Laki-laki tepat

3K 130 2
                                    


Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallau 'alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Ash Shahihah (no. 285).

.
.

Haliyah membuka matanya, yang ia lihat adalah suaminya Ridwan. Bibirnya melengkung ke atas membentuk bulan sabit. Haliyah menopang kepalanya dengan tangan,  matanya melihat suaminya yang sedang tertidur pulas.

Ridwan begitu sangat baik, menyayanginya sepenuh hati dan tidak menuntutnya untuk bisa segalanya ataupun setara dengannya. Laki-laki itu sangat sabar, sifat kekanak-kanakan Haliyah masih melekat sampai saat ini. Manjanya seorang Haliyah hanya ia tunjukkan pada suaminya tercinta.

Suaminya? Haliyah bahkan tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu akan jadi suaminya. Jodoh siapa yang tau, entah siapa yang datang pertama dan terakhir yang akan jadi pemenang.

Hingga sampai punya anak pun Haliyah masih mengira ini mimpi.

"Kenapa, Dek?" Suara serak khas bangun tidur, begitu mendayu di telinga Haliyah.

"Kembar nangis?" tanya Ridwan.

Haliyah menggelengkan kepalanya, ia masih senantiasa melihat suaminya yang memejamkan matanya tapi mulutnya berbicara. "Kenapa? Ada yang sakit?"

"Engga."

"Yaudah, ayo tidur."

Ridwan menarik tubuh Haliyah dan memeluknya. Saat malam adalah waktu yang tepat untuk mereka berduaan, s kembar berada di tempatnya.

"Mas."

"Hm."

Haliyah membisikkan sesuatu di telinga Ridwan. "Mas."

"Hm."

Haliyah memberi kecupan di pipi Ridwan. Mata laki-laki itu terbuka, Ridwan mengeratkan pelukannya. "Kamu, ya, Dek."

Haliyah tertawa. Ridwan mengecup kepala Haliyah beberapa kali. "Besok keramas, ya, Dek."

"Bau, ya, Mas?" Sontak Haliyah menjauh dari Ridwan.

"Iya." Haliyah mendengus kesal, ia membalikkan tubuhnya membelakangi Ridwan.

Laki-laki itu mendekat, memeluk istrinya dari belakang. "Mas bercanda."

"Kamu engga mandi satu minggu juga di mata Mas tetap cantik kok. Beneran."

Haliyah mendengus kesal. "Bisa aja Mas bohongnya. Nanti kalau lihat yang lebih cantik pasti Liyah di tinggal. Rumput tetangga lebih hijau daripada yang di rumah," ucap Haliyah. Ridwan hanya tertawa menanggapinya, kekanak-kanakan Haliyah muncul walaupun wanita itu sudah menjadi ibu.

"Dek, kan, udah bilang. Adek aja cukup buat Mas, Kamu tau engga apa yang Mas rasain pas liat kamu lahiran?"

"Iya, Mas." Haliyah membalikkan tubuhnya, menghadap suaminya.

"Rasanya luar biasa Dek, antara bahagia, sedih, haru bercampur jadi satu. Jadi Mas tau bahwa melahirkan itu semenakutkan itu buat Mas. Mas langsung ke ingat Bunda, tangan Mas pegang kamu tapi pikiran Mas kemana-mana. Jujur Mas takut, kamu ninggalin Mas sendirian di sini. Nanti Mas sama siapa, bayangin aja Mas engga sanggup kalau Mas ada di posisi itu kemarin."

"Udah Liyah sehat kok, Liyah selamat. Apa yang Mas takutkan."

"Mas hanya takut Dek, Mas takut waktu dokter bilang kalau anak kita engga nangis. Mas rasa hancur Dek, Mas nangis tapi engga di depan kamu. Mas harus ada di hadapan kamu seolah kuat, menyemangati kamu dan bilang anak kita pasti kuat."

Cup

Cup

Haliyah mengecup kedua mata Ridwan yang berkaca-kaca. Rasanya sakit mendengar itu, hatinya juga hancur saat kemarin putrinya ada masalah pada kesehatannya.

"Liyah yakin Haffa Haffi bangga punya orang tua seperti kita, Mas."

Ridwan mengangguk. "Kita belajar bersama, ya, Dek. Kita berusaha jadi orang tua yang terbaik buat anak-anak kita."

"Iya, Mas. Liyah engga sabar lihat mereka besar."

Ridwan menggelengkan kepalanya, pertanda tidak setuju. "Kenapa?"

"Mas pengen liat mereka pelan-pelan Dek, engga pengen mereka cepat besar."

"Mas takut mereka ninggalin kita pas dia udah dewasa."

"Iya, nanti mereka berdua nikah. Mas sama kamu di tinggal berdua."

Haliyah tertawa mendengar penjelasan yang di ucapkan oleh suaminya. "Udah masih lama kok Mas mereka besarnya."

Haliyah langsung turun dari ranjang saat mendengar suara tangisan. Ia langsung membawa Haffi yang menangis, ini hari pertama Haffi ada di rumah setelah beberapa hari berada di rumah sakit.

"Aduh, putri kecilnya Baba. Nangis pengen mimi." Ridwan melihat Haffi yang sedang di susui oleh Haliyah.

"Ini hari pertama Haffi di rumah, ya, Mas," ucap Haliyah sembari melihat Haffi.

"Iya, Dek."

"Sekarang Haffa engga rewel lagi, kemarin-kemarin dia nangis, ya, sayang."

"Sekarang di tau ada Haffi di rumah." Tangisan Haffi mereda, Haliyah kembali menyimpan putrinya di tempat semua. Menepuk kakinya saat Haffi menggeliat seperti terbangun.

"Udah?"

Haliyah mengangguk. Ia kembali duduk di sebelah suaminya lagi. Haliyah teringat dengan percakapannya dengan Dinda tadi soal KB dan juga menambah kembali buah hati mereka.

"Mas."

"Hm."

"Liyah bingung mau KB apa." Haliyah menghela napas panjang.

"Ya itu gimana Adek aja mau yang mana," ucap Ridwan.

"Liyah bingung Mas. Apa harus bicara dulu ya sama Bunda, siapa tau Bunda punya rekomendasi."

"Iya, Dek coba aja."

"Dek."

Haliyah menoleh. "Kamu kb alami aja."

"Nanti kebobolan Mas."

"Ya nanti Mas mintanya pas kamu lagi engga subur." Haliyah mendengus kesal. "Mana Mas kuat, liat Liyah handukkan aja udah di terkam."

Ridwan tersenyum. "Mas engga mau kamu hamil lagi tapi kalau kebobolan ya itu rezeki."

"Udah dua aja cukup, Mas."

"Tapi kalau kamu hamil lagi, lahirannya sc aja. Mas takut kalau normal." Haliyah menggelengkan kepalanya, tertanda tidak ingin. Apa katanya sc? Ia sangat takut mendengar kata tersebut.

"Liyah engga mau sesar nanti perut Liyah di robek-robek. Ihh, pokoknya engga mau sesar takut."

"Terus kamu pengen normal?" tanya Ridwan.

"Hm."

"Tapi Mas takut."

"Ya kalau takut jangan sampai kebobolan Mas harus tahan."

"Mana bisa."

"Nah itu, Mas harus tahan hawa nafsu. Tapi jangan sampe Mas jajan di luar, Liyah engga sudi engga ikhlas. Kalau itu terjadi Haliyah mending pulang aja ke rumah Bunda," ucap Haliyah. Ridwan langsung memeluk tubuh Haliyah. "Jajanan di rumah lebih enak dan sehat daripada di luar rumah."

"Dan pasti di rumah halal." Ridwan mengecup bibir Haliyah saat selesai mengucapkan kata tersebut.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang