2b

952 101 9
                                    

Yuhuu epery boday, karya ini bisa dinikmati juga di Karyakarsa dengan akun Shimajiwanta. Di sana Babnya lebih banyak.


✨✨✨

Gema bangkit. "Masih ada kesempatan," katanya sambil pergi mencari cermin. Begitu di hadapannya adalah cermin, "Wah! Gadis ini cantik sekali. Mata hazel, rambut hitam, body aduhai." Gema tergelak. Tawanya menular pada pelayan. "Dia memang ...." Kalimatnya terputus karena Gema langsung jatuh pingsan.

Gema tak benar-benar pingsan sebenarnya, dia hanya berusaha tak sadarkan diri. Berharap kalau dia membuka mata, semua akan kembali normal seperti sedia kala.

Kenapa bisa aku di sini? Kenapa pula aku di tubuh Cyteria Laura? Gema merintih dalam hati. Merasa tidak adil di tempatkan dalam keadaan seperti ini.

Bukti-bukti mengarah pada satu pemikiran yaitu Gema masuk ke dunia novel yang dibuatnya sendiri. Ingin bangga dan senang, jika saja bukan cerita ini, juga bukan Cyteria Laura yang menjadi tempat jiwanya berada.

Ya, mengapa harus cerita ini? Mengapa juga harus Cyteria Laura? Mengapa bukan cerita yang berakhir bahagia?! Kenapa Tuhan?! Apa salahku?!

Mendadak tubuh Gema yang rebahan di lantai terasa melayang. Dua lengan kokoh nan hangat menenangkan hati, telah mengangkatnya. Begitu kuat, nyaman, dan membuat aman seolah tak perlu merisaukan kejadian sial. Namun, baru saja memikirkan hal itu, hal tak terduga terjadi.

Si pengangkat tubuh Gema, tersandung sesuatu. Gema yang tadinya merasa aman kini harus merasakan benturan keras lantai marmer. Dia jatuh terguling-guling.

Gema mengumpat. "GEMPREENG!" Dia mengadu sakit, mengelus kepala yang menjadi korban-paling-tersakiti dibanding bagian tubuh lain.

"Maaf-maaf, kamu tidak apa-apa?"

Bagai ada angin surga, Gema tercengang dan berhenti mengelus keningnya. Warna suara itu sangat lembut, berbeda dengan milik Uzumaki Slamet. Bukan pula milik Papa Widagdo. Jadi siapa gerangan pemilik suara itu?

Gema menoleh menggunakan efek lambat. Kelopak matanya berkedip pelan. Aura menyilaukan dari tubuh lelaki asing di depannya, membuat gadis itu terpana. Dia menikmati setiap pemandangan yang tertangkap oleh penglihatan. Menikmati setiap pahatan alam yang dimiliki lelaki itu.

Apa aku di surga sekarang? batin Gema. Ada bidadara di depan mata. Oh, Tuhan thank you so much. I love you Tuhan.

Lelaki itu membenarkan kacamatanya yang menurun karena gravitasi nakal. Gema gemas, ingin sekali mencopot benda berkaca itu, agar jelas ketampanan yang terpampang nyata.

"Cyteria kamu tidak apa-apa?" tanya lelaki itu lagi.

Panggilan nama "Cyteria" sekonyong-konyong menghancurkan kebahagiaan Gema, meremukkannya tanpa sisa. Kalau diumpamakan, seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong, menikmati kesegaran udara luar, tapi langsung dimakan oleh ayam jantan. Ditelan hidup-hidup tanpa perlu mendengar jeritannya. Menyedihkan.

"Ya, aku baik-baik saja, kok," tukas Gema seraya mencoba berdiri.

Tangan lelaki itu terulur, hendak menyentuh tangan Gema, membantu niatnya. Sayang, semua urung karena kecepatan kalah oleh tangan pelayan. Lagi-lagi Gema harus menelan pahitnya kekecewaan.

"Maafkan saya, Nona. Maafkan saya juga Tuan Enrda," kata Slamet.

Gerakan Gema mematung berkat kalimat terakhir yang keluar dari mulut Uzumaki Slamet. Penyebutan nama itu menusuk sampai ke jantung gadis itu. Ingin menangis kencang kalau begini.

Slamet melanjutkan, "Sekali lagi maafkan kelalaian saya karena tidak langsung merapikan kursi, kalau saja ...."

"Tidak apa-apa, Slamet." Enrda tidak mempermasalahkan. Gema semakin yakin kalau lelaki itu memang Enrda Cakrawala. Protagonis pria yang menjadi perebutan oleh Cyteria dan Sajani. Bukankah terlalu tampan dan amat sayang untuk diabaikan?

"Aku ingin istirahat," bisik Gema pada Slamet. Suaranya serak dan bergetar. Mati-matian menahan tangisan.

Slamet sigap membawa Gema. Mungkin di pikiran pelayan itu menganggap Nonanya tengah dirundung malu. "Saya pamit permisi, Tuan Enrda. Kalau Tuan hendak mencari Tuan Widagdo, beliau ada di ruang kerjanya."

Enrda mengangguk paham. "Baiklah aku akan ke sana. Cyteria," Sempat menyapa, "Sekali lagi maafkan aku. Kalau begitu beristirahatlah."

Gema tak menjawab, tapi diwakilkan oleh Slamet. Mereka berdua meninggalkan ruang makan sekaligus Enrda.

"Nona tidak bertanya kenapa ada Tuan Enrda ?" Slamet memulai percakapan dalam perjalanan mengantarkan Gema.

Gema sebenarnya tak berminat bertanya hal itu, karena dia sudah tahu apa keperluan Enrda ke rumah Cyteria malam ini. Tak jauh-jauh dari perbincangan tentang persiapan pertunangan. Papa Widagdo yang menitah kedatangan Enrda.

✨✨✨

Lanjut iklan. Eak. Monggo mampir 💃💃💃

refyura

yappleich

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

yappleich

Jangan lupa vote comment uhuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote comment uhuk

#salamkonco

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang