Di tengah tidurnya yang lelap, Annara terpaksa bangun dan langsung berlari ke kamar mandi lantaran perutnya tiba-tiba bergejolak. Sarapan yang tadi ia makan bersama Darren di kamar, kini keluar lagi.
Wanita itu membasuh mulutnya yang terasa pahit seraya menatap penampilannya yang berantakan di cermin. Lagi-lagi seperti ini. Ia seringkali mual dan muntah saat Darren sudah pergi ke kantor.
Bahkan makanpun, hanya bisa tertelan saat bersama sang suami.
Maka dari itu, Annara setiap hari selalu mengantar bekal ke kantor agar bisa makan bersama, dan sering menitip jajanan untuk dimakan berdua sepulang suaminya itu bekerja.
Bagaimanapun, Annara tetap butuh asupan makanan untuk tenaga dan kesehatan. Jadi saat bersama Darren, ia selalu makan banyak agar tak kekurangan nutrisi. Itupun kalau pada akhirnya tidak dimuntahkan lagi seperti sekarang.
Setelah membasuh wajah dan merasa lebih baik, Annara segera turun ke dapur untuk memasak makan siang setelah melihat jam yang menunjuk angka 10.
"Mbak Anna baru bangun?" Bi Rida menyapa Annara yang baru sampai di dapur. "Mbak pucet banget lho. Muntah lagi?"
Annara mengangguk lesu sebelum mendudukkan diri di kursi bar. Setelah mualnya hilang, kini malah kepalanya yang terasa pening.
Bi Rida meletakkan teh madu di depan sang nyonya. "Mbak, kayaknya tebakan saya bener lho. Mbak Anna ini hamil," ucapnya sambil memberikan pijitan ringan di pundak Annara.
"Coba testpack dulu saja mbak, masalah positif atau tidak itu tergantung rezeki. Yang penting mbak Anna memastikan dulu. Kasihan mbak kalau taunya telat, nanti takutnya malah kenapa-kenapa, karena setau saya nutrisi buat ibu hamil itu beda mbak. Dulu pas saya hamil, bu bidan juga selalu rutin kasih banyak vitamin buat kesehatan si janin."
Memejamkan mata, Annara menikmati pijatan di pundaknya dan fokus mendengarkan ucapan bi Rida.
Benar juga. Jika ia tidak segera memastikan perihal kehamilannya, nanti bisa saja berakibat buruk bagi janin maupun dirinya sendiri.
"Bi, minta tolong ambilkan testpack saya di kamar ya. Di tas yang biasa saya bawa ke resto, kayaknya masih saya taruh sofa," pinta Annara.
Pijatan bi Rida berhenti, lalu wanita paruh baya itu menggeleng. "Aduh ndak berani saya mbak, kan saya tidak pernah masuk kamar mbak Anna," ucapnya.
Seperti saat di rumah orang tuanya, Darren pun memberlakukan hal yang sama di rumah ini. Maid boleh masuk dan membersihkan semua ruangan di rumah ini kecuali kamar mereka, dan Annara pun tak keberatan dengan itu.
Maka tak heran, jika bi Rida menolak saat ia suruh ke kamar karena maid itu tidak pernah masuk sebelumnya.
"Kalau gitu, antar saya ke kamar ya bi. Saya lemes banget, pusing juga."
***
Pada akhirnya, bi Rida yang mengalah mengambilkan testpack di kamar tanpa Annara karena majikannya itu tidak memungkinkan untuk kembali ke kamar yang berada di lantai dua dalam keadaan lemas.
"Mbak Anna nanti saja ya pakainya, istirahat dulu. Mbak tambah pucat lho," ucap maid bernama Tika sambil memapah Annara ke kamar tamu.
"Nggak papa bi. Saya masih kuat kok." Annara tersenyum samar saat melihat bi Rida sudah kembali dengan membawa beberapa testpack digenggamannya.
Kedua maid itu saling pandang dengan tatapan khawatir. Namun meski begitu, mereka tetap menjalankan permintaan Annara untuk mengantarnya ke kamar mandi.
"Tika. Kamu tungguin mbak Anna ya. Aku mau buatkan bubur sama minuman dulu." Bi Rida segera pergi ke dapur setelah mendapat anggukan dari rekan kerjanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANNARA
RomanceSejak mengetahui perselingkuhan yang dilakukan sang ayah di belakang ibunya, Annara tak lagi mempercayai pernikahan. Kekecewaan yang teramat besar membuatnya menganggap bahwa laki-laki dan cinta hanya akan membawanya pada penderitaan. Namun sayang...