58

6.7K 330 83
                                    

Dua jam sebelumnya..

Senyum sumringah terus terpatri di wajah Darren yang menenteng kantung kresek berisi satu box mochi berbagai rasa di tangannya. Sebelum memakai helm, ia lebih dulu menyantolkan kresek itu di stang kiri bersama dengan berbagai jajanan yang tadi ia beli. Tentu saja, mayoritas jajanan itu rasa matcha sesuai request Annara.

"Mbak sekali lagi makasih ya. Semoga usahanya lancar terus," ucap Darren pada pemilik toko yang sedang mengunci pintu.

Tadinya saat Darren datang, toko baru saja di tutup. Namun untungnya wanita itu masih mau melayani Darren.

"Sama-sama mas. Hati-hati ya, salam buat istrinya di rumah. Semoga suka sama mochinya." Wanita itu tersenyum ramah.

Meski kepulangannya harus tertunda karena membuatkan pesanan Darren, tetapi wanita itu tidak keberatan. Apalagi di tambah embel-embel 'pesanan istri'. Ia langsung menebak kalau istri lelaki itu mungkin tengah ngidam.

"Terima kasih mbak. Saya duluan ya." Darren membunyikan klakson sebelum pergi dari sana.

Jalanan yang lengang karena memang sudah tengah malam, tak lantas membuat Darren kebut-kebutan. Ia harus slow agar jajanan pesanan Annara tidak berantakan karena terombang-ambing kena angin.

Hingga tak berselang lama, laju kendaraan Darren semakin memelan dan akhirnya berhenti begitu melihat pemandangan yang tersaji beberapa meter di depannya.

"Lah, itu orang mau di begal?"

Mata Darren menyipit, memperhatikan dengan seksama di mana ada dua laki-laki jelek berpakaian ala preman sedang menarik paksa seseorang dari motor sport nya.

Ia terbelalak, begitu menyadari si pengendara motor ternyata adalah orang yang ia kenal.

"Si anjing!! Itu Bara kan ya?" Pekiknya heboh.

Awalnya, ia ingin segera menolong. Namun saat menyadari si korban adalah Bara, ia jadi sedikit ragu atau lebih tepatnya tidak sudi.

"Lumayan, tontonan gratis." Darren cekikikan. "Kapan lagi liat si Baranjing gelut."

Tanpa melepas helm fullface nya, Darren membungkukkan badan hingga lengannya bertumpu pada tangki motor dan menonton 'duel' yang tidak seimbang di depan sana.

"Jago juga si Baranjing," gumam Darren terus memperhatikan bagaimana Bara menghadapi dua preman itu.

"Tunggu-"

Kembali menegakkan badan, Darren menangkap sebuah keanehan. Sepertinya dugaannya salah. Dua preman itu bukan begal!

Jika mereka memang begal, kenapa mereka tidak segera mengambil motor itu padahal sudah sejak awal Bara menjauh dari motor dan tanpa mencabut kunci.

"Anjing! Mereka bawa piso!" Darren memekik begitu melihat salah satu preman itu mengambil pisau lipat dari saku.

"Wah nggak bisa di biarin! Kalo si Baranjing meninggoy, musuh gue ntar ilang dong? Mana musuh gue cuman dia doang," gerutunya seraya mengambil ponsel untuk menghubungi bodyguard ayahnya agar datang menyusul.

"Tolongin aja lah. Kasian pak Arya, anak lakinya cuma sebiji itu doang."

Darren terlalu gengsi untuk mengakui kalau sebenarnya ia masih peduli dan ingin menolong Bara. Siapapun dan bagaimanapun orangnya, rasa kepedulian Darren tidak pernah pandang bulu. Mana mungkin ia diam saja ketika ada orang yang mau di bunuh di depan matanya? Jika ia hanya diam dan tak berbuat sesuatu, ia tidak ada bedanya dengan pelaku.

Tepat saat Darren mulai menggeber motor dan melajukannya, Bara jatuh tersungkur setelah kakinya di tendang dengan kuat oleh salah seorang preman.

Bara meringis, merasakan kakinya yang ngilu dan dadanya yang sesak karena di injak. Yang tak di sadari oleh Bara adalah, salah satu preman bersiap mengayunkan pisau lipat untuk menghujam jantungnya.

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang