Sore hari ini, Haliyah tampak mulai mengemasi barang-barang milik Ridwan yang hanya beberapa baju dan juga celana yang suaminya bawa.
Ia menyuruh laki-laki itu untuk kembali ke rumah dengan alasan ia akan menyusulnya besok kalau tidak ada kendala. Suaminya malah merajuk, Ridwan bahkan mendiamkannya dan mengatakan istrinya sudah tidak memperdulikannya lagi.
Haliyah hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas. Bukan tanpa alasan ia menyuruh Ridwan kembali terlebih dahulu, hanya saja ia takut merepotkannya karena jarak dari rumah Bunda menuju cafe sangatlah jauh. Haliyah hanya takut suaminya jatuh sakit, ia tak mau melihat suaminya dengan wajah yang pucat apalagi cuaca di ibu kota begitu tidak stabil kadang panas kadang hujan.
"Dek, nanti aja deh pulangnya." Ridwan mulai merengek, Haliyah menggelengkan kepalanya. "Liyah takut, Mas kecapean."
Ridwan menghela napas, sebenarnya rasa capenya akan langsung hilang jika bertemu dengan Haliyah. Ia juga tak merasa keberatan, karena ini memang sudah menjadi tugasnya. "Engga kok, Mas engga keberatan."
"Besok, Liyah juga pulang."
"Engga bohong," lanjut Haliyah.
Ridwan hanya menghela napas, ia tak boleh egois menyuruh istrinya pulang. Ia juga tak perlu khawatir tentang keselamatan dan juga kesehatan istrinya karena Haliyah berada di rumah orang tuanya. "Yasudah."
"Tapi Mas anterin kamu dulu ke kampus."
"Iya."
_
Haliyah mengecup tangan Ridwan sebelum keluar dari mobil milik laki-laki itu. "Jangan dulu keluar, Dek."
Haliyah yang akan membuka pintu mobil, langsung menghentikan aktivitasnya. Menoleh menatap laki-laki itu, Ridwan mendekat. Memeluknya dengan erat sembari mengecup keningnya beberapa kali.
Haliyah terdiam. "Kenapa, Mas?"
Ridwan melepaskan rangkulannya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang begitu indah seperti bulan sabit. "Mas masih rindu sama kamu, Dek."
Haliyah menghela napas lalu tersenyum. Ia sudah berpikir macam-macam tadi, rupanya suaminya bercanda. "Besok Liyah pulang kok, Mas."
Ridwan mengangguk. "Mas tunggu."
"Iya, Mas."
Haliyah mengecup pipi Ridwan singkat tak lupa mengucapkan salam sebelum keluar dari mobil. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melambaikan tangannya ketika mobil milik suaminya meninggalkan kampus.
Ia menghela napas, mengambil ponsel miliknya. Menghubungi Fika, gadis itu menginginkan baso yang berada di depan kampus tempat ia belajar sejak lima bulan yang lalu.
|Assalamualaikum, di mana lo?|
Ia masih mengunakan bahasa seperti dulu tidak ada yang di rubah walaupun ia sudah menikah.
Ponsel Haliyah berdering di tangannya, ia mengambilnya lalu mengeceknya.
|waalaikumsalam, belakang lo.|
Haliyah membalikkan tubuhnya setelah membaca pesan yang di kirimkan oleh Fika. Gadis yang di belakangnya berjalan kearahnya, Haliyah tersenyum ia menunjuk kedai baso yang ada di seberang jalan di sana.
Fika mengangguk sembari tersenyum. "Ayo."
"Bentar." Haliyah mengecek jadwal kuliahnya, masih ada satu jam lagi ia masuk. Fika melihat layar ponsel milik Haliyah lalu menghela napas, ia menepuk pundak Haliyah yang berada di depannya.
"Masih satu jam lagi, masih lama tenang aja."
Haliyah mengangguk, mereka mulai berjalan sedikit. Diam di tepi jalan, Haliyah yang berada di depan tampak terlalu tengah. Ia tidak memperhatikan arus laju kendaraan di depannya. Naas sebuah motor melaju terlalu pinggir kearahnya, Fika yang menyadarinya langsung menarik tangan Haliyah. Tapi sayang tubuh Haliyah lebih dahulu terserempet motor membuat Fika kehilangan tenaga untuk menarik Haliyah, membuat mereka terjatuh begitu keras dan tangan Haliyah tergores oleh aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Rid! Nikah, yuk? (End)
Espiritual|Follow akun sebelum membaca| Insyaallah, konflik ringan! Apa jadinya jika, seseorang gadis mungil mengajak laki-laki yang umurnya jauh di atasnya menikah? Tentang laki-laki bernama Ridwan Alamsyah, yang tiba-tiba dibuat terkejut oleh seorang gadis...