.

2.3K 104 0
                                    

Haliyah memeluk Bundanya dengan erat, beliau baru sampai ke rumah saat ini. Orang tuanya tidak jadi pulang kemarin, ada beberapa urusan yang harus mereka selesai lagi.

Haliyah sangat merindukan orang tuanya, tiap hari mereka selalu menyempatkan untuk menghubunginya dan selalu menanyakan kondisi s kembar. Baik-baik saja atau tidak, ia bersyukur saat ini ia bisa melepas rindu dengan Bundanya.

"Bunda, Liyah kangen." Bundanya mengelus pucuk kepala putrinya. Sementara Ridwan yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya. Ya, seperti inilah istrinya dulu dan sekarang tidak pernah berubah.

"Malu sama suami kamu, Nak."

"Biarin aja." Bundanya menghela napas panjang. "Cucu Bunda mana?"

"Di kamar lagi tidur," ucap Ridwan.

"Biar Ridwan bawa ke sini." Wanita parubaya itu mengangguk.

Ridwan menyerahkan Haffa ke tangan istrinya lalu kembali lagi masuk ke dalam kamar untuk membawa Haffi yang masih tertidur pulas.

Wanita parubaya itu melihat cucunya dengan lekat, sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang merekah. "Udah besar ternyata mereka," ucap Bundanya Haliyah.

Haliyah mengangguk, semua berlalu dengan cepat. Pertumbuhan s kembar juga begitu pesat, tapi memang Haffi sedikit telat tapi tidak apa-apa. Semua perkembangan anak beda-beda, yang diutamakannya adalah kesehatan mereka berdua.

"Haffa sudah mau merangkak."

"Wah, cepat banget cucu Bunda ini." Wanita parubaya itu mengecup kening Haffa yang ada di pangkuannya sedangkan Haffi berada di tangan Ridwan.

Kehamilannya masih ia rahasiakan sekarang, ia menunggu momen pas untuk mengatakannya pada Bundanya. Ayahnya berada di luar sedang merokok, Ridwan menyerahkan Haffi pada istrinya dan menghampiri mertua yang berada di luar.

"Bun."

"Hm."

"Kayaknya cucu Bunda bakal nambah lagi," ucap Haliyah sembari tersenyum tipis. Wanita parubaya itu tidak menjawab ucapan yang di lontarkan putri semata wayangnya. "Bun."

"Dengerin Liyah lagi ngomong."

"Kamu hamil lagi, Nak?" tanya Bundanya.

Haliyah mengangguk, ia mengelus perutnya yang masih datar. Mungkin beberapa bulan lagi perutnya akan membuncit tapi tidak sebesar ketika hamil s kembar. Bundanya memeluk tubuh dengan erat, cita-cita orang tuanya. Dulu Bunda ingin memiliki beberapa buah hati tapi Allah hanya memberinya satu yaitu Haliyah, anak semata wayangnya.

Dan sekarang ia akan memiliki banyak cucu dari putri tunggalnya. "Jaga kesehatan, jangan kecapean apalagi di trimester pertama itu rawan. Ingat kehamilan pertama kamu bagaimana, Nak."

Haliyah mengangguk. Ia akan selalu ingat bagaimana proses kehamilan pertamanya dari hamil hingga melahirkan s kembar.

"Tapi s kembar masih kecil, Bun."

"Engga apa-apa, rezeki engga boleh di tolak. Yang penting sifatnya engga kaya kamu, soalnya takut suami kamu pusing nanti. Ngurus dua orang."

"Bun!"

"Bercanda."

"Yang penting kamu harus merhatiin nutrisi s kembar sekarang dan juga asupan makan kamu juga. Bunda tau ini engga mudah tapi kamu harus menikmati prosesnya, jangan lupa baca-baca lagi buku yang dulu pernah kamu beli pas awal hamil s kembar."

"Iya, Bun. Pasti. Kuliah Liyah harus di undur lagi."

"Engga apa-apa, kuliah bisa kapan aja. Setelah lahiran juga bisa."

Haliyah mengangguk. "Bunda nginep aja." Bundanya menggelengkan kepalanya. "Engga Nak, rumah sudah kosong lama banget. Kalau di ini Bunda sama Ayah mau tidur di mana?"

"Iya juga sih." Kamar satu lagi masih di gunakan oleh Kila. Saat ini gadis itu tidak ada, ia berada di rumah orang tuannya.

_

Haliyah menenangkan Haffa yang menangis seperti tidak nyaman di gendong oleh Haliyah. Ridwan melirik istrinya yang berusaha menenangkan putranya, laki-laki itu masih membereskan
barang-barang yang berada di ruang tamu yang lumayan berantakan.

Ia yang menggantikan istrinya membersihkan rumah sekarang.

Haffa masih setia menangis, Ridwan melirik ke arah istrinya lagi lalu mendekat. "Sini Haffanya biar Mas yang gendong."

Ridwan membawa Haffa dari tangan istrinya. Ajaibnya putranya seketika diam, tidak menangis. Sepertinya Haffa sangat merindukan Ridwan. Beberapa hari ini suaminya selalu pulang telat,  ada beberapa masalah yang baru Ridwan selesaikan di cafe.  Haliyah hanya tersenyum saat tangisan Haffa berhenti sedangkan Haffi ada di kamar tertidur di atas ranjang.

Haliyah memegang sapu yang tadi di pegang suaminya. Ridwan yang melihatnya langsung menggelengkan kepalanya.  "Biar sama Mas kamu duduk aja."

Haliyah merasa bersalah kepada suaminya harus bergadang dan esoknya membereskan rumah. "Tapi, Mas!"

"Duduk aja." Haliyah menggelengkan kepalanya. "Duduk sana, nanti Mas beresin kalau Haffa udah tidur."

Haliyah mengangguk, ia duduk memperhatikan suaminya yang sedang mengendong Haffa. Putranya sekarang sangat rewel sekali, Haliyah juga kerap bangun tengah malam ketika s kembar menangis.

Ridwan menidurkan Haffa di samping Haffi yang tertidur. Membenarkan tangan putrinya saat tertidur, sebelum keluar Ridwan mengecup satu persatu kening putra putrinya.

"Haffa tidur, Mas?" tanya Haliyah.

Ridwan mengangguk, ia menjatuhkan tubuhnya di samping istrinya. Menyandarkan kepalanya di pundak Haliyah, rasanya lelah sekali hari ini. Energinya terkuras habis.

"Sini biar Liyah pijitin."

Ridwan merubah posisinya menjadi membelakanginya, ia langsung menempatkan ke dua tangan di pundak suaminya lalu memijatnya.

"Pelan aja, Dek."

Haliyah mengangguk.

"Sini tiduran mas, rapihin ini nanti aja." Haliyah menepuk pahanya, Ridwan langsung tersenyum. Ia menjatuhkan kepalanya di paha istrinya sedangkan kepalanya menghadap perut istrinya yang masih datar.

"Hay anak Baba." Ridwan mengecup perut istrinya dengan gemas, delapan bulan lagi mereka akan bertemu.

Suasana rumah akan lebih ramai jika bayi yang ada di kandungan istrinya lahir, apalagi s kembar sudah mulai berjalan dan berbicara.

Ridwan menguap saat rambutnya di mainkan oleh istrinya. Matanya menutup, Haliyah tersenyum tangannya terus mengusap rambut suaminya dengan pelan.

"Makasih, Mas."

Rasanya kata makasih tidak cukup untuk mengutarakan semuanya sekarang. Bagaimana suaminya berjuang untuk keluarga kecilnya, Haliyah sangat bersyukur memiliki suami seperti Ridwan. Yang rela berkorban siang dan malam hanya untuk membahagiakan keluarganya.

Suami dan Ayah terhebat yaitu Ridwan.

_

Sebentar lagi tamat

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang