bulan ke sembilan

3.5K 167 1
                                    

Ridwan memeluk tubuh Haliyah dari belakang sembari mengusap perut istrinya yang membuncit. Di usia yang sekarang, Ridwan harus menjadi suami siaga untuk istrinya dan calon buah hatinya.

Satu bulan ini, ia menyerahkan semua pekerjaannya pada Firman dan juga Dave. Ridwan hanya berada di rumah menemani Haliyah sepanjang hari, walaupun ada rasa ingin pergi ke sana namun ia urungkan. Karena sekarang prioritasnya istrinya bukan pekerjaannya berbeda dengan dulu, yang ia pikirkan hanya pekerjaan dan pekerjaan.

"Mas!"

"Mas engga ke cafe?" tanya Haliyah.

Ridwan menggelengkan kepalanya. "Engga, Dek."

"Lah kok." Haliyah membalikkan tubuhnya menghadap Ridwan yang berada di belakangnya. Laki-laki itu tersenyum, sembari menatap Haliyah yang sedang menatapnya.

"Pengen di rumah, Dek."

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Engga usah bohong, Mas. Liyah tau Mas kangen ngurus cafe sama restoran."

"Engga kok, Dek. Mas pengen di sini."

"Yaudah, Deh. Tapi Liyah engga paksa Mas di sini loh."

"Iya, Dek."

Haliyah menatap suaminya dengan berbinar. "Mas."

"Iya, Dek."

Haliyah tersenyum, sembari merentangkan kedua tangannya. "Bantuin." Ridwan memeluk tubuh Haliyah, membantunya untuk duduk di atas ranjang.

Ridwan menurunkan tubuhnya, menghadap perut Haliyah yang membuncit. Pergerakan di sana sangat jelas terlihat, Ridwan segera menempelkan tangannya di perut Haliyah, merasakan pergerakan-pergerakan yang menakjubkan menurut Ridwan.

Haliyah mengusap rambut Ridwan dengan tangannya. "Mas kalau mau ke cafe, Liyah engga ngelarang kok."

Ridwan menggelengkan kepala. "Hplnya masih lama kok, Mas. Sekarang masih awal bulan perkiraan pertengahan bulan. Jadi Mas engga usah khawatir."

"Dek, perkiraan dokter bisa meleset. Nanti kalau Mas ke cafe kamu ngelahirin gimana?"

"Tinggal suruh kamu pulang, Mas," ucapnya di iringi tawa renyah.

Ridwan menggelengkan kepalanya. "Dek, Dek. Mas engga akan pergi ke cafe."

Haliyah bertanya. "Kalau misalnya urusan yang engga bisa Firman dan Dave urus, Mas harus ke sana. Oke?"

Ridwan mengangguk. "Oke, tapi kamu harus sama Kila."

"Iya, Mas."

"Mau makan apa, Dek?" tanya Ridwan. Haliyah berpikir keras, ia sangat menginginkan baso yang berada di depan cafe.

Haliyah menggaruk rambutnya, ia bingung untuk meminta kepada suaminya, Ridwan. "Mau apa, Dek, bilang."

Haliyah mengisyaratkan Ridwan untuk mendekat, laki-laki itu menurutinya. Haliyah membisikkan sesuatu di telinga kanan Ridwan. "Pengen baso."

"Oke, Mas beli." Ridwan berdiri, mengambil kunci motor yang ia simpan di atas nakas.

"Mas!"

"Iya, Dek. Kenapa?"

Haliyah merengek. "Pengen yang di depan cafe." Ridwan terdiam, jarak dari rumah menuju cafe sangat jauh. Ridwan tidak bisa meninggalkan istrinya seorang diri di sini.

"Yang di depan aja, ya, Dek. Di sana jauh suka ngantri pula." Ridwan membujuk Haliyah, tapi istrinya tidak merespon dengan baik. Haliyah malah mendengus kesal dan tidak menatapnya.

"Dek."

"Apa?"

Air mata Haliyah jatuh, Ridwan memejamkan matanya sejenak lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum mengambil keputusan. "Oke, Mas beli."

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang