Epilog

4.8K 122 0
                                    


Haliyah menggelengkan kepalanya saat menghadapi putra pertamanya yang berlari ke sana kemari. "Haffa jangan lari, Nak!"

"Umma au?" tanya Haffi yang sedang membulat-bulatkan tanah yang ada di depannya. Haliyah menggelengkan kepalanya, ia meringis melihat semua baju Haffi yang kotor karena bermain tanah. "Jangan di makan itu bukan makanan."

"No ... No?"

Haliyah mengangguk. "Ya, No ... No."

"Astaghfirullah!" Haliyah langsung berlari menghampiri Haffa yang terjatuh. Ia memijit keningnya, pasti darah tingginya naik sekarang.

"Berdiri jangan nangis, Nak. Malu anak laki-laki kok nangis, malu sama Adek Rahma kalau gitu." Bukannya menghentikan tangisnya haffa malah terus menangis.

Haliyah langsung mengangkat tubuh putranya dan menggendongnya.  Tangannya mengelus punggung anaknya yang bergetar, menjadi ibu tiga anak di usia muda sangat tidak mudah.

Apalagi saat ketiga putra-putri sedang aktif-aktifnya. Rahma sedang merangkak ke sana kemari, Haliyah selalu menyingkirkan benda-benda kecil terutama mainan s kembar. Putrinya selalu memakan semua yang ada di depannya.

Haffa sudah menghentikan air matanya, anak itu meminta turun kembali dan mulai berlari-lari lagi seperti tadi. Ibu muda itu menggelengkan kepalanya, Haffa memang tidak takut apapun tapi kalau sudah terjatuh ia pasti menangis. Namanya juga laki-laki, Haliyah tidak melarang mereka bermain dengan alam dengan Haliyah mendampinginya.

"Umma!Hua ...." Haliyah membalikkan tubuhnya, matanya membulat saat melihat wajah putrinya penuh dengan tanah. Dari mana Haffi mendapatkan air? 

"Kenapa, Nak."

"Pelih ata, umma!" Haliyah langsung mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh putrinya. "Mana yang sakit? Hm?"

"Ata." Haffi kembali menangis.

Haliyah meniup mata sebelah kanan milik putrinya. Saat ini ia hanya bisa meringis, bingung harus memasang wajah seperti apa antara ingin tertawa dan juga sedih.

"Udah."

"Dah?"

Haliyah mengangguk langsung mengangkat tubuh Haffi untuk membersihkan tubuhnya.

Haffi malah menangis lebih kencang, putrinya memberontak saat ia gendong. "Ain, ain, umma."

"Mas kapan pulang sih."

"Mbak!"

"Rahma makan lego, sama Kila engga mau di lepas!" Haliyah seperti ingin pingsan saat ini juga, kepalanya pusing saat mendengar Haffi ingin bermain tanah lagi.

Haliyah kini membiarkan putrinya kembali bermain, ia berlari ke dalam rumah. Kila menunjuk Rahma sedang memakan lego di mulutnya, lego itu berukuran kecil takut jika bayi 7 bulan itu memakannya.

"Sama Kila nangis, Mbak."

"Jangan di makan, ini aja yang di makan." Haliyah mulai  bernegosiasi dengan putri kecilnya. "Itu bukan makanan, Nak." Haliyah langsung merebut lego itu di tangan Rahma, bayi itu langsung menangis.

"Ini baru biskuit." Ajaibnya tangisan Rahma mereda.

Ridwan yang baru datang bekerja langsung di suguhkan pemandangan yang membuatnya mengelus dada. Bagaimana tidak, ia terkejut melihat Haffi begitu cemot oleh tanah dan bajunya kotor. Sedangkan Haffa sedang berusaha menaiki pagar, Ridwan langsung membawa Haffa mendekat kearah kembarannya.

"Yang! Anak-anak!"

Haliyah langsung berlari keluar, ia kembali memijit pening yang pening. "Haffi, yang!" Ridwan menunjuk putrinya yang asik memainkan tanah yang basah oleh air.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang