.

2.6K 109 0
                                    

"Engga apa-apa, biar nanti jarak s kembar engga jauh. Nanti orang ngira kita punya kembar tiga beda usia."

Haliyah menatap suaminya dengan tajam setelah mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Ridwan. Suaminya dapat enaknya saja sedangkan ia kesusahan.

Wanita itu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.  "Kalau udah lahir anak ini Liyah engga mau tau, Liyah pengen KB aja. Jangan KB alami," ucap Haliyah, ia tidak mau coba-coba KB alami lagi. Takut kebobolan walaupun sudah menjaga kapan akan berhubungan suami istri.

Ridwan mengangguk, Ridwan juga sudah tidak ingin menambah momongan lagi untuk waktu yang dekat. "Jadi kita punya anak 3?"

Haliyah terdiam, ia mengangkat tangannya membentuk angka empat.

"Empat."

Ridwan mengerutkan keningnya. "Liyah pengen punya empat anak, tapi yang terakhir mau Haliyah selesai kuliah dan  si kembar udah gede."

Suaminya mengangguk.

"Kamu engga apa-apa Hamil lagi?" tanya Ridwan, laki-laki juga masih tidak percaya apa yang terjadi. Begitu sangat cepat.

"Liyah sedih, s kembar masih kecil dan harus minum susu formula." Haliyah kembali menangis.

"Liyah engga tega." Ridwan memeluk tubuh istrinya.

"Kemarin pas awal-awal mau punya anak susah banget, tiap hari Liyah nangis karena engga isi-isi. Dulu Liyah iri sama Mbak Dinda baru nikah sebulan udah hamil, Liyah udah beberapa bulan menikah belum." Haliyah menundukkan kepalanya, ia menceritakan semuanya tentang apa yang ia rasakan dulu. Bagaimana ia sering menangis dan merasa iri dengan Dinda.

"Sampai-sampai Liyah mikir apa Liyah ikhlasin Mas nikah lagi supaya punya anak."

"Dek." Haliyah hanya tersenyum.

"Liyah tau Mas pengen punya anak, tapi Mas engga bilang sama Haliyah."

"Mas engga mau nambah beban pikiran kamu saja."

Haliyah mengangguk. "Liyah tau, Mas orangnya pengertian dan Alhamdulilah Mas tidak menuntut apapun dari Liyah."

"Liyah tau Liyah kurang bersyukur harusnya Liyah lebih semangat lagi."

Ridwan tersenyum. "Semangat berhubungan badan, Dek?"

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Semangat berdoa, Mas. Ish, otak Mas isinya semua gitu pantes Liyah hamil lagi."

Suaminya mendengus kesal. "Di bahas Mulu, Dek."

"Liyah engga cape kalau ngomel soal itu. Soalnya Liyah kesal sama Mas."

"Lanjut yang tadi jangan bahas itu dulu."

Haliyah mengangguk. "Pas awal tau Liyah hamil rasanya tuh kayak bahagia banget tapi Liyah takut. Mas tau kan dulu kandungan Liyah lemah karena Liyah pernah jatuh."

"Hm."

"Tapi Alhamdulillah sampai sekarang lahiran Haffa dan Haffi sehat."

"Iya, kita harus banyak bersyukur sama yang ini juga." Ridwan mengelus perut Haliyah yang masih rata. Pantesan istrinya makin gemukkan ternyata Haliyah sedang hamil anak ketiganya.

"Tahun depan kita punya tiga anak, Dek." Ridwan tersenyum. Haliyah mendorong dada laki-laki itu dengan bantal yang ada di pangkuannya dengan cepat Ridwan membalikkan situasi memeluk tubuh istrinya dari belakang.

"Hey, jangan nangis," ucap Ridwan saat melihat ke samping, wajah perempuan itu sangat merah seperti akan menangis.

"Kalau nangis kayak s kembar, nanti ingusnya keluar."

Haliyah melepaskan tangan suaminya yang memeluknya dari belakang, membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Ridwan. "Kenapa kalau ingusan Mas udah engga mau lagi?"

Salah lagi.

Mood sangat menyebalkan.

"Mas tetap cinta kok."

"Mau kamu jungkir balik di hadapan Mas juga, kamu nomor satu buat Mas."

_

Haliyah mengendong Haffi, wanita pergi ke rumah orang tuanya setelah beristirahat terlebih dahulu. Untung saja s kembar tidak menangis, mereka sangat anteng jika bermain bersama dengan Opanya.

"Nanti kalau Adek sudah gede di perut engga bisa gendong kakak lagi," ucap Haliyah, sekarang ia menyebut s kembar menjadi Abang dan juga Kakak.

Bang Haffa

Kak Haffi

Ia mengelus kepala putrinya yang masih polos tidak ada rambut. "Ya  engga apa-apa, ya, Nak. Nanti kalau udah Kakak jalan Adek udah lahir nanti main sama-sama."

Anak itu malah mengoceh tidak jelas, membuat Haliyah yang tadinya sedih kini tersenyum kembali. Ridwan yang berada di ambang pintu tersenyum, ternyata memilih Haliyah adalah pilihan yang terbaik dari Allah.

Cup

Haliyah mendongak suaminya selalu mengecup keningnya di mana pun, seperti sekarang. Mereka berada di luar rumah orang tua Ridwan, bagaimana jika orang lain melihat nya.

"Kenapa, Dek. Mau nangis lagi?" tanya Ridwan.

Haliyah menggelengkan kepalanya. Berjalan mendekat kearah suaminya, membisikkan sesuatu di telinga kanannya. "Bilang apa, Dek?"

"Kamu ngidam pengen ketemu Bunda sama Ayah?" tanya Ridwan.

Haliyah mengangguk, ia sangat merindukan sekali orang tuanya. Haliyah rindu dengan sifat random ibunya yang menurun kepadanya, sayang sekali mereka sedang berada di luar negeri. Berita kehamilan yang sedang masih ia rahasiakan, Haliyah belum bercerita. Mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan juga alat komunikasi lainnnya.

"Nanti suruh pulang."

Haliyah mengangguk. "Sekarang aja, ya."

"Hm."

"Mas tolong ambil di saku, susah," ucap Haliyah, ia susah mengambilnya karena sedang mengendong Haffi.

Ridwan mengambil ponsel dan mulai menghubungi mertuanya. Terhubung, Haliyah langsung tersenyum. Ia sangat merindukan Ayah Bundanya sekarang.

"Bunda!" Haliyah berteriak membuat Haffi yang sedang tertidur terbangun, Ridwan langsung mengambil Haffi yang berada di gendongan istrinya. Membiarkan Haliyah mengobrol banyak dengan orang tuanya saat ini, pasti istrinya sangat merindukan mereka berdua.

"Astaghfirullah, Nak. Santai." Haliyah hanya tersenyum tanpa bersalah. "Kapan pulang?" tanya Haliyah, setiap mereka berteleponnan haliyah selalu bertanya orang tuanya kapan pulang.

"Satu Minggu kali, Nak."

"Besok engga bisa nih, Yah, Bun?"  Tanya Haliyah.

"Kayak engga bisa, Ayah masih ada urusan kalau sekarang. Biasanya satu Minggu lagi, emangnya ada apa? Ridwan engga macam-macamkan sama putri Ayah?"

"Dia macam-macam, Yah. Buat Liyah hamil lagi," ucap Haliyah di dalam hati.

Haliyah menggelengkan kepalanya. "Suami Liyah sangat bertanggung jawab, engga ada minusnya."

"Pernikahan pasti ada manis Dan pahitnya, Nak. Engga selalu manis  di awal kadang sebaliknya, jaga pernikahanmu jangan sampai berlubang. Kalau udah bolong susah lagi kalau di perbaiki, mengerti kamu Nak?"

Haliyah mengangguk, ia mengerti ucapan yang di lontarkan Ayahnya di dalam telepon. Saling komunikasi dan jaga komitmen di dalam pernikahan.

Pernikahan yang harmonis adalah pernikahannya dengan Ridwan.

Insyaallah.

Mas Rid! Nikah, yuk?  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang