Belajar Masak

4.6K 226 0
                                    

"Cinta merubah seseorang."




"Mas!"

Ridwan tersenyum, menarik tangan istrinya yang sedang merajuk kepadanya. Liatlah wanita di depannya begitu sangat mengemaskan, wajahnya polos tanpa hiasan sembari memanyunkan bibirnya sedikit.

Laki-laki mengecup tangan istrinya sembari berkata. "Makasih buat usahanya, Dek. Tapi rasanya mungkin lebih enak kalau garamnya lebih sedikit."

Haliyah memalingkan wajahnya sembari mendengus kesal. Suaminya begitu menyebalkan, susah-susah ia menyimpan nasi goreng yang tidak layak makan itu di lemari paling atas tapi masih saja suaminya menemukannya.

"Dek!"

Haliyah noleh, Ridwan menyuruhnya untuk duduk di kursi sebelahnya. Wanita itu menurut, duduk di samping laki-laki yang terus menatapnya sembari tersenyum kecil.

"Mas engga perduli, Adek bisa masak apa engga. Yang Mas mau Adek selalu di sisi Mas sampai kapan pun. Mas tau mencari yang sempurna itu sulit dan belum tentu menentukannya karena hakikatnya kita berdua saling melengkapi kekurangan bukan membandingkan kemampuan kita, Dek."

"Tapi, Mas?" Mata Haliyah berkaca-kaca.

"Mas engga akan nuntut banyak sama kamu, mau kamu bisa masak apa engga itu urusan belakangan. Kalau Adek mau belajar, Mas juga engga mau ngelarang dan juga sebaliknya. Semua itu terserah gimana yang Adek suka, tapi harus inget pekerjaan rumah itu bukan milik Adek sendiri milik Mas juga."

Haliyah bertanya. "Bukannya, urusan rumah itu urusan perempuannya Mas. Ada istilah kalau perempuan itu, dapur, sumur, kasur."

"Kalau menurut Mas itu engga betul, Dek. Memang kita punya kesibukan sendiri, tapi coba kita bandingkan pekerjaan kita sama. Seorang suami mencari nafkah dan seorang istri mengurus rumah tangga, semuanya sama hanya saja itu tergantung pola pikir diri sendiri."

Ridwan menatap istrinya lekat. "Mas berpikir, mencoba berbagi segala hal adalah hal yang wajib di coba untuk memperkuat ikatan setelah berbicara. Seperti ini saja, Adek cuci piring ... Mas yang sapu lantai dan juga sebaliknya."

Haliyah bertanya. "Mas bukannya pekerjaan seorang suami lebih berat daripada pekerjaan istri."

Ridwan menggelengkan kepalanya. "Menurut Mas sendiri tidak, tugas seorang istri juga sama beratnya apalagi kalau sudah menjadi ibu tanggung jawabnya juga tinggi. Adek tau kan, guru pertama anak adalah ibunya sendiri. Membentuk pola pikir pada anak itu susah, apalagi kalau anak masih kecil banyak sekali ucapan-ucapan yang mereka tiru. Dunia anak itu seperti kertas dan seorang ibu seperti pena mereka saling melengkapi, seorang ibu menbimbing dan seorang anak berkelana."

Haliyah tersenyum lebar, selagi menatap suaminya dengan bangga. Ia benar-benar bersyukur karena Allah mengirimkan laki-laki yang pandai memahaminya dan saling menutupi kekurangannya.

"Liyah bangga deh, Mas."

Ridwan mengerutkan keningnya. "Bangga kenapa, Dek?"

Wanita itu tersenyum. "Dapetin, Mas."

Ridwan menggelengkan kepalanya, tangannya menarik hidung istrinya dengan gemas. "Udah pinter ngegombal kamu, ya, Dek?"

"Dari dulu Mas."

Laki-laki itu mengangguk, istrinya dari dulu memang selalu mengedepankan perasaannya. contohnya seperti yang terjadi di masa lalu. Mungkin hidup memang harus berdampingan, ada kalanya sendiri dan juga bersama. Ridwan mengerti, menjadi seorang suami itu hal yang sedang ia lakukan, memang sulit tapi ia sedang berusaha menjadi suami terbaik untuk istrinya dan juga anaknya nanti.

"Liyah, sayang Mas."

Ridwan membisikkan sesuatu di telinga Haliyah. "Ayo, Dek kita olahraga?"

"Olahraga apa Mas malam-malam begini?"

Ridwan hanya tersenyum, ia mendekatkan tubuhnya lalu mengecup bibir istrinya selanjutnya penyatuan itu terjadi.

"Jangan kasar-kasar, Mas. Ini pertama buat Liyah."

"Buat Mas juga."

_


"Engga gitu juga, Liyah." Kila mendengus kesal, ia kembali mengambil pisau yang ada di tangan Haliyah.

Kila memotong kentang bentuk dadu sembari memperlihatkannya kepada Haliyah. "Ngertikan?"

Haliyah menyengir polos, sudah beberapa jam ini ia belajar memasak dengan Kila walaupun belum ada yang berhasil bersarang di otaknya.

Kila menghela napas gusar, membiarkan Haliyah memotong sesuai keinginannya. Ia hanya melihat saja, dan mengambil instrusi jika gadis itu salah.

Haliyah memotong wortel tanpa mencucinya dan mengupasnya terlebih dahulu. "Itu kotor, cuci dulu terus kupas."

Haliyah mendengus. "Ribet banget sih."

Gadis bergamis hitam itu menggelengkan kepalanya, semua yang di makan pasti harus di cuci terlebih dahulu. Karena kita tidak pernah tau berapa banyak kuman yang menempel pada sayur-sayuran tersebut.

"Itu masukin ayamnya dulu." Haliyah mengangguk, terus menerus mengikuti instrusi dari gadis yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

Setelah berjuang akhirnya, sup buatan Haliyah jadi. Entah bagaimana rasanya tapi kalau di lihat dari penampilannya tidak terlalu buruk hanya saja bentuknya tidak rata.

"Enak engga?" tanyanya pada Kila, gadis itu mencicipinya sedikit. Ia mengangkat jempol kanannya sembari berseru. "Lumayan."

Haliyah menghela napas lega, usahanya berhasil walaupun ia tau hasilnya belum maksimal.

Kila mendorong tubuh Haliyah dari belakang. "Sana mandi, kamu bau bawang."

Haliyah memanyunkan bibirnya sedangkan adik iparnya tertawa terbahak-bahak. "Sana, Liyah."

Ia mengangguk, mulai berjalan menuju kamar untuk mandi dan kemudian menyambut suaminya pulang.

Di tempat lain, Ridwan menggelengkan kepalanya saat melihat sebuah video berdurasikan beberapa menit yang di kirim oleh sang adik. Memperlihatkan istrinya sedang berusaha belajar memasak, suara Kila begitu jelas menasihati istrinya tapi Haliyah malah mendengus kesal dan merajuk.

"Ada-ada aja kamu, Dek."

"Engga sabar Mas pulang."

Ponselnya kembali berdering rupanya sebuah foto di kirim adiknya, memperlihatkan sup yang di masak sang istri.

Ridwan kembali tersenyum, ia beranjak dari duduknya. Kemudian merapihkan berkas-berkas yang akan di bawa nanti, menyimpannya di tas. Laki-laki itu memanggil Firman. "Saya pergi dulu, kalau ada apa-apa langsung telepon saya."

Laki-laki itu mengangguk, Firman tersenyum selagi melihat punggung bosnya yang perlahan-lahan menghilang. "Bener kata orang, cinta merubah seseorang." Ia menggelengkan kepalanya lalu pergi.

"Ini bagus engga?" tanyanya pada Kila.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Engga, ganti."

Haliyah menghela napas gusar, sudah berapa kali ia menganti baju masih saja adik iparnya menengurnya. Katanya tidak cocok, jangan warna hitam, terlalu pendek dan masih banyak lagi.

Kila menyodorkan pakaian yang menurutnya bagus. "Nih, pake. Kila pulang, awasnya kalau engga di pake."

Haliyah mengangguk. "Oke, Liyah pake."

"Kila pulang."

"Hem."

Setelah sepuluh menit Kila meninggalkan rumahnya, Haliyah sudah siap dengan pakaian yang di berikan oleh Kila. Ia memandang duplikat dirinya di kaca, gadis itu tampak berbeda.

Haliyah mengaruk kepalanya tidak gatal, sembari matanya terus melihat kearah kaca. "Engga terlalu pendeknya?"

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Engga pendek sih, emang laki-laki sukanya yang gitu."

Ia terdiam sejenak. "Tapi, kan, Mas Rid alim pasti engga suka gue kayak gini udah kayak cewek pengoda laki orang."

"Mas suka kok, Dek."

"Eh!"

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang