1

28.1K 1.2K 20
                                    

Annara meletakkan garpu yang ia pegang hingga berbunyi sedikit nyaring. Gadis itu menatap sang papa yang sedang duduk di depannya. Ia muak, saat sarapan yang seharusnya ia gunakan untuk mengisi energi agar dapat bekerja maksimal justru membuat mood nya hancur berantakan, hanya karena pertanyaan papanya.

"Kenapa? Apa papa salah jika menanyakan kapan putri papa akan menikah?" Pratama Sanjaya— papanya menatap dengan serius.

Annara berdecak, "Apa papa nggak bosen nanya itu terus?" Tanyanya tenang.

"Anna, kamu ini sudah dewasa, sudah saatnya kamu membangun rumah tangga. Nggak lihat saudara-saudara kamu sudah menikah? Bahkan teman kamu banyak yang sudah punya anak kan?"

Kekehan ringan keluar dari bibir Annara. "Setelah tau perselingkuhan yang papa lakukan di belakang mama, sekarang papa nyuruh aku nikah? Papa waras?!" Sentaknya.

"ANNA!!!"

Bentakan mamanya— Arshinta Sanjaya, tak membuat Annara gentar. Ia mengalihkan tatapannya tepat pada manik sang mama dengan berkaca-kaca.

"Apa ma? Mama mau bilang Anna anak nggak sopan? Mama mau bilang kalau bagaimanapun, papa tetap papanya Annara?"

"Mama benar, mau bagaimanapun papa tetap papanya Anna. Anna tau ma. Apa karena itu juga mama tetap memaafkan papa setelah apa yang papa lakukan? Karena mama ingin Anna tetap punya keluarga yang utuh kan?" Tambahnya dengan kekehan miris.

Ditempatnya, Tama mengepalkan tangan. Ia merasa tersinggung dengan ucapan putrinya, tapi sebisa mungkin ia menahan diri agar tak mengeluarkan emosinya. Bagaimanapun, ia memang salah.

"Papa sudah tidak melakukannya lagi nak. Maaf, papa saat itu khilaf," lirih Tama.

Lagi, Anna terkekeh. "Khilaf ya pa? Karena khilafnya papa itu, Anna hanya bisa menangis setiap mendengar kalian bertengkar. Anna tertekan setiap hari mendengar kalian cekcok. Karena khilafnya papa itu, Anna udah nggak percaya sama laki-laki. Apalagi pernikahan? Cih. Anna bahkan menganggap kalau semua laki-laki itu sama seperti papa," lirihnya.

Sudah setahun berlalu sejak terbongkarnya perselingkuhan sang ayah, namun sakit yang di rasakan Annara tetap sama. Bagaimanapun, seorang ayah adalah cinta pertama putrinya. Hampir semua anak perempuan menginginkan seorang suami yang seperti ayahnya bukan?

Lalu bagaimana dengan Annara? Apa ia juga ingin memiliki suami seperti papanya, dan merasakan sakit yang sama seperti mamanya?

Terkadang Annara merasa takut. Ia takut jika dirinya lah yang akan merasakan karma dari perbuatan papanya. Walau belum pernah mengalaminya sendiri, tapi melihat mamanya yang begitu hancur saat itu membuatnya ikut merasakan sakit yang luar biasa. Bahkan rasa kesal dan jengah juga hadir saat tau mamanya memaafkan papanya dengan begitu mudah, serta bersikap seolah tak pernah ada pengkhianatan di antara mereka.

Bodoh bukan? Atau mamanya itu terlalu mencintai papanya? Ah, banyak orang yang mengatakan jika cinta dapat membuat orang menjadi bodoh. Dan mungkin, itu benar.

Tak ingin berlarut dalam emosi, Annara bangkit mengambil tasnya lalu menatap papa dan mamanya bergantian.

"Anna hanya perlu menikah kan? Baiklah, Anna akan menikah. Papa dan mama saja yang mencarikan suami untuk Anna. Anna bisa kok menjalani hidup dengan orang yang tidak Anna cintai, atau bahkan yang belum Anna kenal sebelumnya. Bagaimanapun konsekuensinya, apa Anna bahagia atau tidak setelah menikah, Anna akan menanggungnya sendiri. Papa dan mama tidak perlu khawatir."

Setelah mengatakan itu, Annara membalikkan badan. Ia menghembuskan nafas, mengusap air mata yang mengalir dipipinya dengan kasar lalu melangkah untuk berangkat bekerja.

***

Sepeninggal putrinya, Tama dan Shinta masih tak beranjak. Keduanya sama-sama menatap sendu pintu utama yang baru saja di lewati Annara.

"Maafin papa ya ma? Karena perbuatan buruk papa itu membuat putri kita juga hancur, bahkan mungkin dia trauma," kata Tama dengan menunduk.

Shinta menepuk punggung tangan suaminya yang berada di atas meja dengan senyum tipis. Bahkan jika boleh jujur, ia pun masih merasakan sakit hati itu sampai sekarang.

"Mengenai perkataan terakhir Anna tadi, apa papa akan melakukannya?"

Tama tersenyum tipis, "Sebenarnya ma, papa sering bertanya kapan Anna nikah, apa ada yang Anna suka, atau papa minta dia membawa calonnya ke rumah. Itu bukan karena papa ingin mendesaknya segera menikah, atau papa malu karena di umur segitu dia belum menikah," jelasnya. Shinta menatap suaminya seolah bertanya.

"Alasan sebenarnya adalah karena ada salah satu kolega bisnis papa yang ingin menjodohkan putranya dengan Anna. Papa tidak bisa menerima atau menolak begitu saja, karena keputusan sepenuhnya ada pada Anna. Maka dari itu papa selalu menanyainya soal pernikahan, agar papa tau dia sudah punya calon atau belum. Kalau sudah kan papa bisa menemui kolega bisnis papa untuk menolak perjodohan itu."

"Tapi seperti yang mama lihat, putri kita itu seperti nggak memikirkan laki-laki sama sekali. Apalagi setelah tau perbuatan papa, dia malah semakin menutup diri. Dan tadi, dia bahkan sampai mengatakan hal seperti itu, menurut mama bagaimana?" kekeh Tama.

Shinta mengangguk, "Bagaimana kalau kita pertemukan mereka dulu pa? Kita tanya apa mereka berdua mau di jodohkan atau tidak." Tama mengangguk setuju dengan ucapan istrinya.

"Papa harap mereka mau ma. Papa yakin pria itu orang yang baik, dan bisa membahagiakan Anna. Sebrengsek apapun kelakuan papa, papa akan memastikan putri papa mendapatkan laki-laki yang terbaik."

***

Alih-alih melajukan mobilnya menuju tempat kerja, Annara justru berhenti di area taman yang tak jauh dari komplek perumahannya. Tangannya memegang setir, kepalanya ia pukulkan dengan pelan beberapa kali di setir mobilnya.

"Arghhh, Annara bodoh! Ngapain sih lo ngomong kayak gitu tadi, hah?!"

Gadis itu berteriak frustasi saat mengingat perkataannya saat di rumah tadi. Bagaimana bisa kalimat bodoh itu meluncur dengan begitu lancar dari mulutnya? Terlalu terbawa emosi membuatnya tak menggunakan otak terlebih dahulu sebelum bicara. Dan kini, ia merutuki kebodohannya sendiri.

"Kalo gue beneran di jodohin gimana? Jangan-jangan nanti yang di jodohin sama gue cowok yang jelek, yang perutnya buncit. Atau gue bakal di jadiin istri kedua? Big no!!"

Annara mengatur nafasnya yang berantakan, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kemudi. Hingga beberapa saat, perasaannya mulai tenang. Gadis itu beranjak keluar dari mobil dan berjalan menuju taman.

Tatapannya tertuju pada para pedagang kaki lima. "Hah, kayaknya beli jajanan sambil duduk santai di bangku taman bukan ide yang buruk," monolognya riang.

Sepertinya gadis itu akan membolos bekerja hari ini. Tidak masalah, karena restoran tempatnya bekerja adalah miliknya sendiri.

Terlepas dari kurang beruntungnya seorang Annara Yuvi Sanjaya dalam hal asmara, nyatanya gadis itu terbilang cukup sukses dalam karir. Di usianya yang sekarang, ia sudah memiliki restoran mewah yang ia rintis secara mandiri tanpa nama besar papanya. Restoran miliknya itu sering kali di sewa oleh para konglomerat maupun orang-orang penting untuk mengadakan acara.

Bahkan seringkali kliennya menawarkan untuk menjodohkan dirinya dengan putra atau kerabat mereka. Namun Annara tak pernah tertarik, gadis itu hanya menanggapi dengan senyuman lalu mengalihkan topik pembicaraan.

"Kenapa sih orang-orang pengen cepet nikah? Sedangkan jalan sendiri sambil hunting jajanan kayak gini udah bikin hati bahagia. Apalagi masih banyak seblak dan mie ayam di berbagai tempat yang belum di coba," celoteh Annara sambil mengunyah telur gulung yang tadi dibelinya.

"Ngomong-ngomong soal seblak, gue jadi pengen. Enak kali ya makan seblak jam segini."

Bayangan seblak yang begitu menggiurkan membuat Annara segera beranjak, membuang bungkus-bungkus jajanan yang tadi di belinya ke tempat sampah lalu berjalan menuju mobil untuk pergi ke warung seblak langganannya.

Nyatanya, si gadis pemilik restoran mewah itu lebih menyukai jajanan dan makanan lokal yang ramah dikantong dibandingkan dengan makanan mahal yang sering di konsumsi golongan kelas atas yang ia jual di restorannya.

TBC

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang