Rumah Bunda

4.1K 195 0
                                    


"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. At-Taghabun [64]: 15).


Haliyah menghela napasnya setelah sampai di rumahnya dulu. Menarik koper miliknya pelan, menatap rumah yang ia tempati 20 tahun. Setelah enam bukan tidak berkunjung, rumah orangtuanya tampak berbeda. Warna rumahnya kini sudah berganti yang tadinya putih kini menjadi abu.

"Assalamualaikum." Haliyah membukakan pintu, Bundanya langsung berlari menghampirinya kemudian memeluknya dengan erat.

"Baru inget pulang kamu?" tanya Bundanya.  Haliyah menghela napas, ucapan Bundanya memang benar ia sudah tidak mengunjunginya hampir empat bulan. Karena kesibukan yang Haliyah jalani menjadi seorang istri dan juga seorang mahasiswa.

"Kamu sendiri ke sini? Suami kamu ke mana?" tanya Bundanya sembari melihat keluar.

"Kamu kabur ke sini?" tanya Bundanya bertubi-tubi, Haliyah hanya tersenyum tipis. "Mas Ridwan lagi sibuk, Bunda, kita engga lagi marahan."

Wanita parubaya itu menatap anaknya dengan lekat. "Yang bener kamu?"

Haliyah mengangguk. "Iya, Bunda."

Bundanya menghela napas, menyuruhnya untuk mengganti pakaian yang ia pakai.

Haliyah menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menghela napas, menatap lurus ke arah pintu. Suaminya tidak menghubunginya saat ini, mungkin laki-laki itu sedang sibuk dengan urusan cafe dan juga restoran yang sedang ia buat.

Haliyah merebahkan tubuhnya, memeluk guling yang berada di sebelahnya. Tanpa mengganti terlebih dahulu pakaian yang ia pakai.

Di tempat lain, Ridwan terus menerus melihat ponsel yang berada di atas meja. Mengecek apakah Haliyah mengirimkan pesan kepadanya, mengatakan ia sudah sampai di rumah Bunda. Tapi pesan itu tidak kunjung muncul, Ridwan menghela napas.

Ridwan mengetik pesan tapi ia menghapusnya lagi. Meletakkan kembali ponsel di atas meja, tangannya kembali meraih buku yang sejak tadi ia abaikan. Kembali mencatat dan menghitung pengeluaran di bulan ini.

Ridwan meminta kopi hitam tanpa gula kepada Firman, ada sedikit masalah terkait tentang dana pembangunan restoran yang sedang ia bangun. Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya, meminum kopi hitam yang sudah ada di mejanya beberapa menit yang lalu.

Laki-laki itu kembali mengecek ponsel miliknya, ia tak boleh egois. Ia sangat sadar sifat istrinya lebih dari Kila—Adik perempuannya, ia mengirimkan pesan kepada Haliyah.

|Assalamualaikum, Dek. Sudah sampai?"|

Ridwan meletakkan ponselnya asal lalu menyelesaikan tugasnya yang menumpuk di atas meja.

_

Haliyah terbangun dari tidurnya setelah tertidur tadi. Suara ketukan terdengar dari arah pintu kamar, suara Bundanya juga terdengar nyaring menyuruhnya untuk keluar dan membantunya di dapur.

"Liyah, bantu Bunda."

"Iya," ucapnya sembari bergegas mengganti bajunya dengan pakaian santai. Haliyah menuruni tangga, berjalan menuju tempat Bundanya berdiri yaitu dapur.

Bundanya menyodorkan wortel, kearahnya. Menyuruhnya untuk mengupas dan memotongnya. "Taukan gimana cara potongnya?" sindir Bundanya, Haliyah menoleh lalu tersenyum. Walaupun keahlian memasaknya belum bertambah tapi ia sudah tau cara mengupas dan juga memotong sayuran.

"Tau."

Haliyah pokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba Bundanya memanggilnya dan bertanya tentang sesuatu hal yang membuatnya terdiam. "Kamu engga nunda punya anak, kan?" tanya Bundanya tiba-tiba.

Haliyah masih terdiam, menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menunda apapun sekarang. Bunda menghela napas, matanya melihat Haliyah yang kembali mengupas wortel.

"Bunda engga suruh kamu punya anak secepatnya."

Haliyah menoleh mendongak kearah Bundanya, selagi meletakkan pisau yang berada di tangannya. "Bunda tau kamu masih terlalu kecil untuk punya anak."

"Bukannya anak itu penting, Bunda."

Bundanya mengangguk setuju. "Betul, tapi Bunda sama Tante Jihan engga nyuruh kamu cepet-cepet kasih kita cucu. Bunda tau kamu masih muda, masih banyak yang harus  kamu lakuin.  Ya, kalau  rezekinya kamu hamil, Bunda bersyukur. Ridwan juga pasti engga paksa kamu cepat-cepat kasih dia anak, pasti suami kamu juga tau. Kamu masih muda buat kasih dia anak, di usia sekarang apalagi kamu masih kuliah."

"Kalau misalnya Liyah hamil gimana?" tanya Haliyah.

Bundanya tersenyum. "Ya, engga apa-apa berarti itu rezeki kamu. Allah punya waktu terbaik buat kasih kamu anak, sayang, mau sekarang atau tahun besok."

"Bunda juga dulu engga langsung hamil malah Bunda kosong dua tahun baru ada kamu. Memang pasti banyak yang nanya kapan isi, tapi kalau bukan waktunya punya anak bagaimana? Kita bisa apa. Mungkin hanya bisa minta sama Allah supaya kasih kita keturunan dan lebih rajin berhubungan suami istri. Toh juga banyak  di luaran yang sama kayak  Bunda bahkan lebih lama, sekarang jamannya sudah canggih kalau mau punya anak tinggal bayi tabung."

Haliyah hanya terdiam.

"Memangnya kamu siap punya anak di umur kamu yang masih muda? Gimana nanti kuliah kamu?"

Haliyah berfikir sejenak, sebenarnya ia sangat siap mempunyai anak.  Haliyah mengangguk, dengan cepat. "Yasudah kalau kamu siap, Bunda engga akan marah tapi Bunda harap kamu bisa menghargai pemberian itu."

"Iya, Bun."

"Kalau mau cepat-cepat punya anak harus rajin khem sama suami kamu bukannya malah keluyuran ke sini."

Haliyah hanya tersenyum kecil.

_

Haliyah memegang kembali sebuah testpek di tangannya. Ia memastikannya kembali, Haliyah memejamkan kedua matanya sebelum melihat hasilnya.

Kedua matanya terbuka, Haliyah tersenyum kecil selagi matanya berkaca-kaca. "Belum waktunya." Haliyah mengulang-ulangi dua kata tersebut.

Ia membuang testpek itu sembarangan, duduk di pinggir ranjang. Haliyah menghapus air matanya, ia menghela napas. Menjatuhkan tubuhnya di atas kasur sembari menutup matanya.

Haliyah masih terisak kecil, ia tak mau Bundanya melihatnya menangis seperti ini. Ia menutup mulutnya dengan tangan, memejamkan matanya kuat-kuat tidak lama Haliyah tertidur.

Ambar masuk ke kamar anaknya, duduk di pinggir ranjang. Tangannya mengusap kepala Haliyah dengan lembut, ia mengalihkan pandangannya ke depan. Ambar melihat sebuah benda kecil di dekat pintu kamar mandi, ia mengambilnya.

Mata wanita parubaya itu berkaca-kaca, ia melihat anaknya. Mengecup kening Haliyah sebelum ia bersuara. "Bukan rezeki kamu."  Bisik Ambar di telinga sang anak.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, Ambar yang sedang berada di kamar anaknya keluar untuk membukakan pintu. Ridwan tersenyum, mengecup pundak tangan   Bundanya—Haliyah.

"Masuk, Nak."  Ridwan mengangguk.

"Langsung masuk aja ke kamarnya Liyah, di atas."

"Baik, Bun."

Ridwan berjalan menaiki tangga, ia menghela napas sejenak sebelum membukakan pintu kamar sang istri. Pintu kamar itu terbuka, Ridwan tersenyum melihat istrinya yang sedang tertidur pulas di ranjang. Ia mengelus rambut lalu tangannya berpindah ke pipi milik Haliyah, Ridwan menatap istrinya lekat-lekat sebelum ia mengecup kening Haliyah dalam-dalam.

"Mas pulang, Dek."

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang