.

3.7K 173 0
                                    


Ridwan memeluk tubuh istrinya dari belakang setelah beberapa jam laki-laki itu menghilang dari pandangannya bahkan dari rumah ini. Haliyah melepaskan pelukannya, sedikit menjauh.

"Dek, Mas pengen peluk."

Haliyah menggelengkan kepalanya, laki-laki itu kalau ada maunya selalu seperti ini. Tidak merasa bersalah dengannya tadi, bahkan suaminya tampak biasa saja.

Minta maaf juga tidak.

"Apa sih, Mas." Haliyah membelakangi suaminya, Ridwan mendekat satu langkah.

"Dek."

"Sana katanya engga mau balik lagi." Wajah istrinya sangat masam, ia bisa lihat dari samping. Bibir manyun dan pandangan tidak ramah sekali apalagi ketika melihatnya.

Ridwan menghela napas, ia mengecup pipi kanan Haliyah dari samping. Haliyah langsung menghapus bekas kecupan di pipi kanannya dengan tangannya sembari berkata. "Kuman."

"Dek, beneran Mas di cuekin?"  Haliyah membalikkan tubuhnya menghadap suaminya. "Tadi Mas bilang Liyah egois, oke Liyah sadar diri Liyah egois."

Ridwan menghela napas, ia memilih pergi dari kamar supaya istrinya tidak lagi emosi karenanya. Ridwan takut akan membuat keadaan menjadi buruk dan juga memikirkan kondisi janin yang sedang di kandung istrinya.

Tapi sebelum pergi ia menyimpan catatan di atas nakas. Haliyah menatap pintu kamar tertutup rapat, ia menghela napas berat. Bukannya membujuknya tapi laki-laki itu malah pergi.

Haliyah melirik sekilas kertas yang berada di atas nakas. Suaminya meninggalkannya di sana, jiwa keponya merajalela. Haliyah memutuskan untuk membacanya, siapa tau suaminya membujuknya dengan kata-kata romantis.

Haliyah menghela napas, tidak ada kata-kata romantis di kertas tersebut. Ia terlalu berharap pada suaminya, mana mungkin Ridwan menulis kata-kata tersebut.

Di dalam kertas itu hanya berisikan Dek, nanti kalau udah engga emosi susul Mas di kamar tamu. Haliyah menggaruk kepalanya, "Babamu engga bisa romantis, Dek."

"Minimal bujuk Umma gitu, bukannya suruh Umma ke kamar tamu pasti ada maunya." Pasti suaminya menyuruhnya ke sana hanya untuk memijit badannya atau membantu menyelesaikan masalah keuangan. Niat Ridwan sudah bisa di tebak oleh Haliyah.

"Dek, kita Fiks cari Baba baru aja deh."  Bayinya menendang, Haliyah tak tau itu tanda setuju apa tidak setuju.

Haliyah menghela napas, harapan memang tidak selalu tercapai. Haliyah duduk di sisi ranjang, melihat ke depan sembari mengatur napasnya.  Sebenarnya ia juga tidak boleh egois, hormon saat hamil membuat Haliyah tidak terkendali. Haliyah tidak mau mengalah tentang apapun jika berdebat dengan Ridwan, berdebat dengan suaminya adalah hal yang membahagiakan menurutnya.

Karena, Ridwan selalu mengalah dan kemudian membujuknya dengan segala cara. Walaupun gombalannya sedikit garing tapi Haliyah menyukainya, ia suka melihat Ridwan memasang wajah memelas sembari menatapnya.

Haliyah menghembuskan napas panjang, setelah dua puluh menit ia diam di sini sembari meredakan emosi. Haliyah memutuskan untuk menyusul suaminya, ia takut Ridwan akan berbalik mendiamkannya.

Dengan langkah terletih Haliyah berjalan ke kamar tamu, kakinya yang dulu kecil kini membengkak begitu besar dan juga badannya.  Entah berapa berat yang sedang ia bawa sekarang, bahkan berjalan menuju ke kamar tamu membuatnya letih dan juga sedikit sesak.

Haliyah mengatur napasnya, jangan sampai ketika ia melihat wajah suaminya. Emosinya keluar lagi, kalau itu terjadi bisa-bisa ia akan tidur sendiri.

Haliyah membukakan pintu, mata itu mengerut melihat begitu gelapnya kamar ini. Tangannya meraba dinding cari saklar untuk menyalakan lampu tapi tidak ia temukan.

"Mas!"

"Mas kenapa gelap, sih. Bukannya kita udah bayar listrik?" tanya Haliyah dengan sedikit berteriak. Ia membukakan pintu berharap cahaya masuk dari luar, namun ternyata lampu di ruang tamu juga ikut mati  sepertinya sedang mati lampu.

"Mas!"

"Liyah engga bisa liat apa-apa loh, Mas. Kalau Liyah ke sandung gimana?" Masih belum ada jawaban. Haliyah memutuskan berjalan, Haliyah berjalan kesusahan.

Kakinya menyandung sesuatu membuatnya kehilangan keseimbangan, Ridwan segera menangkap tubuh Haliyah dari belakang. "Hati-hati, Dek."

Ridwan memutarkan tubuh Haliyah untuk menghadapnya. "Kamu masih marah sama Mas?"

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Jawab, Dek."

"Engga, Mas."

"Syukur, deh." Haliyah menghela napas.

Ridwan maju satu langkah, ia meniup mata istrinya membuat Haliyah mengedipkan matanya lalu wajahnya ia condongkan.

Membisikkan sesuatu di telinga istrinya, "Selamat ulang tahun, Dek."

Haliyah membuka matanya bersamaan dengan lampu menyala. Ternyata suaminya sedang berada di depannya sembari tersenyum.

Haliyah menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Ridwan mengambil kue yang berada di atas nakas, menyalakan lilin berangka 20 tahun.

"Dek, selamat menua sama Mas dan mari selalu menua bersama hingga ajal menjemput. Maaf jika Mas belum bisa membuat kamu bahagia, tapi Mas akan berusaha sekuat Mas  bisa."

"Menua bersama kamu, Dek adalah takdir terindah yang pernah Allah kasih sama Mas. Kita sama-sama memperbaiki semuanya, Dek, di tahun ini baik emosi ataupun tentang pendapat kita kedepannya." 

Haliyah mengangguk. "Iya, Mas."

Ridwan memeluk tubuh istrinya setelah menyimpan terlebih dahulu  kue tersebut di atas ranjang.

Haliyah melepaskan pelukannya saat mendengar suara tepuk tangan dari belakang. Matanya kembali meleleh ketika melihat semua keluarganya berkumpul. Haliyah memeluk Bundanya dengan erat, ia sangat-sangat merindukan Bundanya karena beberapa bulan terakhir Haliyah tidak berkunjung ke rumah.

"Bunda, Liyah kangen." Naya mengusap punggung anaknya. "Bunda juga kangen sama kamu."

Haliyah juga memeluk ibu mertuanya. "Menantu kesayangan Bunda."

Haliyah menangis, Ayahnya malah meledeknya mengatakan jika ia menangis seperti anak kecil.

Ibrahim mengecup kening putri, anak yang dua puluh tahun ia gendong pertama kalinya sudah menjadi istri dan akan seorang ibu satu bulan lagi. "Udah jangan nangis, malu sama anak kamu."

Haliyah mengangguk sembari menghapus air matanya. Ia melihat suaminya dengan tajam, seperti Ridwan sedang mempermainkannya. Ridwan yang mengerti tatapan istrinya langsung melihat kearah Kila.

Gadis itu malah tersenyum lalu memeluk tubuh Haliyah. "Ah, selamat ulang tahun."

Haliyah mengangguk, tangan Kila menyentuh perutnya yang membuncit. "Kila juga kangen dia,  ih makin besar aja."

Haliyah tersenyum.

"Sebenarnya ini rencananya Kila karena Kila tau Mas Ridwan itu membosankan."

Haliyah mengangguk menyetujui jika Ridwan membosankan. Haliyah membalikkan badannya menatap suaminya dengan tajam. "Terus Mas beneran ke Bunda?" tanya Haliyah.

Ridwan menggelengkan kepalanya, ia menunjuk kue yang berada di atas ranjang. "Mas keluar buat beli itu."

"Bunda sama Tante Naya ke sini sama Kila."

Ridwan meraih tangan istrinya. "Maafin Mas, ya, Dek."

"Hm."

"Dek."

Mereka tertawa, Haliyah ikut tersenyum. Sebenarnya ini adalah ulang tahun yang paling indah selama hidupnya. Ulang tahun pertama dengan Ridwan dan juga ke dua keluarganya.

Haliyah mengulurkan tangannya di depan suaminya, meminta hadiah yang Ridwan siapkan. Ridwan malah tersenyum, tangannya menunjuk pipi kanannya meminta Haliyah untuk mengecup pipinya sekilas.

Haliyah menghela napas, Ridwan menjongkok di hadapan istrinya. Mengecup sekilas, Kila paling heboh. "Wah, Kila mau gitu."

Vino menarik Kila. "Menikah dulu, Nak."

Ridwan mengambil sesuatu di saku celananya, sebuah kotak perhiasan berwarna merah.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang