.

4.7K 213 4
                                    


"Menikahlah karena siap lahir batin bukan karena ajang siapa cepat."

.
.

Tidak terasa 182,5 hari dirinya resmi menjadi suami Haliyah Maharani. Ridwan menyadari hal yang ia syukuri adalah menikah dengannya, kehidupan sebelum menikah memang tidak begitu menyenangkan  seperti sekarang bersama istrinya sebagai pelengkap hidupnya.

Ridwan merasa hubungan dengan ikatan halal lebih menyenangkan dari pada tanpa ikatan. Saling memahami satu sama lain setelah menikah merupakan tantangan yang nyata untuknya saat ini.  Apalagi umur istrinya masih seumuran dengan Kila—Adiknya, membuat ia ingin benar-benar mengenal istrinya luar dalam.

Saat laki-laki itu tampak tersenyum menatap istrinya yang setiap hari makin mengemaskan.

"Mas pergi dulu, Dek." Ia mengecup kening Haliyah sebelum benar-benar pergi, berangkat menuju cafe dan mengecek cabang baru yang ia buka tidak jauh dari posisi cafe. Ridwan tidak membuka cafe, melainkan rumah makan yang menyediakan semua makanan khas daerah di Indonesia.

Di perjalanan menuju cafe, ponsel milik Ridwan terus berdering di saku celananya. Ia meminggirkan terlebih dahulu mobilnya sebelum mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, ada masalah di sana?"

"Iya, bos, ada sedikit masalah sengketa tanah yang kita beli."

Ridwan menghela napas, melihat kearah jam yang ada di tangannya. "Yasudah, saya ke sana. Tolong kasih tau Ali untuk mantau cafe sebelum saya pergi ke sana."

"Baik, bos."

"Tukang masih bekerja, Fir?" tanya Ridwan, takutnya masalah sengketa tanah menjadi kendala pembangunan restoran tersebut.

"Masih, bos."

"Alhamdulilah, 30 menit lagi saya ke sana." Ridwan mematikan panggilan tersebut, memutar balik  mobilnya. Niatnya untuk ke cafe ia urungkan sekarang, tangannya kembali mengambil ponsel yang ia letakan di atas kursi sampingnya dan menghubungi istrinya.

"Assalamualaikum, Dek, Mas minta tolong bawain berkas di laci kamar nanti badha dhuhur Mas tunggu. Tempatnya nanti Mas kirim ."

"Iya, Mas, hati-hati."

"Yasudah, Dek, Mas tutup dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

__


"Fir, tolong hubungi pemilik tanahnya nanti saya tunggu badha dhuhur di sini." Firman mengangguk, mengikuti langkah kaki Ridwan di sampingnya. Laki-laki itu memutuskan untuk berkeliling melihat bangunan yang baru 10% di bangun, masih berbentuk kerangka dan masa pembangunan.

Ridwan menunjuk kearah depan, sebuah lapangan kecil cukup asri karena sekeliling terdapat pohon-pohon yang tumbuh mengelilinginya. "Saya mau lahan ini buat taman, Fir, nyambung sampai masjid." 

"Baik, Bos."

"Kamu cek ke sana, saya mau lihat-lihat dulu di sini." Firman mengangguk paham, pergi untuk mengecek masalah yang akan ia selesaikan nanti. Sudut bibir laki-laki bernama Ridwan terangkat sempurna selagi matanya menatap pekerja yang tampak bekerja begitu keras. Semua pekerjaan tidak ada yang instan semuanya pasti ada prosesnya sama seperti kebahagian.

Sesekali ia menyapa tukang, tidak  segan membantu mengambil pasir dan juga bata.  Ridwan kembali tersenyum, menepuk pelan pundak seorang tukang yang umurnya kisaran 40 tahunan. "Ayo, Mas, istirahat dulu. Makan sama-sama dengan saya di sana."

"Baik, Mas."

Ridwan membalikkan tubuhnya, tidak sengaja menabrak seseorang di belakangnya. "Maaf, Mbak, saya tidak sengaja." Ridwan mendongak, melihat siapa yang ia tabrak tadi. "Mas Ridwan?"

"Dinda?"

Ridwan melihat wanita itu dari atas hingga bawah, semuanya masih sama hanya saja Dinda yang berada dihadapannya sekarang lebih berisi. Dinda menundukkan kepalanya selagi mengusap perutnya yang membuncit di balik gamis berwarna abu-abu.

"Kamu?" Ridwan terdiam.

Dinda tersenyum. "Iya, Mas, saya lagi hamil dan saya alhamdulilah sudah menikah."

"Alhamdulilah, saya ikut senang dengarnya, Din."

Dinda menundukkan kepalanya, merasa bersalah akan kejadian 6 bulan yang lalu. Takdir membuatnya harus berbalik ke belakang, membatalkan pernikahan lalu kabur dari rumah.

"Saya minta maaf, Mas. Atas ulah saya, Mas sama keluarga menanggung malu karena saya membatalkan pernikahan 6 bulan lalu."

Ridwan menggelengkan kepalanya, ia tidak pernah menyesal karena kalau tidak, semua itu tidak akan terjadi. Mendapatkan istri sebaik Haliyah adalah anugrah terhebat dari Allah SWT.

Ridwan mengambil napas. "Saya sudah memanfaatkan kamu, Din. Masa lalu jangan ingat mungkin kita engga berjodoh."

Dinda tersenyum sekaligus terkejut, melihat cincin yang tersemat di tangan Ridwan dengan spontan ia bertanya. "Mas sudah menikah?"

Ridwan mengangguk, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Sudah, 6 bulan yang lalu."

Ridwan melanjutkan ucapannya. "Saya tidak batal menikah, Din, hanya saja di undur dan di ganti pengantinnya,"  canda Ridwan, Dinda tersenyum kecil masih merasa bersalah atas apa yang ia lakukan dulu.

"Maaf, Mas."

"Sudah, saya sudah bahagia sama seperti kamu. Kita berdua sudah memiliki kebahagian masing-masing, bukan?" tanya Ridwan.

Dinda mengangguk paham. "Ngomong-ngomong kamu ngapain di sini, Din?"

Dinda tersenyum, mengangkat rantang makanan yang dia bawa dari rumah untuk sang suami. Makanan sederhana yang ia buat dengan rasa cinta, Ridwan terdiam   bertanya-tanya di dalam hati. "Kebetulan suami saya  tukang  di sini, Mas, jadi saya anterin makanan itung-itung berhemat buat nanti bekal lahiran."

Ridwan masih terdiam, masih terkejut dengan perkataan Dinda. Yang ia tau keluarga laki-laki itu sangat kaya  dan juga sebaliknya. Lalu mengapa mereka jadi seperti ini?

"Saya pamit dulu, Mas, Assalamualaikum." Dinda membalikan badannya, namun suara laki-laki itu membuat langkah kakinya berhenti  lalu membalikkan tubuh kembali.

"Din, boleh saya ikut, saya ingin bersilaturahmi dengan suami kamu."

Dinda mengangguk. "Boleh, Mas."

_

Ridwan mengangguk saat mendengar penjelasan dari mulut laki-laki yang berada di depannya bernama Dave—suami Dinda. Dinda tersenyum, Ridwan tidak menyangka masalah yang di alami oleh mereka berdua sangat begitu berat. Dave mualaf, di keluarkan dari keluarga masing-masing karena mereka tidak  restui untuk bersama apalagi menikah dan sekarang Dave  banting tulang menjadi tukang dan pekerjaan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Semua masalah pasti ada solusinya dan juga tidak mungkin Allah memberikan masalah di luar batas kemampuannya.

"Dave, pekerjaan jadi tukang tidak cocok untuk kamu. Saya punya cafe tidak jauh dari sini, jika kamu berkenan saya akan senang hati menerima kamu kerja di sana."

Mata Dave berbinar, Dave mengusap wajahnya dengan tangan yang kotor. "Alhamdulilah, Mas, saya mau jadi pelayan juga engga apa-apa."

"Alhamdulilah."

"Mas!"

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang