.

4.3K 176 0
                                    

Kila memeluk tubuh Haliyah setelah gadis itu datang bersama Bundanya. Tangannya mengelus perut Haliyah sama seperti mengelus perut Dinda waktu itu.

Haliyah tersenyum, tangannya mengelus kepala Kila. Gadis itu tampak sangat senang, Kila terus saja mengoceh dari beberapa menit yang lalu.

"Aduh, bumil."

Haliyah tertawa, ia menarik tangan Kila untuk duduk di kursi. Tangan satunya lagi  masih setia mengusap perutnya seperti takut kehilangannya.

"Perut kamu  lucu."

"Hm." Ia ikut mengelus perutnya yang tidak rata, sedikit membuncit namun tak terlalu besar. Ridwan mengajaknya untuk ke dokter, memeriksa kandungan. Laki-laki itu sangat khawatir dengannya dan calon buah hatinya. Ia berharap kandungannya berkembang dengan sempurna lalu lahir dengan selamat.

Jihan membawakannya susu, meminta Haliyah meminumnya hingga habis. Ridwan memeluk tangan Haliyah setelah laki-laki itu duduk di istrinya. Ridwan membisikkan sesuatu, "Dek, Bunda kamu udah tau?" tanya Ridwan.

Haliyah mengerutkan keningnya, Ridwan menghela napas. Ia menunjuk perut Haliyah, istrinya langsung menepuk jidatnya. "Astaghfirullah Mas, Liyah lupa."

Ridwan menggelengkan kepalanya, ia menyerahkan ponsel miliknya kepada Haliyah. Istrinya mengambilnya dengan senang hati, menghubungi orang tuanya mengatakan kabar bahagia.

Mereka akan datang, tapi ingatannya tertuju pada ucapan orang tuanya dulu. Ia masih sekolah, apa ia sanggup melewatinya?

"Kenapa, Dek?"

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Engga, Mas."

Haliyah membisikkan sesuatu di telinga kanan suaminya. "Mas apa bisa Liyah jalani ini? Liyah masih kuliah?"

Ridwan mengecup tangan istrinya. "Bisa, Dek. Bismillah, kita berdua berusaha yang terbaik buat dia. Dia anugrah buat kita."

Haliyah mengangguk, Kila menghela napas setelah mendengarkan ucapan yang keluar dari Ridwan membuatnya ingin menikah tapi dengan siapa? Hanya ada Bima laki-laki yang menjadi sahabatnya.

Kila bangkit dari duduknya menuju dapur, Haliyah yang tersadar  Kila beranjak langsung melepaskan pelukannya dengan Ridwan.  Memukul pelan pundaknya sembari menggerutu. "Tuh, kan, gara-gara Mas Kila kabur."

"Bukan salah, Mas, Dek." Ridwan menghela napas, apa salahnya? Ia hanya sedang ingin bermanja-manja sepuasnya sebelum tempatnya nanti di curi oleh calon anaknya kelak.

Ridwan sebenarnya sengaja supaya Adiknya Kila bisa berkeluarga sepertinya. Ia harus memilih seseorang yang tepat untuk adiknya, bukan tentang cinta semata tapi agama dan juga tanggungjawabnya.

Laki-laki yang beruntung mendapatkan adiknya harus laki-laki yang lebih darinya. Kila merupakan adik satu-satunya yang Ridwan punya di dunia ini. Kalaupun bisa di artikan Kila, orang tuanya hingga istrinya adalah dunianya. Ridwan tak mau orang-orang menyakitinya biarlah ia yang tersakiti.

"Dek?" tanya Ridwan.

"Hm?"

"Menurut kamu Kila cocok sama laki-laki yang bagaimana?" tanya Ridwan. Haliyah berpikir, "kenapa memangnya, Mas?"

"Mas khawatir." Haliyah mengangguk, ia memeluk tubuh suaminya yang tampak khawatir. "Kila bisa dapatin laki-laki yang buat dia bahagia."

Siapapun orangnya kita hanya yang memberi restu dan mereka yang menjalaninya ke depan. "Liyah berharap, Kila jadi kesayangan suaminya kelak. " Ridwan mengangguk.

_

Naya memeluk tubuh anaknya, ia mengecup kening putri kesayangannya Liyah. Tubuh putri semakin berisi, Naya sangat senang Haliyah bahagia dengan pernikahannya.

"Bunda." Haliyah menangis kecil,  Naya mengusap air mata di pipi anaknya.

"Sut, jangan nangis malu sama anak yang kamu kandung."

Haliyah mendengus kesal, ia kembali memeluk tubuh yang bunda.  Wangi tubuh Naya begitu membuatnya tenang, Naya menyuruh untuk Kila duduk tapi Kila menggelengkan kepalanya.

Ia mau duduk jika bersama dengan Naya, wanita parubaya itu mengangguk. Duduk di sebelah anaknya yang terus saja memeluk tubuhnya. "Kamu ini manja banget, malu sama suami kamu."

Ridwan hanya tersenyum, ia menyodorkan air dan juga makanan ringan untuk ibu mertuanya. Haliyah melirik sekilas suaminya, Ridwan hanya tersenyum kecil.

"Liyah."

"Iya, Bunda."

"Jaga kesehatan, jagain cucu Bunda." Haliyah mengangguk.

Naya menyuruh Liyah untuk duduk di sebelah Ridwan tapi Haliyah menggelengkan kepalanya. Ridwan hanya menghela napas menatap kelakuan sang istri yang sedang manja.

Hamil atau tidak sifat manjanya masih melekat di tubuh istrinya.  Sampai detik ini, ia tidak di repotkan oleh permintaan-permintaan yang diinginkan oleh Haliyah, wanita itu belum mengalami fase ngidam.

Hanya saja sifatnya sedikit berlebihan apalagi sifat manjanya. "Bunda."

"Bunda tidur di sini, ya. Liyah pengen tidur sama Bunda." Ridwan tampak tercengang, Naya menepuk paha putrinya pelan. "Liat suami kamu melotot, kamu bilang mau tidur sama Bunda."

Haliyah tersenyum lebar, ia merubah posisi. Memeluk tubuh suaminya, dengan memasangkan wajah memelas ia meminta sesuatu pada suaminya. "Mas boleh, ya, plis."

"Engga."

"Mas, ih."

"Pengen tidur sama Bunda, satu hari ini aja." Haliyah memelas, Ridwan terus menggelengkan kepalanya.

Haliyah menghela napas, lalu mendengus kesal. "Bun, katanya kalau permintaan yang lagi hamil harus di turutinnya nanti anaknya ileran."

Naya mengangguk. "Tuh, Mas denger."

Ridwan menghela napas, ia mengijinkan Haliyah tidur bersama dengan bundanya. "Tapi Liyah mau tidur di kamar, Mas tidur di kamar tamu."

"Dek!"

"Mas udah ijinin loh tadi." Naya yang memerhatikan mereka hanya tersenyum. Naya sangat bersyukur putrinya mendapatkan suami yang baik seperti Ridwan, laki-laki yang menyayangi putrinya sepenuh hati walaupun Haliyah sedikit kekanak-kanakan jika di lihat lebih dalam.

Di malam harinya, Haliyah mendorong tubuh suaminya untuk tidur di kamar tamu. Ia dan sang bunda tidur di kamar utama, Ridwan tampak memelas.

Haliyah tampak bodo amat, yang terpenting keinginan terpenuhi. "Dek!"

"Kenapa?"

"Beneran mau tidur sama Bunda?"

Haliyah mengangguk. "Iya, emangnya kenapa? Mas ngelarang Liyah?"

"Mas mau anaknya ileran?" Ridwan menggelengkan kepalanya. "Engga, Dek."

"Nah, mangkanya sana. Udah malam tidur, Liyah butuh istirahat. Bye." Haliyah menutup pintu kamar miliknya, Ridwan hanya menghela napas sembari menyandarkan tubuhnya di pintu kamar.

Ridwan berjalan ke kamar tamu yang berada sebelah kamar miliknya. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya sembari memeluk guling.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang