51

7.6K 380 17
                                    

"I have a pen, i have an apple. "

"Ah, apple pen."

"Itu mangga bukan apel," ralat Annara sedikit keras.

Ia menatap jengah pada Darren yang bernyanyi memperagakan lagu itu dengan mangga di tangan kanan dan pisau kecil di tangan kiri.

Pluk

Wanita itu mundur satu langkah begitu mangga yang semula di pegang Darren jatuh tepat di depan kakinya. Semakin geram, Annara kembali mendongak. Matanya menyorot tajam pada sang suami yang meringis sambil mengelus dada.

"Eh, aduh sayang nggak kena kan??" Darren melongok ke bawah, lalu kembali menatap pisau di tangannya.

"Kamu sih ngagetin, untung bukan pisaunya yang jatuh."

Laki-laki itu belum menyadari tanda-tanda singa betina akan mengamuk. Bukannya lekas turun, Darren malah kembali berdiri dan bersiap pindah ke dahan lain untuk memetik mangga lagi.

"Mau ngapain, heh!!" Annara kembali berteriak sambil berkacak pinggang.

Darren melihat kebawah. "Mau metik lagi, sayang. Kan yang itu jatuh." Dagunya menunjuk mangga yang sudah retak di tanah.

Padahal mangga yang belum cukup matang itu terlihat sangat menggiurkan, sayangnya harus jatuh sebelum masuk ke perut.

"Nggak ada mangga-manggaan lagi. Turun nggak?" Annara persis seperti ibu yang memarahi anaknya yang nakal.

"Mas masih pengin, Anna."

Pegal karena terus mendongak, Annara menundukkan kepala. Tangannya memijit pelipis, cukup pusing melihat tingkah sang suami.

"Kamu udah 2 jam nangkring di situ, mas. Turun ayo, bentar lagi gelap," ucap Annara dengan sisa kesabaran yang kian menipis.

"Tapi sayang..."

"Farhan!! Tadi mas Darren sudah habis mangga berapa?!"

Farhan yang sudah tidur, langsung terhenyak hingga nyaris jatuh. Untung saja refleksnya bagus, jadi ia bisa langsung berpegangan. Lagipula ia sudah terbiasa tidur di pohon seperti ini.

Darren gelagapan, melirik Farhan yang berada di pohon sampingnya lalu menggeleng sebagai kode agar Farhan tak buka mulut.

"A-anu mbak. Ndak tau e, tadi katanya mas Darren mau makan satu. Tapi tak tungguin luama ndak turun-turun, yowes tak tinggal turu." Farhan menguap sebelum turun dari pohon dengan lincah.

"Wes lah mas Darren, turun. Wes arep magrib, ra ilok (sudah mau magrib, pamali)."

"Ini mbak Na, tadi tak pekne sing (tak petikkan yang) sudah matang. Enak lho ini, manis," rayu Farhan dengan menyerahkan satu kantong kresek berisi mangga yang tadi sempat ia petik sebelum ketiduran.

Annara menggeleng. "Buat kamu aja, Han. Bawa pulang sana," tolaknya.

"Ndak mau, mbak. Wong tiap hari aku sudah metik terus, tak bawa pulang juga." Farhan menunjuk beberapa pohon sekitar. "Buah-buah disini sama mbah kung ndak pernah di jual mbak, bebas kalau mau metik kapan saja. Ya kalo musim mangga begini, aku mbi cah-cah (dan teman-teman) ya metik hampir tiap hari."

Di belakang rumah, tempat mereka berada saat ini memang banyak sekali buah-buahan yang mbah kakung tanam. Ada beberapa pohon mangga berbagai jenis, durian, rambutan, nangka dan banyak lagi.

"Yowes, makasih ya Han." Annara menerima kresek yang kembali di sodorkan Farhan

Farhan mengangguk malu. Remaja tanggung itu salah tingkah melihat senyum menawan Annara, di tambah lagi Annara kini malah mengusap rambutnya untuk membuang kotoran dan jaring laba-laba yang menempel.

ANNARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang