dek?"

Haliyah terdiam, banyak sekali keinginannya sekarang. Matanya berkeliling, mencari apa yang ia mau di sini. Matanya tertuju pada sebuah gerobak es krim dengan varian rasa.

Haliyah membayangkan bertapa lezatnya es krim itu mencair di mulutnya. "Mau itu, Mas." Ia menunjuk gerobak es krim yang berada di sebrang jalan.

Ridwan mengangguk. "Kamu tunggu di sini, Mas beliin."

"Oke, Mas."

Bruk..

"Mas!" Ridwan segera berlari  memeluk tubuh Haliyah yang bergetar. Kecelakaan itu tepat berada di depannya, untung saja Ridwan belum melangkahkan kaki ke depan terlalu jauh. Kalau tidak tubuhnya pasti terbawa mobil yang menabrak pohon tersebut.

Haliyah menangis, sembari terus memeluk tubuh suaminya. Haliyah takut jika Ridwan berada di sana, ia takut kehilangan suaminya untuk ke sekian kalinya.

Ridwan mengelus pundak istrinya. "Udah, udah, jangan nangis. Mas engga apa-apa."

"Jangan di lihat, ayo kita menjauh dulu." Ridwan berjalan selagi memeluk tubuh istrinya.

Ridwan menyuruhnya untuk duduk, tapi Haliyah menggelengkan kepalanya. "Duduk dulu, Dek. Mas mau beli air minum dulu."

Haliyah malah menarik baju yang di pakai Ridwan, laki-laki itu menghela napas.  "Dek, bentar aja. Tuh di sana dekatkan?"

Haliyah menggeleng. Tidak ada cara lain selain mengajak istrinya untuk pergi ke sana, Haliyah tak mau di tinggal setelah melihat kejadian itu.

"Mbak air mineralnya satu." Ridwan menyuruh Haliyah untuk minum dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Tarik napas, Dek, Mas engga apa-apa. Mas masih ada di samping kamu, itu bukan Mas."

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang