34

10.3K 582 22
                                    

Arshinta Sanjaya menatap nanar sang putra bungsu yang pergi begitu saja dari ruang makan. Wanita paruh baya itu jatuh terduduk di kursi, kedua tangannya terkepal erat di pangkuan.

"Ma, papa bisa jelaskan."

Mama Shinta terdiam, merasakan sentuhan lembut sang suami di pundaknya dari belakang. Kepalan tangannya semakin mengerat. Saat netranya terpejam, pipinya mulai basah oleh air mata.

"Bi, tolong ambilkan nampan. Saya mau bawakan makan malam untuk Aka," ucap mama Shinta pada salah satu maid yang masih berada di dekat meja makan.

Maid bernama Asri itu menatap kasihan pada sang nyonya sesaat, lalu segera pergi ke dapur. Meski sudah lama mengabdi, dan banyak tahu permasalahan yang sering di ributkan nyonya dan tuannya, tapi wanita tua itu cukup sadar diri untuk tidak ikut campur sedikitpun.

"Ma-"

"Papa makan sendiri nggak papa kan? Mama mau temani Aka makan di atas," sela mama Shinta cepat. Tangannya bergerak lincah memindahkan nasi beserta lauk pauk ke piring.

Setelah selesai, wanita paruh baya itu segera keluar membawa sendiri nampan menuju kamar putranya tanpa menoleh sama sekali pada sang suami yang menatapnya sendu.

"Tuan, mau saya ambilkan makanannya?" Tanya bi Asri yang di balas gelengan oleh sang tuan.

"Tidak perlu. Bibi bisa pergi."

Dalam kesendirian, Pratama Sanjaya menatap nanar deretan makanan yang tersaji hampir memenuhi meja makan.

Seharusnya, saat ini keluarga kecilnya beserta sang menantu tengah menyantap makan malam dengan hikmat, dilanjutkan dengan obrolan ringan dan hangat untuk mengobati kerinduan setelah lama tak bersua.

Namun kehangatan keluarga yang seharusnya tercipta, lagi-lagi rusak karena perbuatannya. Bahkan pria paruh baya itu kini mulai dilanda ketakutan. Ia takut puing-puing yang selama ini masih berusaha ia satukan meski sudah tak lagi utuh, akan kembali hancur dan tak dapat lagi di perbaiki.

Rasanya sesak, membayangkan putrinya yang saat ini pasti tengah menangis. Begitupun sang putra bungsu yang selama ini tak tahu apa-apa tentang masalah dalam keluarga, kini sudah mengerti keadaan yang sebenarnya.

Sebagai orang tua, ia selalu ingin di hormati dan di hargai oleh anak-anaknya. Selama ini-- setelah pengkhianatannya terbongkar-- meski tau dirinya lah yang bersalah, ia selalu marah dan tidak terima ketika Annara mengabaikannya.

Lalu sekarang, bagaimana dengan Naraka? Apa putranya itu juga akan menunjukkan tanda-tanda kebencian seperti sang kakak?

***

"Aka, mama bawakan makan malam."

Naraka berdecak, melirik ke arah pintu kamar yang masih di ketuk beberapa kali oleh mamanya. Ia memilih abai, lalu kembali fokus pada ponsel. Panggilannya sejak tadi pada kakak ipar dan kakaknya belum juga mendapat jawaban.

"Aka. Mama akan tunggu disini sampai Aka buka pintunya." Mama Shinta kembali bersuara.

"Mama pengin makan malam sama Aka."

Pemuda itu menyerah, meletakkan kembali ponselnya di nakas lalu berjalan gontai ke arah pintu. Sebelum membukakan pintu, ia menghela napas beberapa kali untuk meredam emosi yang masih bergejolak dalam dadanya.

"Aka nggak lapar ma," ucap Naraka sesaat setelah pintu terbuka.

"Tapi mama lapar, boleh kan mama makan di sini? Nanti Aka mama suapin, mau?"

Naraka mengangguk malas, mengambil alih nampan berukuran cukup besar dan berat dari tangan mamanya. Setelah meletakkan nampan di meja, ia kembali menegakkan badan dan hendak berbalik arah tapi tangannya lebih dulu di tahan.

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang