.

2.7K 127 0
                                    

Tangan Haliyah masih setia di genggaman laki-laki itu, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Dinda. Sudah lama mereka tidak berkunjung dan melihat Aya.

Anak itu sudah berlari ke sana kemari tanpa di di tuntun oleh orang tuanya. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di perkarangannya wanita itu, Haliyah turun lebih dulu di susul oleh Ridwan.

Ridwan menepikan mobilnya terlebih dahulu tadi, saat melihat toko kue, Aya sangat menyukainya. Mereka langsung membelinya beberapa  buah untuk dirinya juga.

"Ayo, Mas." Haliyah menarik tangan Ridwan untuk berjalan di sampingnya.

Ridwan mengetuk pintu rumah Dave dan juga Dinda. "Sebentar!" Suara itu terdengar di dalam.

"Astaghfirullah." Bertapa terkejutnya Dinda saat melihat mereka berkunjung tanpa memberitahunya dulu.

"Ayo, masuk." Dinda sedikit meringis kala menyadari ruang tamunya penuh dengan mainan Aya yang berserakan di mana-mana, sebenarnya ia sedang malas sekarang. Anaknya begitu aktif membuatnya harus siaga menjaganya kalau tidak Aya akan berlari keluar rumah dan bermain di jalan raya.

Mereka masuk ke dalam, Dinda merasa ada kurang. "S kembar engga ikut?" tanya Dinda, setelah menyadari tidak ada Haffa, Haffi di antara mereka. Biasanya mereka sangat kewalahan jika pergi ke mana-mana jika membawa s kembar.

"Engga, lagi sama Omanya."

"Aya mana, Mbak?" tanya Haliyah setelah melihat ke seluruh ruangan tidak menemukan anak itu. "Tidur dia," jawab Dinda sembari membereskan mainan yang berserakan kepada tempat yang di siapkan untuk menyimpan mainan.

"Maaf berantakan." Dinda meringis pelan, Haliyah menggelengkan kepalanya. Membantu membereskan mainan yang ada di depannya dan juga Ridwan juga membantunya.

"Jadi ngerepotin."

"Santai aja, Mbak."

Haliyah kembali duduk setelah selesai membantu, ia membisikkan sesuatu di telinga suaminya. "Mas nyesel engga? Engga nikah sama Mbak Dinda?"

Ridwan langsung mendongak kearah istrinya, perkataan ini begitu tidak penting untuk di tanyakan dan juga di bahas apalagi di rumah orang lain. "Engga, Dek. Mas engga nyesel sama sekali."

Haliyah mengangguk. "Lihat Mbak Dinda cantik banget abis ngelahirin badannya tetap sama. Lah Liyah makin lebar." Haliyah melihat tubuhnya yang semakin berisi di bagian tertentu.

"Tandanya kamu bahagia sama Mas, Dek."

"Iya kayaknya."

"Pertanyaan yang di awal itu engga perlu di tanyakan lagi, Dek. Itu hanya masa lalu, Mas sama Dinda  di jodohkan. Mas juga engga punya rasa, Mas punya rasanya sama kamu Dek."

"Iya, iya tau. Mas cuma bucinnya sama Liyah." Haliyah tersenyum.

"Itu tau."

Dinda membawa Aya yang masih mengumpulkan seluruh nyawanya, Aya begitu menggemaskan. Wajahnya begitu mirip dengan Dinda, sangat cantik. "Gemas banget." Haliyah membawa Aya yang ada di gendongan Ibunya.

Mengecup kening anak itu dan berkata. "Aya kamu lucu banget."

"Engga sabar lihat s kembar bisa jalan." Senyum Haliyah terbit di wajahnya, begitu menyenangkan jika momen itu terjadi. Melihat anaknya tumbuh dan berkembang begitu membahagiakan menjadi  orang tua.

Ada kalanya ia juga merasa lelah tapi suaminya begitu memegang peran begitu penting. Laki-laki selalu mengajaknya mengobrol, banyak sekali ibu yang mengalami baby blues setelah melahirkan tapi Haliyah alhamdulilah tidak. 

Mereka berdua memutuskan untuk pulang setelah beberapa jam berada di rumah Dinda. Aya menangis kala melihat Haliyah pergi menggunakan mobil, Dinda langsung membawa anaknya masuk.

"Kayak Aya mau ikut?" tanya haliyah, Ridwan mengangguk.

"Ayo pulang."

_

Suara yang pertama kali ia dengar setelah membukakan pintu adalah suara tangisan s kembar yang begitu nyaring di telinga. Haliyah langsung menghampiri sumber suara itu, ternyata Haffa sedang menangis di gendongan ibu mertuanya sedangkan Haffi di gendongan Kila.

"Sini sama Umma."

Haliyah langsung membawa Haffa, memberikan asi. Ia merasa bersalah pada mertuanya sekarang, mata Haliyah berkaca-kaca. "Udah, engga apa-apa."

Haliyah mengangguk, Ridwan membawa Haffi. Berusaha menenangkan buah hatinya, jatah susunya sekarang masih ada Haffa belum saatnya Haffi.

Haffa tertidur, Haliyah menidurkan putra di ranjang. Kini tinggal Haffi yang menyusu. "Kayaknya lapar dia."

Jihan mengangguk. "Di kasih pake dot engga mau."

"Maunya langsung."

Kila menggerakkan tangannya, kedua tangannya kebas mengendong Haffi dari tadi yang menangis. Keponakannya sangat rewel jika sudah lapar.

Kila keluar, mengambil air untuknya dan juga untuk ibunya.

Jihan duduk di sebelah Haliyah. "Kamu engga KB, Nak?" tanya Jihan.

Haliyah menggelengkan kepalanya. "KB alami, Bun."

Jihan mengangguk, tak semuanya KB alami berhasil ada yang tiba-tiba hamil karena kebobolan. Sepandai-pandainya berhubungan tapi kalau Allah memberikan mereka keturunan ya gimana lagi.

Haliyah menidurkan Haffi yang sudah tertidur. Ia merubah posisinya, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

Ucapan Mertuanya mengingatkannya pada periode datang bulan, ia sudah telat beberapa hari tapi masih ia rahasiakan dari suaminya. Ia takut ia hamil lagi, usia s kembar masih muda, mereka baru lima bulan lebih tiga hari.

Tiba-tiba merasa mual menyerangnya. Haliyah menutup mulutnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan-jangan." Haliyah menahan mual dan juga air matanya.

Huek

Haliyah sudah tidak kuat lagi menahan rasa mual yang ada di mulutnya, mulutnya begitu pahit dan tidak enak. Ridwan langsung menghampiri Haliyah dengan Jihan yang berada di belakang.

"Kenapa, Dek?" tanya Ridwan, Haliyah begitu pucat dan juga matanya merah seperti menangis.

Ridwan memeluk tubuh Haliyah yang menangis. "Kenapa, Dek. Bicara sama Mas? Kamu kecapean gara-gara Mas ajak keluar, hm?"

"Kayaknya KB alami gagal total deh, Mas." Haliyah langsung menangis setelah mengucapkan kata tersebut. Tubuh Ridwan membeku, apa katanya KB alami gagal berarti?

"Kamu hamil lagi, Nak?" tanya Jihan antusias.

Haliyah menggelengkan kepalanya, ia belum tau ia hamil atau tidak. "Belum cek tapi Liyah udah telat dan tadi mual."

Senyum bahagia terpancar dari wajah Ridwan, ia akan memiliki anak lagi. S kembar akan menjadi kakak.

Haliyah langsung memukul dada suaminya, ia melampiaskan semuanya. "Mas jahat banget, Haffa sama Haffi masih kecil."

"Udah jangan nangis kita cek dulu, benaran hamil atau engga." Haliyah mengangguk. Ia langsung memeluk Jihan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Bunda!" Haliyah menangis. "Udah jangan nangis, anak itu rezeki."

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang