Fika

4.2K 204 0
                                    

"Untuk kamu laki-lakiku, bersabarlah. Harapan yang tertuang ke bawah akan membuahkan hasil, seperti air yang terus di isi ia akan penuh."




"Kok Mas ada di sini?" Haliyah tampak terkejut saat melihat suaminya sedang tertidur di sebelahnya begitu lelap. Ia melihat jam menunjukkan pukul satu malam, Haliyah menghela napas lalu menoleh kearah suaminya dan tersenyum. Laki-laki itu tampak begitu manis ketika tertidur, ia berharap jika kelak ia memiliki anak. Haliyah ingin semuanya mirip dengan Ridwan, jangan seperti dirinya apalagi sifatnya yang ceroboh.

Haliyah mengecup kening suaminya sebelum beranjak dari ranjang. Ia memutuskan untuk sholat tahajud, meminta yang terbaik menurut sang pencipta terutama keturunan yang sholeh dan sholehah.

Haliyah mengambil wudhu, setelah selesai ia membuka pintu perlahan. Rupanya suaminya telah terbangun dari tidurnya, Ridwan tampak menggosok matanya sembari mengumpulkan nyawanya.

"Tahajud, Dek?" tanya Ridwan. Haliyah yang tampak menggelarkan sajadah menoleh kearah suaminya. 

Ia mengangguk. "Bareng sama Mas."

"Mas mau tahajud?"

"Iya. Sajadahnya jangan lupa, Dek."

"Iya, Mas." Haliyah menggelarkan sajadah untuk sang suami. Beberapa menit kemudian Ridwan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah oleh air wudhu. Haliyah memalingkan wajahnya, menepis pandangannya terhadap suaminya.

"Dek."

Haliyah menoleh. "Mas ganteng, ya, Dek?" tanya Ridwan sambil tersenyum kecil.

Haliyah hanya terdiam, Ridwan menghela napas. Sebenarnya Haliyah sangat ingin berteriak apalagi melihat suaminya begitu menawan, wajahnya masih basah memandanginya dengan senyum yang begitu manis.

Masyaallah.

Haliyah berdiri, mulai menggunakan mukena miliknya lalu menunaikan sholat sunah tahajud bersama suaminya.

_

   
"Mas engga ke cafe?" tanya Haliyah yang sedang membereskan baju miliknya. Ridwan menggelengkan kepalanya, memeluk guling milik istri yang begitu harum buah.

Haliyah bertanya kembali. "Kenapa?"

"Males, Dek."

Haliyah menepuk kaki suaminya yang berada di sampingnya. Ridwan tampak menikmati momen rebahannya di kamar sang istri, apalagi di temani Haliyah yang sudah beberapa hari tidak ia temui. Sejujurnya Ridwan sangat merindukan istrinya entah pelukannya ataupun urusan ranjang.

"Dek." Ridwan merubah posisinya, memeluk Haliyah dari belakang. Menaruh dagunya di tengkuk sang istri, tubuh Haliyah menggeliat saat napas suaminya begitu menerpa leher belakangnya.

Hangat dan nyaman.

"Apa, Mas?" Haliyah kembali merapihkan pakaian, mengabaikan suaminya yang sudah bertingkah.

"Mas pengin, Dek." Wajah Ridwan memelas, ia menggoyang tubuh istrinya. Haliyah menghela napas, melihat kearah jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"Masih pagi, Mas."

Ridwan mengendus kesal, ia mengubah posisinya menjauh dari istrinya. Haliyah menoleh, rupanya suaminya begitu seperti anak kecil ketika menginginkan sesuatu apalagi kalau berhubungan dengan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Malu Mas, sama Bunda." Haliyah memalingkan wajahnya.

"Ya sudah kita pulang."

Haliyah menoleh, sembari membulatkan kedua matanya. Pulang? Niatnya untuk sendiri sekarang punah karena Ridwan berada di sisinya sekarang. Masih ada banyak waktu yang telah suaminya janjikan dulu.

Ridwan menarik tangan Haliyah dengan lembut. "Kamu udah lama loh di sini, suami di anggurin."

"Baru dua hari loh, Mas. Liyah di sini."

"Dua hari lama buat Mas, Dek. Apalagi sifat kamu yang kayak gini, asli Mas engga kuat, Dek."

Haliyah mendengus kesal sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Engga kuat apa, Mas?"

"Nahan rindu, Dek."

Tangan Haliyah mendarat di kening suaminya. Mengecek suhu tubuh Ridwan, tidak panas tapi mengapa ucapan laki-laki itu sangat berbeda sekali dengan Ridwan yang kemarin.

Haliyah bergumam. "Oh, ada maunya jadi begini."

"Ayo, Dek. Mas lagi pengin, dosa loh kalau nolak."

Wajah Haliyah memelas. "Tapi, Mas?"

Ridwan menghela napas. "Bunda pasti paham kok."

"Yaudah."
_

Haliyah mengecek ponsel yang tadi ia simpan di atas balas. Rupanya beberapa panggilan telepon dan juga pesan di kirimkan oleh Fika.     Gadis itu kembali ke Jakarta setelah lima bulan, Fika memutuskan kuliah di luar kota mengikuti Bundanya yang berkerja di sana.

Haliyah membalikkan tubuhnya, menatap suaminya yang tertidur pulas memeluk guling miliknya. "Mas."

Haliyah membangunkan suaminya pelan, setelah membersihkan tubuhnya. Ridwan menggeliat, saat telinganya di sentuh oleh Haliyah. Titik sensitif yang berguna untuk membangun laki-laki bernama Ridwan.

"Mas."

"Hm." Ridwan kembali menutup matanya, Haliyah menggoyangkan lengan suaminya yang sedang tertidur. "Liyah mau ketemu Fika, boleh?"

"Mau ke mana, Dek. Jam berapa sekarang?" tanya Ridwan

"Di rumah Fika, jam tiga sore, Mas."

Ridwan mengangguk, mengijinkan Haliyah untuk bertemu dengan Fika.

Setengah jam berlalu, Fika tampak mundar-mandir di depan rumahnya menunggu Haliyah yang begitu lama. Fika mengangkat tangannya tinggi-tinggi melambaikan tangannya kepada Haliyah yang tengah menyebrang.

Fika memeluk tubuh Haliyah dengan erat, hubungan mereka lumayan baik walaupun jarang berjumpa karena jarak tentunya. Tangan Haliyah di tarik oleh Fika, masuk ke dalam rumah gadis itu. Fika hanya sendiri di sini, orang tuanya masih di Surabaya. "Lo mau minum apa?" tanya Fika.

"Apa aja, Deh." Fika mengacungkan jari jempol miliknya.

"Aura beda nih yang udah nikah." Fika menyerahkan gelas yang ia pegang ke tangan Haliyah. "Masih sama kok."

Fika menggelengkan kepalanya. "Lo gendutan." Haliyah memanyunkan bibirnya ke depan, ia juga merasa sangat-sangat besar sekarang. Baju yang biasanya di pakai kini lumayan sesek dan juga sempit.

Haliyah tidak menanggapi ucapan dari Fika. Ia malah bertanya balik, menanyakan apa saja yang terjadi di sana. "Lo seneng tinggal di sana?"

Fika mengangguk, walaupun nyatanya mencari teman itu sangat-sangat  sulit. Apa lagi teman sejati, ibaratkan mencari jarum di tumpukan jerami yang menggunung. Fika sangat bersyukur memilik sahabat seperti Haliyah.

"Lo sama Mas Ridwan gimana?" tanya Fika.

Haliyah tersenyum. "Baik-baik aja, dia baik banget."

"Oh, syukur deh. Kalau dia bikin lo sedih ngadu aja sama gue nanti  gue kasih pelajaran."

Haliyah menganggukkan kepalanya. "Emang kamu berani?" tanya Haliyah.

Fika langsung menggelengkan kepalanya. Menurut Fika, Ridwan itu menyeramkan apalagi mengingat dulu ia pernah membentak laki-laki itu membuat Fika harus hati-hati.

Haliyah tertawa pelan, Ridwan tidak semenakutkan itu. Laki-laki itu manis di dalam, dingin di luar.

Dan itu yang membuat Haliyah sangat menyukai suaminya.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang