54

6.9K 363 19
                                    

Setelah satu minggu berlibur di desa, kini Darren dan Annara sudah menginjakkan kaki kembali di ibukota. Keduanya berjalan dengen menggeret koper di tangan masing-masing.

Saat berangkat mereka hanya membawa 1 koper berisi baju dan perlengkapan, tapi sekarang saat pulang bertambah 1 lagi koper berisi makanan.

Entah apa yang di bawakan mbah uti dan mbah kakung serta beberapa tetangga di dalam sana, nanti akan mereka bagikan pada keluarga dan para maid di rumah.

"Lah, yang jemput supir baru ternyata." Darren mengejek sang adik yang sudah menunggunya di samping mobil.

Darrial berdecak, melirik Darren dengan sinis sebelum mengambil alih koper dari tangan kakak iparnya. Ah, jangan lupakan wajahnya yang langsung jadi berseri-seri.

"Kak Anna. Rial kangen tau," adunya saat memeluk Annara dengan sebelah tangan yang tak memegang koper.

"Lain kali ajakin Rial dong kalo kemana-mana. Rial nggak nyusahin, beneran."

Tampang dan suara Darrial yang sengaja di imut-imutkan membuat Darren mual hingga telapak tangannya secara spontan maju meraup wajah glowing sang adik.

"Jijik banget lo, bocah!!" Hardik Darren sambil menjauhkan Annara dari Darrial.

Tak ambil pusing dengan Darrial yang menatapnya penuh permusuhan, Darren segera membuka pintu belakang dan mengajak istrinya masuk meninggalkan dua koper begitu saja.

"Pak supir. Kopernya taruh bagasi sana. Jangan di banting!" Perintahnya seraya melongokkan kepala.

Darrial yang baru menyadari kedua koper dan posisi sang kakak yang sudah duduk manis di bangku penumpang kini semakin mendidih.

"Pindah depan nggak lo, bang!! Enak aja, lo pikir gue supir?" Darrial mengetuk kaca belakang yang sudah di tutup.

Di dalam, Annara mencubit perut sixpack Darren. "Mas bantuin sana adeknya, kasian. Kopernya kan berat."

"Nggak usah sayang. Buat apa gunanya ngegym tiap hari, sering naik gunung, kalo ngangkat koper dua biji aja nggak bisa," ujar Darren sambil mencari posisi nyaman di bahu Annara.

"Mas Darren."

Jika Annara sudah memanggil namanya dengan lembut dan bernada rendah, itu artinya alarm tanda bahaya sudah berbunyi.

Darren jadi gelagapan sendiri. Ia segera mendekat ke arah pintu mobil dan membuka kaca tanpa berniat keluar melaksanakan perintah.

Buat apa susah-susah membantu kalau ia tau jurus andalan yang tak akan tertolak oleh seorang Darrial Devantara.

"Nggak usah ngambek! Cepetan sana angkat, nanti gue transfer dua digit!"

Benar saja, air muka Darrial yang semula keruh kini berubah cerah dan berbinar. Bagi Darren wajah adiknya saat ini mirip dengan Tuan Krab ketika melihat dollar.

"Gitu kek dari tadi," ucap Darrial seraya mengangkat satu koper di bahu.

Darren berdecak, lalu kembali menutup kaca dan menduselkan kepala di ceruk leher sang istri.

"Udah beres kan sayang?" Darren menaik turunkan alis.

"Dasar!!"

***

"Bang, eyang bukannya orang Jawa juga ya kayak mbahnya kak Anna? Kok kita nggak pernah di ajak ke kampungnya? Gue kan juga pengen naik kebo, nyari keong, bajak sawah pake sapi." Darrial melirik kedua kakaknya dari kaca atas, sebelum berdecak dan kembali fokus pada jalanan.

Jujur saja Darrial geli dengan abangnya yang hobi nemplok pada Annara tanpa tau tempat. Kan, Darrial jadi pengin juga.

Sayangnya dari semua gadis yang ia gebet, belum ada yang benar-benar bisa membuatnya bucin sampai ingin nemplok terus-terusan. Yang ada ia malah gampang bosan.

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang