50

8K 410 18
                                    

Mencium aroma masakan yang menggugah selera, Annara yang baru saja keluar kamar langsung bergegas turun menuju dapur. Ia berlari kecil, mendekat pada sang nenek yang tengah berdiri di depan kompor, lalu memeluknya dari belakang.

Cup

"Pagi utiku sing ayu dewe (yang paling cantik)," sapa Annara setelah mencium pipi mbah uti.

Tak mau kalah, mbah uti pun membalas dengan kecupan bertubi-tubi di pipi cucu perempuan satu-satunya.

"Wangine putuku (wangi sekali cucuku).  Ndak kedinginan kamu jam segini sudah mandi, nduk?"

Annara melepas pelukan dan berpindah ke samping.

"Dingin uti, tapi seger. Anna bangunnya kesiangan uti," ujarnya seraya melihat jam yang menunjuk angka 06.25.

Entah karena kelelahan atau apa, tapi tidur Annara terlalu nyenyak. Di tambah lagi dengan udara yang dingin, membuatnya susah lepas dari pelukan Darren.

"Halah, nduk. Mau kamu bangun ngko bedug yo rapopo, ra bakal tak seneni (nanti siang ya tidak apa-apa, tidak akan ku marahi)." Mbah uti mencubit gemas pipi cucunya. Sedangkan yang di cubit malah nyengir lebar.

"Pagi, budhe. Budhe lagi masak apa?" Sapa Annara pada budhe Marni, tetangga sekaligus ART yang bekerja di rumah ini.

Karena mbah uti yang sudah sepuh, mama Shinta meminta budhe Marni yang rumahnya tepat berada di seberang jalan, untuk membantu mengurus dua rumah uti.

Budhe Marni akan datang pagi untuk bersih-bersih dan masak. Jika semua tugasnya sudah selesai beliau sudah boleh pulang. Untuk gaji, mama Shinta lah yang mengirimkannya ke nomor rekening budhe Marni setiap minggu.

"Budhe masak jangan lodeh (sayur lodeh), nduk Na. Kamu doyan to?"

Annara berbinar. "Doyan budhe. Apalagi di tambah gerih asin (ikan asin), wah mantap!" Girangnya seraya mengacungkan jempol.

Budhe Marni tertawa, lalu menabok pantat Annara seperti yang biasa ibu-ibu lakukan jika sedang gemas.

"Lha nanti bojomu mau ndak, nduk Na? Orang kota, nanti mual kalau makan gerih asin."

"Mau lah budhe. Mas Darren itu apa-apa masuk. Cuman ya dia alergi udang budhe, jadi Anna minta tolong ya budhe kalau masak jangan ada bahan udangnya," pinta Annara.

Ia meraih satu buntal tempe lalu membukanya dengan semangat. Selain dikemas dengan plastik, tempe disini juga ada yang di buntal menggunakan daun pisang yang dilapisi kertas dan di tali menggunakan batang padi kering. Rasanya pun jauh lebih enak di banding tempe dalam kemasan plastik.

Sebelum meraih tempe yang kedua, mbah uti lebih dulu menjauhkannya dari tangan Annara.

"Ndak usah bantu-bantu nduk, wong sudah hampir selesai, yo Mar?" Budhe Marni mengangguki ucapan mbah uti.

"Gawekno kopi bojomu wae, nduk. Terus gugahen (bangunkan), waktunya sarapan. Habis itu boleh tidur lagi," lanjut mbah uti.

Melihat budhe Marni yang sudah memasukkan santan, tandanya sayur lodeh sudah hampir matang. Adonan tepung untuk tempe pun sudah siap. Sepertinya pekerjaan yang tersisa hanya tinggal menggoreng tempe dan ikan asin yang baru saja ia request. Annara beranjak mengambil cangkir dan membawanya ke meja tempat kopi dan gula berada.

Budhe Marni bahkan masih sempat merebuskan sedikit air di panci kecil untuk menyeduh kopi.

"Mama papamu wes sampai rumah belum, nduk?"

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang