Nasi goreng gosong

5.3K 208 0
                                    


Laki-laki memimpikan wanita yang sempurna dan wanita pun memimpikan laki-laki yang sempurna. Namun mereka tidak mengetahui bahwa Allah menciptakan mereka  untuk saling melengkapi kekurangan pasangan.

Seperti merasa paling sempurna, di takdirkan bersama dan membina rumah tangga dengan istrinya kelak adalah impian dari seorang Ridwan Alamsyah. Seperti halnya, rumah yang sedang ia dan istrinya pandang saat ini. Semuanya tampak seperti keinginan mereka berdua, asri dan juga nyaman.

Laki-laki itu tersenyum sembari merangkul pundak Haliyah dan membawanya untuk mendekat kearahnya. Istrinya itu membalas senyum, ia tampak senang dengan hasil kerja mereka berdua.

"Akhirnya selesai juga." Ridwan merentangkan kedua tangannya, Haliyah tersenyum selagi menganggukkan kepalanya. "Selesai dengan sempurna, Mas."

Ridwan mengangguk, membawa istrinya ke dalam pelukannya. Mengecup kening istrinya dan juga ke dua pipinya. "Makasih, Dek, sudah mewujudkan keinginan Mas."

Haliyah mengangguk, mereka berdua memutuskan untuk duduk di sofa depan tv. Ridwan berfikir, kenapa gadis di sampingnya menyukainya dulu. Ia hanya laki-laki dingin dan pernah membuat gadis itu menangis karena ucapannya kala itu.

"Dek." Haliyah menoleh. "Iya, Mas."

"Mas mau tanya."

Haliyah memandang wajah suaminya yang tampak ragu untuk berbicara dengannya saat ini. "Tanya apa, Mas. Kok tegang gitu wajahnya." Haliyah tertawa kecil.

Ridwan menghela napas. "Mas mau nanya." Laki-laki itu menjeda ucapannya beberapa menit. "Kenapa suka sama Mas, Dek?"

Haliyah terdiam lalu tertawa kecil. "Karena Mas adalah laki-laki yang sempurna."

Ridwan menarik pipi kanan istrinya. "Serius, Dek."

Haliyah menganggukan kepalanya. "Liyah serius loh, Mas. Dulu itu, Mas itu alim banget, bisa buat Liyah jatuh cinta. Dulu Liyah kira, Liyah engga cocok sama Mas. Karena Liyah bukan gadis yang pantas bersanding dengan Mas yang tau banyak tentang agama. Liyah hanya gadis  yang masih berantakan hidupnya."

"Dek."

Haliyah tersenyum tipis, kedua matanya berkaca-kaca. "Tapi saat itu Liyah sadar diri sejak Mas bicara kalau Liyah engga pantas untuk nyatain cinta sama Mas dan satu lagi, hati Liyah hancur saat Mas melamar Kak Dinda untuk jadi istri Mas kelak."

Ridwan mengambil tangan istrinya, lalu mengecup berulang kali tangannya itu. "Dek, maafin Mas pernah nyakitin perasaan Adek dulu."

Haliyah mengangguk. "Iya, Mas, Liyah udah maafin Mas kok dari dulu."

"Tapi Allah Maha baik, ya, Mas?" tanya Haliyah dengan mata berbinar, Ridwan menghela napas lega. "Iya, Dek."

"Bisa menyatukan yang mustahil di satukan."

Ridwan mengangguk. "Baik banget, sampai bisa nyatuin kita berdua."

"Iya, Mas."

_

Sesuai janji mereka berdua, Ridwan memutuskan mengunjungi kafe seorang diri. Istrinya bilang, ia masih malas keluar rumah akhir-akhir ini. Haliyah memutuskan untuk tidak ikut dan berdiam diri di rumah.

Laki-laki itu membuka persatu buku yang ada di depannya, matanya menatap angka di setiap sisi buku memperlihatkan keuntungan yang telah kafenya hasilkan sebulan ini.

"Fir, tolong rekap ulang."

Firman mengangguk. "Baik, pak."

"Alhamdulilah omset bulan ini lebih banyak dari bulan kemarin. Tapi masih banyak komentar-komentar buruk yang kita terima akhir-akhir ini, insyallah itu buat kita semangat lagi."

Firman mengangguk. "Alhamdulilah, akhir-akhir kafe ramai, Pak. Banyak yang datang berbagai kalangan, apa sebaiknya kita rubah suasana, Pak?"

Ridwan terdiam, mulai berpikir. "Ide bagus itu, nanti saya pikir dulu mau seperti apa."

Firman mengangguk. "Baik, Pak, saya permisi."

_

Untuk pertama kalinya, Haliyah berekperimen di dapur dengan keahlian yang sangat di ragukan. Memasak telur saja gorong apalagi memasak yang lain, untuk di persembahkan pada suaminya tercinta yaitu Ridwan.

Tangannya memainkan ponsel, mencari menu yang akan dia masak hari ini. Walaupun ia masih ragu dengan kemampuannya  tapi ia harus berusaha. Dengan ragu ia memilih menunya itu nasi goreng dengan campuran sosis, baso dan juga yang lainnya.

Tangan kanannya meletakkan ponsel lumayan dekat dengan kompor, dengan lihai ia melihat menu yang sudah ada di layar ponselnya.

"Bawang putih." Haliyah menggaruk kepalanya tidak gatal, sepertinya ia lupa dengan benda itu. Bagaimana wujud bawang putih itu, apa bentuknya putih seperti namanya?

Haliyah kembali membaca urutan berikutnya, ya,  itu bawang merah, namanya hampir sama dengan yang di atas. Haliyah menyesal karena selalu menolak ajakan sang Bunda untuk mengenal dapur.

Ia benar-benar buta akan rempah-rempah. Gadis menghela napas gusar, mengambil kembali ponselnya dan mencoba mencari seperti apa bentuk yang ia butuhkan.

Haliyah mengambil satu persatu bahannya, memastikan semua yang dia ambil benar.

Ia mengiris bawang merah dan putih dengan tidak beraturan, ada yang tipis ada yang tebal sama seperti rupa sosis dan baso di depannya itu.

Ia memasukkan semua bahan-bahannya ke dalam wajan dengan api besar, minyak berhamburan mengenai tangan kanannya membuat ia meringis perih.

Haliyah panik saat bawang yang di tumis terlalu matang hingga membuat warnanya berubah menjadi hitam. Dengan cepat ia memasukkan semua seperti nasi, sosis dan juga baso.

Mengaduknya hingga rata, Haliyah menghela napas saat ia akan mengambil garam dan juga penyedap rasa. "Ah, segimananya?" tanyanya pada diri sendiri, akhirnya dengan ragu ia mengambil garam dan juga penyedap rasa menaburkannya ke atas wajah dan mengaduknya hingga rata.

Haliyah  mengambil piring di lemari bagian bawah, rupanya gadis itu lupa sedang memasak dengan api yang sangat besar.

"Astagfirullah!" Ia buru-buru mematikan kompornya, Haliyah menghela napas kecewa. Masak segini saja sudah menghancurkan semuanya, bagaimana ia bisa menyenangkan suami dengan masakannya.

Nasi goreng dengan warna hitam ke coklat-coklatan itu mendarat di atas piring kaca. Ia buru-buru menyembunyikannya di lemari atas supaya suaminya tidak menemukannya.

Haliyah menghela napas. "Hari pertama gagal."

_

"Dek, Assalamualaikum."

Ridwan memasuki rumah begitu sepi, seperti istrinya sedang tidak ada. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha untuk berpikir negatif pada istrinya sendiri.

Tanpa berpikir lama ia mencari keberadaan Haliyah, pintu kamar mereka berdua terbuka. Ridwan menghela napas lega, rupanya istrinya sedang tertidur pulas dengan memeluk guling.

Ridwan mendekat, mengecup kening istrinya lalu pergi menuju dapur. Perutnya sudah minta di isi, dia melihat kulkas ternyata kosong hanya tinggal ada air putih dingin dan juga susu.

Ia membuka lemari bagian atas, laki-laki itu ingat kemarin menyimpan beberapa mie di sana.

Tangannya menyentuh piring. "Apa ini?" tanyanya, sambil menarik piring itu keluar.

"Nasi goreng?"

Ridwan tersenyum kecil lalu mengelengkan kepalannya. Membawa nasi goreng  kemudian duduk di tempat makan, dengan lahap ia menyantapnya.

"Alhamdulilah."

Ridwan mengelus perutnya yang sudah terisi penuh. Di dalam kamar Haliyah terbangun, ia beranjak menuju ke dapur untuk membawa air minum. Langkahnya berhenti saat melihat suaminya sedang duduk dengan piring di hadapannya yang tampak tidak tersisa sama sekali.

"Dek, Jazakallah khairan makasanmu enak."

Haliyah menepuk pundak laki-laki yang tersenyum kecil itu.

"Mas!"

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang