48

7.5K 387 26
                                    

Membuka kaca samping, Annara memejamkan mata menikmati semilir angin khas pedesaan. Walau hawa dingin cukup menusuk, tetapi terasa menenangkan.

Suasana malam di jalan raya daerah pedesaan seperti ini memang tak ramai seperti di kota. Kanan kiri jalan masih di dominasi oleh perbukitan, dan persawahan sehingga peneranganpun cukup minim. Hanya berasal dari beberapa lampu jalan, dan beberapa bangunan serta rumah warga.

Sayang sekali mereka tiba disini saat hari sudah gelap, sehingga pemandangan hijau bukit dan sawah yang memanjakan mata tak begitu terlihat.

"Mbak, tidak dingin?"

Pertanyaan sopir itu membuat Annara menoleh ke depan. "Eh, apa bapak kedinginan karena kacanya saya buka?" Tanyanya merasa tidak enak.

"Saya sudah biasa non," ucap sopir itu seraya melirik ke belakang.

"Tapi sepertinya suami mbak yang kedinginan."

Ah, hampir saja Annara lupa kalau saat ini sang suami tengah tertidur nyenyak di pundaknya. Dengkuran halus yang sejak tadi terdengar menandakan bahwa si pemilik tubuh itu kelelahan.

"Bapak capek tidak? Kalau capek bisa rehat dulu sambil ngopi," tawarnya.

Tangan Annara bergerak cepat menutup kaca, mengambil jaket Darren yang sejak tadi disampirkan di sandaran kursi untuk menutupi tubuh bagian atas Darren agar tak kedinginan.

"Tidak usah mbak. Sebentar lagi kan sampai." Sopir itu terkekeh melihat Annara yang memeluk Darren dan ikut memejamkan mata.

"Mbak mau sampai kok malah ikut tidur?"

Annara tersenyum tipis, dan menarik tubuh Darren agar semakin menempel.

"Saya nggak tidur pak, cuma merem aja."

***

"Kok rumahnya pada bagus-bagus ya? Jalanannya juga alus semua," gumam Darren.

Annara terkekeh, melirik suaminya yang menengok ke kanan dan kiri secara bergantian hanya untuk melihat rumah warga di desa kakeknya.

Pria itu seperti anak kecil yang tengah mengagumi sesuatu. Padahal beberapa saat yang lalu, tepatnya ketika mobil yang mereka tumpangi berbelok memasuki gapura desa tempat kakek neneknya tinggal, Darren terbangun tiba-tiba karena kaget mendengar klakson yang dibunyikan pak sopir sebagai tanda sapaan pada para pemuda yang nongkrong di sekitar gapura.

Seperti biasa, tangan Annara tergerak merapikan rambut ala sarang burung Darren yang khas ketika bangun tidur.

"Jangan salah mas. Orang-orang desa banyak yang kaya loh. Ya walaupun masih ada beberapa yang kurang mampu, tapi hidup mereka jauh lebih baik daripada orang-orang pinggiran yang ada di kota." Annara kini mendapat atensi penuh sang suami.

"Ibarat kata kalau di desa, misal kita nggak punya lauk, kita masih bisa makan dengan sayuran yang di kasih tetangga kalau ada yang panen. Dan disini walaupun kerja gajinya kecil, tapi tetep cukup karena biaya hidup juga terjangkau. Rumah juga milik sendiri, nggak perlu bayar sewa. Bahkan air bersih pun bisa dapet dari sumber pegunungan."

Darren manggut-manggut mendengar penjelasan istrinya.

Terbiasa hidup di kota sejak lahir, Darren tak pernah tau bagaimana kehidupan orang pedesaan. Ia pikir desa tempat tinggal kakek neneknya Annara yang katanya di kaki gunung itu seperti desa terpencil yang terbelakang, dengan rumah bergaya kuno. Namun ternyata banyak rumah yang cukup mewah, pun dengan kendaraan yang bagus-bagus.

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang