.

4.3K 197 0
                                    




Hadis tentang Pernikahan dan Ibadah.

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ أُعْطِيَ نِصْفَ الْعِبَادَةِ}.

Dari Anas Bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah.” (HR Abu Ya'la)
.
.

"Menikah bukan saja soal waktu cepat atau lambat melainkan tentang kesiapan yang matang untuk berumah tangga," ucap Dave yang berada di samping istrinya. Dinda mengangguk membenarkan.

Haliyah baru saja kembali dari dapur, hanya mendengar mereka berbicara walaupun ia tak tau mereka membicarakan apa.

Fika mengangguk, mengiyakan. Gadis itu mengatakan jika ia akan menikah kalau dirinya sudah siap segalanya. Haliyah pun mengangguk, ia sedikit menyesal kenapa bukan dari dulu ia belajar memasak bukan  malah sekarang setelah menikah.

"Yang menikah itu kita bukan orang lain." Haliyah akhirnya bersuara, menikahlah jika sudah punya pasangan dan sudah mampu.

"Bukannya kalau menikah, wanita itu di liat dari 4 perkaranya?" tanya Fika.

Dave mengangguk. "Dari hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya."

Rasulullah Saw. bersabda : "Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”

"Kalau liat laki-laki di liat dari apanya?" tanya Kila.

Dave terdiam, Dinda yang di sisinya menjawab. "Kalau menurutku sih, di liat dari agamanya, liat dari seberapa dia sayang sama ibunya dan liat dari tanggungjawab."

Fika dan Kila mengangguk-anggukkan kepalanya. Umur mereka sudah siap menikah tapi mereka belum mempunyai calon.

Fika merubah posisinya ke sebelah kanan, ia mendekat ke arah Haliyah lalu membisikkan sesuatu di telinganya. "Udah lo minum?"

Haliyah membalas dengan berbisik. "Hm, Mas Ridwan juga tadi ikut minum."

"Masa." Fika menutup mulutnya sambil menahan tawa sembari melihat kearah Ridwan yang sedang berjalan ke arah Haliyah.

Haliyah mengangguk, meletakkan telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan Fika untuk tidak mengeluarkan suara dan tidak membuat orang lain curiga.

"Hm."

Fika berbisik lagi. "Kapan lo kasih tau dia?" Haliyah terdiam, ia melihat ke bawah. Tangannya diam-diam mengelus perutnya pelan-pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Mungkin nanti."

Fika menggelengkan kepalanya. "Liyah, suami lo harus tau supaya lo bisa di jagain sama dia. Kalau lo kenapa-napa gimana? Kayak dulu, lo mau kehilangan dia? Kata dokter kandungan lo itu masih lemah. Plis deh, kata tau suami lo."

Haliyah kembali terdiam, ia teringat apa kata dokter beberapa hari yang lalu. Kandungannya lemah karena terjatuh kemarin, Haliyah takut akan kehilangan bayinya. Haliyah menggelengkan kepalanya, menepis rasa khawatir di dadanya. Bayinya pasti sehat dan berkembang, ia harus percaya itu. Haliyah pula Allah yang maha segala-galanya.

"Insyallah."

Fika mengangguk. "Jangan lama-lama."

Haliyah kembali melamun, Ridwan yang baru saja duduk di sebelah istrinya langsung menepuk pundak istrinya. Haliyah tersentak, ia mendongak kearah Ridwan.

"Kenapa, Dek?" Ridwan menghapus air mata yang sedikit turun dari mata istrinya.

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Belum rezeki kita, Dek."

Haliyah kembali terdiam, ia harus mengatakannya pada Ridwan besok atau nanti malam. Haliyah tak mau lagi menarik ulur waktu karena kebahagiaannya adalah kebahagiaan suaminya. "Iya, Mas."

_

Malam harinya, Haliyah kembali terdiam di pinggir ranjang. Ia memikirkan bagaimana cara memberitahu suaminya, ia memegang tespek kuat-kuat.

Ridwan yang berada di ambang pintu menatap istrinya dengan khawatir. Ia takut istrinya banyak pikiran, Ridwan duduk di samping Haliyah lalu bertanya. "Kenapa, Dek?"

Haliyah menggeleng kepalanya, ia melihat kearah Ridwan. Laki-laki itu tersenyum dan bergumam pelan di sisinya. "Belum rezekinya, Dek. Kita tunggu waktu yang tepat, ya."

Haliyah malah terdiam, sebenarnya     ia merasa sedih dan juga bahagia.   "Iya, Mas."

"Mas kalau misalnya Haliyah engga punya anak gimana?" tanya Haliyah dengan ragu, ia ingin menguji suaminya.

Ridwan malah terdiam, lalu menatap istrinya dengan sendu. "Mas akan tetap di samping kamu, Dek. Apapun kekurangan kamu, Mas akan terima karena Mas mencintai kamu karena Allah."

Mata Haliyah berkaca-kaca, ia sangat terharu dengan ucapan yang di lontarkan oleh Ridwan. "Tapi kalau keluarga Mas menginginkan cucu dari Mas bagaimana?"

Ridwan menjawab. "Mas bakal adopsi anak, Dek."

"Itu bukan darah daging, Mas?"

Ridwan tersenyum. "Engga apa-apa, mungkin dia akan jadi pelipur lara kita di sini, Dek."

"Kalau itu terjadi, Liyah ijinkan Mas menikah lagi." Ridwan menggelengkan kepalanya. "Mas engga mau, Dek. Cukup kamu jadi istri Mas di dunia maupun di akhirat nanti. Kamu saja sudah cukup buat ngobatin keluh kesah Mas nanti."

"Beneran?" tanya Haliyah, Ridwan mengangguk lalu memeluk tubuh Haliyah dengan erat. "Apapun yang terjadi Mas akan selalu ada di samping kamu, Dek."

"Iya, Mas." Ridwan melepaskan pelukannya. "Mas pengen anak laki-laki atau perempuan?" tanya Haliyah.

Ridwan tersenyum kecil. "Mas pengen perempuan, Dek."

"Tapi Liyah pengen laki-laki." Ridwan mengangguk. "Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat."

Haliyah mengangguk. "Tau engga, Dek?"

"Apa Mas?" tanya Haliyah.

"Mas pernah mimpi kita punya anak laki-laki, Dek. Wajahnya kayak kamu, dia berlari kencang sambil bilang 'engga mau' saat kamu nyuapin dia. Mimpi itu terjadi pas Mas mau menikah dengan Dinda, sebelum itu Mas sholat istikharah lalu mimpi itu datang."

"Di situ rasanya Mas bingung, Dek. Tapi Allah menentukan jalannya kalau kamu jodoh Mas."

Haliyah terharu, dia memeluk tubuh suaminya. Mengelus punggungnya yang sedikit bergetar, Haliyah baru tau kalau suaminya pernah bermimpi seperti itu.

"Mas engga nyangka kalau istri Mas itu kamu." Haliyah terdiam. "Gimana, Mas?"

"Dulu kamu engga punya malu ungkapin  cinta sama Mas." Haliyah mendengus kasar, ia sangat malu jika mengingat masa-masa ia mengejar Ridwan dulu.

"Tapi, kan, sekarang Liyah jadi istri Mas. Engga sia-sia waktu dulu Liyah kasih tau kalau Liyah suka sama Mas, tapi dulu Mas nolak katanya Liyah masih kecil."

"Dan yang Mas engga suka itu kamu terlalu bar-bar untuk di jadikan istri."  Haliyah menepuk tangan suaminya. "Mas!"

"Beneran, Dek, Mas engga bohong. Idaman Mas itu yang kalem eh tapi malah kamu Dek yang jadi istri Mas.

"Liyah juga kalem."

Ridwan menganggukkan kepalanya, ia mengecup kepala istrinya. "Iya, Dek. Kamu kalem, tapi Mas bahagia dapatin kamu."

Haliyah mengangguk paham, ia pun sangat bahagia bisa bersama dengan seseorang yang ia cintai walaupun dulu ia pernah di tolak.  

Seperti kisah cinta nabi Yusuf dan Zulaikha bukan?

Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, Allah jauhkan Yusuf darinya. Ketika Zulaikha mengejar cintanya Allah, maka Allah datangkan Yusuf padanya.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang