Bayi yang dulu masih kecil sekarang sudah besar, Haffa dan Haffi sudah mulai tengkurap.
Haliyah tersenyum haru saat melihat perkembangan buah hatinya, mereka berdua begitu bulat. Tangannya seperti roti dan pipinya begitu mirip dengan bakpao.
"Gempul banget." Haliyah mengecup pipi putrinya gemas, anak itu malah tertawa sembari menarik rambut Haliyah.
"Jangan di tarik, sayang."
Haliyah berusaha melepaskan rambutnya dari genggaman Haffi."Mandi dulu, ya. Sebelum Baba pulang." Haliyah mulai dari Haffa, anak laki-laki itu selalu menangis jika mandi dan juga dipakaikan baju sedangkan Haffi hanya diam saja.
"Jangan nangis, malu sama Haffi." Bayi laki-laki itu mulai tertawa , tapi saat Haliyah membukakan baju yang di pakainya. Tangisan Haffa mulai muncul, Haliyah menghela napas panjang. Sedikit repot tapi bagaimana lagi, ia lebih memilih merawat mereka sendiri daripada di rawat pengasuh.
Haliyah tidak mau jika putra putrinya dekat dengan orang lain tapi tidak dekat dengannya.
Beruntungnya Ridwan menyetujuinya, suaminya memiliki peran yang begitu penting sekarang. Laki-laki selalu membantu apapun pekerjaan rumah setelah pulang bekerja. Ada rasa kasihan melihatnya tapi laki-laki itu malah memeluknya katanya pelukan energi, aneh sekali suaminya.
"Jangan nangis, Dek. Nanti Haffa jatuh." Haliyah tidak fokus memandikan putra, Haffa malah terus menangis. Membuat Haliyah langsung membaringkannya di atas kasur.
"Udah selesai, sayang." Haliyah mengecup kening putranya.
Haffa sudah terbungkus oleh handuk biru miliknya, tangisan masih terdengar tapi sekarang pelan. Wanita itu langsung memakaikannya baju kemudian menyusuinya.
Tangan satu lagi mengelus putrinya yang tertidur saat ia memandikan Haffa. "Anak pintar, nanti mandinya sama Baba."
"Assalamualaikum." Ridwan membuka pintu kamarnya, langsung menghampiri istrinya. Memberikannya sebuah kecupan di keningnya.
Netranya melihat putra putrinya, sudut bibir itu terangkat penuh. Seperti energinya terisi penuh saat melihat mereka bertiga apalagi melihat putra putrinya yang begitu menggemaskan.
Ridwan tidak sabar melihat mereka berdua berlarian ke sana kemari mengejarnya. Ia memeluk tubuh istrinya dari belakang, wangi Haliyah begitu harum aroma tubuhnya bercampur dengan aroma minyak telon dan juga lainnya.
"Mas belum mandi."
"Bentar, Dek." Kepalanya laki-laki menyandar di punggung Haliyah. "Mas butuh vitamin."
"Sana mandi dulu." Ridwan menghela napas berat, ia menjauhkan tubuhnya dari istrinya. "Kamu udah mandi, Dek?"
Haliyah tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, senyum terpancar dari laki-laki itu. "Ayo mandi bareng."
"Engga, Mas aja sana."
Ridwan mulai merengek, ah kalau seperti ini Haliyah seperti mempunyai tiga anak. "Iya, iya."
Ridwan tersenyum kemenangan.
_
"Sini Mas keringkan rambutnya." Ridwan mengambil handuk kecil yang tadinya berada di tangan Haliyah kini sudah berada di tangannya.
Haliyah hanya terdiam saat rambutnya di keringkan. "Pelan-pelan Mas nanti rambutnya rontok."
Ridwan mengangguk, lebih pelan mengeringkan rambut istrinya. Menyisir rambut Haliyah yang tergerai panjang sepinggang. Surai itu begitu indah, hitam pekat dan juga wangi.
"Sudah." Haliyah mengangguk. "Makasih, Mas."
"Mana hadiahnya?" tanya Ridwan sembari tersenyum menggoda.
Haliyah tersenyum kecil sebelum menjatuhkan bibirnya di pipi laki-laki yang sedang berdiri di depannya. Satu kecupan mendarat di sana, Ridwan langsung tersenyum dan mengecup balik istrinya dengan gemas.
"Udah Mas, geli."
"Iya, iya."
Mereka memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang setelah mendengar suara rengekan buah hatinya. "Gimana Mas kerjaannya tadi?" tanya Haliyah, ucapan itu selalu terlontarkan Haliyah setiap hati setelah suaminya pulang. Laki-laki itu tidak bosan mendengar pertanyaan yang begitu-begitu saja tidak ada yang lain dan menarik.
"Alhamdulilah ramai, Dek. Mas kayaknya bakal buka cadang baru deh sama Dave."
"Wah, alhamdulilah Mas." Haliyah bersyukur usaha suaminya berjalan dengan lancar, cafe dan juga restoran juga ramai orang kunjungi.
"Tapi belum dapat lokasi yang bagus, Mas sama Dave udah cari tapi belum ada yang pas."
"Kalau cafe biasanya yang datang anak mudanya, Mas?" tanya Haliyah.
Ridwan mengangguk. "Iya, kebanyakan anak muda."
"Kalau begitu, lebih baik lokasi-lokasi dekat universitas sama sekolah Mas. Insyaallah banyak peminatnya," ucap Haliyah.
"Iya, Dek. Makasih sarannya, nanti Mas cari yang cocok."
"Katanya Kila mau ke sini, ya Mas sama Bunda?" tanya Haliyah kepada Ridwan. "Emangnya mereka mau ke sini?"
"Katanya Liyah kurang tau, semoga mereka ke sini deh."
"Aamiin." Haliyah sangat merindukan Bundanya, mereka berdua berada di luar kota. "Liyah kangen Ayah sama Bunda."
Ridwan mengusap pucuk rambut istrinya. "Nanti kita teleponnya, tanyain kapan pulang."
Haliyah mengangguk. "Iya, Mas."
_
Haliyah menyusun beberapa makanan ringan yang tadi ia beli, memasukkannya pada toples besar miliknya. "Mas sini deh cobain, enak loh."
Ridwan menghampiri istrinya, Haliyah menyuapi suaminya. "Enak engga?"
"Enak, Dek."
"Nanti simpan di kamar, ya, Dek."
Haliyah mengangguk. "Mas tutup ini dulu, Liyah mau bawa Haffa sama Haffi takut mereka jatuh kalau lama-lama di tinggalin."
"Iya, Dek."
Haliyah meletakkan kedua buah hatinya di stroller bayi, untung saja mereka tidak bangun jadi Haliyah bisa leluasa membereskan rumah sebelum Kila dan juga Bunda datang.
Haliyah menepuk keningnya, ia tidak ingat jika Haffi belum mandi. Ia langsung membawa Haffi ke kamar, Ridwan yang melihat istrinya langsung bertanya. "Mau kemana, Dek?"
"Mandiin Haffi lupa Mas." Haliyah tersenyum sebelum bergegas masuk ke dalam kamar.
Ridwan menggelengkan kepalanya, istrinya memang pelupa segala hal.
Mereka tidak memasak karena Bundanya selalu membawanya dari rumah. Mereka hanya tinggal makan, Ridwan menyapu lantai sudah kebiasaan sekarang membantu membereskan rumah.
Apalagi saat kedua putra putrinya sedang rewel, Ridwan turun tangan untuk memasak dan menyuapi istrinya yang sedang menyusui.
Ia tidak tega dengan istrinya sesekali Kila juga menginap di sini, membantu Haliyah jika ia lembur ataupun ketika kedua buah hatinya sedang sakit.
"Mas tolong bawain baju Haffi dong," minta istrinya, Ridwan langsung berlari ke kamar. Mengambil baju warna pink untuk putrinya.
"Nih, Dek." Haliyah menerimanya.
"Rambutnya udah tumbuh, ya, Dek?" tanya Ridwan ketika melihat rambut milik Haffi.
"Iya, Mas. Udah mulai tumbuh hitam lagi."
Haffa yang di tinggalkan sendirian di ruang tamu menangis, Ridwan langsung membawanya. Memberikannya pada Haliyah sedangkan Haffi masih ada di ranjang. "Haffi sama Baba, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Rid! Nikah, yuk? (End)
Espiritual|Follow akun sebelum membaca| Insyaallah, konflik ringan! Apa jadinya jika, seseorang gadis mungil mengajak laki-laki yang umurnya jauh di atasnya menikah? Tentang laki-laki bernama Ridwan Alamsyah, yang tiba-tiba dibuat terkejut oleh seorang gadis...