Haliyah mengurung diri di kamar,
sembari memeluk guling dengan erat. Matanya sedikit berkaca-kaca, ia memutuskan untuk mengambil ponsel di atas nakas. Tidak sengaja menyenggol kalender mini yang ia letakkan di sana.Haliyah mengambilnya, terdiam sembari menatap lekat kalender yang berada di tangannya. Ia langsung berpikir, kapan ia terakhir menstruasi. Ia mengecek kalender yang ada di ponselnya, harusnya jadwal datang bulannya muncul awal bulan tapi sampai pertengahan belum muncul.
Haliyah memutuskan untuk mengeceknya, mengambil testpek yang ia simpan di bawah lipatan baju miliknya. Ia sangat berharap ada kehidupan di dalam tubuhnya.
"Bismillah, semoga positif."
Haliyah menggigit telunjuknya saat menunggu hasil dari testpek yang sedang ia pegang. Sepuluh menit berlalu hasilnya garis satu, negatif. Haliyah memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi. Setengah jam kemudian hasilnya masih sama, ia membalikkan tespek satu lagi yang ia simpan dan hasilnya sama negatif.
Haliyah mengambil napas dalam-dalam, ia tersenyum kecil. "Belum waktunya," ucapnya pada replika dirinya sendiri di cermin.
Tangannya memijat kening yang sedikit berdenyut, mengambil beberapa plastik bekas untuk membungkus tespek yang ia pakai. Haliyah tak mau suaminya kecewa dengan hasilnya, biar dia saja yang kecewa.
Membuangnya ke tempat sampah di depan, Haliyah menatap ke depan. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Assalamualaikum. Lagi apa, Dek?" tanya Ridwan yang baru saja sampai di rumah.
"Waalaikumsalam."
Haliyah menoleh, ia tersenyum menutupi kesedihannya. "Buang sampah, Mas."
Ridwan mengangguk, mengecup kening Haliyah.
_
Malam harinya, Haliyah kembali melamun di depan kompor. Ia memutuskan untuk sendiri terlebih dahulu, sedikit menjaga jarak dan sedikit memperbaiki diri. Bukan ia durhaka, tapi mencoba sedikit egois tidak apa-apa. Mentalnya belum siap dengan semua ini, Ridwan pasti mengerti jika tidak. Ia akan pergi tapi harus dengan ijin suaminya.
"Dek!"
Haliyah terkejut saat pundaknya di sentuh oleh seseorang dari belakang. "Astaghfirullah."
Haliyah mengelus dadanya sembari mengatur napasnya. Ridwan menggelengkan kepalanya, tangan laki-laki itu mendarat di kening istrinya. Menjitaknya dengan pelan sembari tersenyum. "Jangan ngelamun, Dek. Tuh air yang kamu anggurin udah mendidih."
Haliyah membalikkan badannya, ia tersenyum kecil sembari menatap wajah suaminya.
"Mas mau mie?" tanya Haliyah.
Ridwan terdiam lalu mengangguk. "Boleh, Dek."
"Oke."
Ridwan berjalan lebih deket, memeluk tubuh istrinya dari belakang. Ridwan menutup matanya saat aroma tubuh Haliyah begitu membuatnya tenang, Haliyah menghela napas menggoyang tubuhnya supaya Ridwan melepaskan pelukannya.
"Mas!"
"Hm."
Haliyah mendengus, tangannya mengambil mie yang berada di meja dan memasukkan ke dalam wajan. "Mas jangan gini dong, Liyah lagi masak loh."
"Lima menit, Dek."
Haliyah kelewat gemas, ia mencubit tangan suaminya. "Ishh, Mas berat tau engga."
Ridwan melepaskan pelukannya, dari gerak-geriknya Haliyah sudah tahu jika suaminya marah sekarang. Laki-laki itu langsung duduk tanpa mengatakan apapun kepadanya, Haliyah hanya menghela napas pelan sembari mencuri pandang pada suaminya.
Mie yang tadi sedang ia rebus sudah matang dan kini berada di dalam mangkuk. Haliyah membawa satu persatu, memberikan pada Ridwan.
"Nih, Mas. Awas panas." Haliyah menyodorkannya, Ridwan masih setia diam tidak bersuara. Haliyah menghela napas, mulai menyantap mie yang ada di depannya.
"Mas."
Ridwan terdiam, menoleh kearah istrinya. Haliyah menyerka keringat yang ada di pelipisnya, tangan kirinya memainkan daster yang sedang ia pakai.
"Mas Liyah mau ke rumah Bunda." Ucapan itu terlontar dari mulut Haliyah.
"Hm."
Haliyah kembali menghela napas, menatap suaminya yang sedang fokus dengan mie yang berada di depannya. "Liyah mau sendiri ke sana."
"Kenapa?" tanya Ridwan.
Haliyah mengigit bibir bawahnya. "Mas pasti cape bulak-balik, arah cafe sama rumah Bunda beda. Liyah engga mau Mas kerepotan."
"Berapa hari kamu di sana?"
"Kalau di ijinin engga lama kok, cuma seminggu."
"Oke."
Haliyah menoleh. "Boleh, Mas?"
"Hm."
_
Haliyah merapihkan baju yang akan ia bawa hanya beberapa. Ia masih memiliki stok baju yang sangat banyak di sana. Ridwan berjalan ke arahnya, memeluk tubuhnya dari belakang.
Laki-laki itu tidak mendiamkannya lagi, apalagi ia akan pergi beberapa hari. "Dek, beneran mau ke rumah Bunda?" tanya Ridwan lagi.
Haliyah mengangguk. "Iya, Mas."
"Adek engga lagi menghindarkan dari Mas?" Haliyah menoleh lalu tersenyum kecil. Di dalam hati ia mengiyakan ucapan suami. "Engga kok, Mas."
Ridwan terdiam, laki-laki itu sibuk dengan kegiatan memeluk istrinya dengan erat. Haliyah menghela napas, memasukkan semua yang sudah ia siapkan tadi ke dalam koper.
Haliyah tersenyum, ia membalikkan posisi tubuhnya. Membalas pelukan, Ridwan mengecup keningnya beberapa kali. "Maaf, Dek, Mas belum bisa jadi suami yang baik buat kamu."
Haliyah menggelengkan kepalanya. "Mas terbaik kok."
Keesokan harinya, Haliyah tengah sibuk mengancingkan kemeja suaminya. Laki-laki itu menatapnya dengan lekat, tangan Ridwan menarik pinggangnya supaya terus mendekat kearahnya.
"Mas."
Ridwan tertawa kecil, mengeratkan kembali pelukannya. "Mas, ishh. Lepasin."
Ridwan menggelengkan kepalanya. "Engga dulu, Dek."
Haliyah menghela napas. "Mas engga usah anterin Liyah ke rumah Bunda."
Ridwan mengerutkan keningnya. "Kenapa, Dek?" tanyanya.
"Liyah takut Mas cape bulak-balik, apalagi sekarang cafe lagi rame."
Laki-laki terdiam sejenak, ia melihat kearah istrinya. "Emang engga apa-apa kamu sendiri ke sana. Nanti Bunda kamu nanya Mas ke mana kok engga nganterin kamu."
"Ya, Liyah jawab. Masnya lagi sibuk, engga bohongkan Liyah."
Ridwan mencubit hidung istrinya. "Bisa aja kamu."
"Yasudah, Dek, hati-hati. Mas pergi dulu, nanti kalau udah sampai kabarin."
Haliyah mengangguk, selagi tangannya mengecup tangan suaminya. Ia menatap punggung suaminya yang menghilang dari pandangannya.
Ia menghela napas, berjalan ke arah lemari. Mengambil tespek yang ia punya ke dalam tasnya, ia akan mengeceknya lagi di sana.
Ia mengambil makalah yang sudah ia susun kemarin, menarik koper miliknya dan bergegas pergi.
Di tempat lain, laki-laki tampak terdiam. Merasa seperti Haliyah berubah, sedikit menjauh darinya.
Ridwan menggelengkan kepalanya, ia tak boleh berburuk sangka pada sang istri. "Astaghfirullah." Ridwan mengusap wajahnya, mulai kembali menyetir mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Rid! Nikah, yuk? (End)
Spiritual|Follow akun sebelum membaca| Insyaallah, konflik ringan! Apa jadinya jika, seseorang gadis mungil mengajak laki-laki yang umurnya jauh di atasnya menikah? Tentang laki-laki bernama Ridwan Alamsyah, yang tiba-tiba dibuat terkejut oleh seorang gadis...