"Sampai detik ini, aku patut bersyukur dengan nikmat yang Allah berikan selama ini."Haliyah tampak terdiam saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut dokter yang ada di depannya. Dokter itu mengatakan jika ia sedang mengandung, namun ia sempat tidak percaya.
"Kita USG dulu, ya, Mbak." Fika langsung mengangguk, sedangkan Haliyah masih terdiam. Matanya melihat ke langit-langit, masih tidak percaya.
Fika yang girang langsung mengeluarkan ponsel miliknya, memotret gambar janin yang ada di layar monitor. Ia menepuk tangan Haliyah, sembari menunjukkan hasil fotonya. "Ihh, gemoy banget."
Haliyah tersenyum, ia mendongak ke kanan. Matanya berkaca-kaca, keinginannya terkabul sekarang tapi belum saatnya ia memberitahu tentang kehamilannya pada Ridwan.
Ada beberapa alasan untuk merahasikannya terlebih dahulu.Air matanya tiba-tiba keluar saat mendengar suara detak jantung bayi kecilnya, Haliyah sangat bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan untuk menjaga bayi kecilnya walaupun sempat mengalami pendarahan tadi.
Setelah selesai, Haliyah masih terdiam. Matanya melihat hasil print bayi kecilnya, begitu kecil seperti kacang. Kelak ia akan mendidik bayi kecilnya sepenuh hati, apalagi Ridwan sangat menyukai anak kecil pasti ia akan jadi bayi kesayangan suaminya.
"Sekarang percaya, kan?" tanya Fika, Haliyah mengangguk lalu menggelengkan kepalanya. Ia masih merasa ini mimpi, apalagi mendengar beberapa alasan. Kenapa hasil tespek yang ia lakukan tidak akurat sepertinya tespek itu sudah kadaluarsa.
Haliyah bahkan tidak melihat kapan tanggal kadaluarsa pada tespek tersebut. Ia hanya mengambilnya lalu menggunakannya, tangan kanannya mengusap pelan perutnya, Haliyah tidak mengalami gejala kehamilan seperti mual. Ia hanya telat datang bulan beberapa hari, Haliyah tidak mau berangan-angan terlalu tinggi karena ia sempat di posisi seperti ini beberapa bulan yang lalu tapi hasilnya negatif.
Dua jam berlalu, Haliyah di perbolehkan untuk pulang di bekali beberapa nasihat tentang kehamilan. Sepanjang perjalanan Haliyah terus terdiam seperti tadi, Fika yang ada di sampingnya menghela napas sembari melirik sekilas sahabatnya. Fika bisa mengerti, perasaan Haliyah sekarang yang tidak menentu. Haliyah sangat bahagia tapi ia juga takut bayinya kenapa-kenapa karena pendarahan tadi.
"Liyah?"
"Hm." Haliyah menoleh, menatap Fika yang sedang menyetir di sampingnya.
Fika bertanya. "Lo pulang ke mana?"
Haliyah terdiam kembali, Fika yang sedang menyetir pun menghentikan mobilnya. Dia mendongak kearah Haliyah, menatap lekat sahabatnya.
"Ke rumah suami lo ... apa ke rumah Bunda?" tanya Fika kembali.
Haliyah malah menggelengkan kepalanya. Fika mendengus kesal, kalau saja Haliyah tidak sedang hamil mungkin ia akan menurunkannya di tengah jalan. "Oke, ke rumah suami lo aja."
Haliyah menggelengkan kepalanya. "Engga, ke rumah Bunda aja."
"Sekarang waktunya lo balik!" Fika menekan kata-katanya dan nada suaranya ia tinggikan. Haliyah sontak terkejut, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca.
"Eh, kok nangis sih." Fika menghela napas frustasi, mood Haliyah kali ini benar-benar membuatnya pusing apalagi gadis itu tiba-tiba menangis.
"Ya udah, pulang ke rumah tapi mampir dulu ke apotek." Haliyah berbicara dengan air mata keluar, Fika cepat-cepat mengangguk mencari apotek yang buka.
Fika menghentikan mobilnya di depan apotek, Haliyah bergegas keluar sendirian. Fika hanya bisa menghela napas melihat saat sahabatnya berlari ke dalam, Haliyah memang sangat ceroboh untung saja Allah mengirimkan sosok Ridwan di hidupnya.
"Udah?" tanya Fika. Haliyah pun mengangguk, ia mengangkat plastik yang berada di tangannya. "Lo beli apa?"
"Tespek."
Fika terdiam, ia menggaruk kepalanya tidak gatal untuk apa sahabatnya membeli itu. Ia sudah di nyatakan hamil oleh dokter. "Buat apa?"
"Buat cek lagi." Fika langsung mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum meninggalkan tempat ini.
_
"Sana!" Fika menyuruhnya masuk ke dalam, Haliyah yang ragu-ragu menggelengkan kepalanya. Saat tidak senjaga matanya melihat mobil milik Ridwan sudah terparkir rapih di parkiran.
"Masuk sana, ini udah sore engga baik buat lo." Haliyah dengan pasrah mengangguk, berjalan menuju pintu masuk sedangkan Fika berdiri di gerbang sembari melihat sahabatnya. Ia tak akan pulang sebelum Haliyah masuk ke dalam.
"Sana."
Haliyah mengangguk, membukakan pintu. "Assalamualaikum." Fika yang di luar menghela napas, masuk ke dalam mobil lalu pergi.
Langkah kaki milik Haliyah berhenti ketika melihat suaminya duduk di sofa dengan tangan yang di gif, berlari secepat mungkin tapi ia langsung tersadar tengah mengandung membuatnya berjalan dengan hati-hati.
"Mas." Ridwan yang sedang memejamkan matanya, akhirnya membuka mata langsung melihat istrinya yang sudah berkaca-kaca ketika melihatnya terluka.
Tangan kiri laki-laki itu mengusap air mata yang berada di pipi istrinya. "Mas engga apa-apa, Dek."
Haliyah memeluk Ridwan, air matanya pecah begitu saja. "Jangan buat Liyah khawatir, Mas."
Ridwan menggelengkan kepalanya. "Engga akan, Dek."
"Tapi ini?" Haliyah menunjukkan tangan Ridwan yang terluka. Ridwan malah tersenyum kecil, tangan kirinya kembali mengusap air mata di pipi Haliyah. "Itu udah takdir, Dek. Alhamdulillahnya Mas sama Firman baik-baik aja."
"Mas sama Firman? Dia engga apa-apa, kan?" tanya Haliyah.
"Alhamdulilah, Dek, cuma luka-luka kecil."
Haliyah menghela napas lega, hatinya sangat hancur saat melihat wajah suaminya begitu pucat dan pipinya tergores. Haliyah mengusap ragu-ragu luka yang berada di pipi Ridwan, sembari menangis.
"Pasti sakit."
"Engga, Dek, Mas kuat kok." Ridwan tersenyum kecil. "Hiks, kuat kok tangannya di gif."
Ridwan hanya tersenyum, tangan kirinya memeluk tubuh Haliyah dengan erat. Mencoba menenangkan istrinya yang sedang menangis tersedu-sedu di sampingnya.
Haliyah memandangi suaminya. "Mas harus sehat, ada yang nunggu kita di sini," ucap Haliyah di dalam hati.
Haliyah melepaskan pelukannya, bangkit dan berjalan mencari kotak obat sembari membawa baju ganti untuk suaminya. "Mas ganti dulu bajunya." Haliyah menyimpan baju milik Ridwan dan juga kotak obat di atas meja.
Ridwan mengangguk, menegakkan tubuhnya di bantu oleh istrinya. Ia membuka baju suaminya dengan perlahan, apalagi bagian tangan yang sedang terluka. "Sakit, Dek," ucap Ridwan saat Haliyah tidak sengaja menyentuh luka di tangannya.
"Maaf, Mas. Sini biar Liyah tiup tangan, Mas." Haliyah meniup luka yang berada di tangan Ridwan walaupun tidak ada rasanya.
"Bawahnya juga, Dek?" tanya Ridwan sedikit bercanda.
Haliyah mendengus kesal, sakit juga suaminya bisa menjailinya begini. "Iya, Mas. Bawahnya sendiri aja, ya."
Ridwan menggelengkan kepalanya, ia menunjuk tangan yang terluka. "Tangan Mas, Dek."
Haliyah menghela napas, membuka celana yang di pakai suaminya di gantikan oleh celana pendek dan juga bajunya.
Haliyah mendekatkan tubuhnya pada tubuh suaminya, meniup luka yang berada di pipi Ridwan. Mengoleskan sedikit dengan obat merah, laki-laki itu meringis sekilas lalu kembali lagi menatap istrinya yang begitu dekat.
Haliyah menyuruh suaminya membelakanginya. Memijat punggung kekar suaminya, Ridwan langsung menjauh dan membalikkan badannya. "jangan, Dek, Mas takut kamu kecapean pijitin Mas."
Haliyah menggeleng kepalanya, menyuruh Ridwan untuk berbalik badan dan mulai memijat tubuh suaminya dengan hati-hati. "Liyah seneng, Mas, bisa berguna di sini."
"Kamu ngomong apa, Dek."
"Kamu bukan untuk di pergunakan di sini, kamu istri Mas. Ibu dari anak-anak Mas kelak dan surga buat Mas. Jangan berpikir seperti itu, Dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Rid! Nikah, yuk? (End)
Spiritual|Follow akun sebelum membaca| Insyaallah, konflik ringan! Apa jadinya jika, seseorang gadis mungil mengajak laki-laki yang umurnya jauh di atasnya menikah? Tentang laki-laki bernama Ridwan Alamsyah, yang tiba-tiba dibuat terkejut oleh seorang gadis...