“Sebaik—." Telinga Gema bergerak, menangkap resonansi kecil. "Kamu mendengarnya, Cy?"
"Ya. Seperti seseorang yang merapalkan sebuah mantra dalam bisikan."
Gema mencoba lebih fokus untuk menangkap suara itu. Dia mulai mencari, berjalan, mencari asal suara, tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang menahan bahunya.
Gema menjerit. Si pelaku seketika membungkam mulut dan muncul ke hadapan.
Nalendra?
Terkadang Gema jadi ngeri karena lelaki ini selalu muncul tiba-tiba bagai jelangkung kurang kerjaan. Bahkan selalu di waktu dan tempat yang bisa dibilang tak wajar.
"Kan, sudah aku bilang." Nalendra tersenyum. "Di mana ada kamu, pasti ada aku. Ya, kecuali itu rumahmu dan kamar mandi. Dua wilayah itu sulit kudekati." Sekarang lebih mengerikan karena dia seolah bisa membaca pikiran.
Gema menjauhkan telapak tangan Nalendra dari bibirnya. Alis berkerut tidak suka. "Sedang apa kamu di sini?"
"Justru aku yang bertanya sedang apa kamu di sini? Sekarang sudah waktunya pelajaran. Aku disuruh mengambil buku tugas yang lupa dibawa oleh tunanganmu."
Ketika Nalendra berkata 'tunangan', saat itulah wajahnya berubah sangat dingin. Pancaran dari rasa sangat tidak suka.
Gema tersadar sesuatu. "Bukannya pelajaran Pak Enrda di jam ke tiga?"
"Mana aku tahu." Nalendra mengendikkan bahu. Lantas berbalik, memasukkan kedua tangan ke kantong celana dan berjalan menjauh. "Tanya saja sendiri padanya. Dia bahkan sempat menanyakan keberadaanmu yang belum ada di kelas."
"Tunggu, Nal. Aku mau tanya sesuatu?"
Tanpa berhenti, Nalendra hanya bergumam mengganti kata tanya 'apa'. Mau tidak mau, Gema terpaksa mengikuti. Gadis itu berjalan tepat di belakang.
"Kamu mendengar suara aneh tidak? Eh, jangan berhenti tiba-tiba, dong. Untung rem kakiku masih kuat, kalau tidak dahiku akan mengalami kecelkecelan. Salah, maksudnya kecelakaan." Bisa-bisanya lidah Gema terpelintir. Memalukan.
"Kenapa kamu mengikutiku?" Nalendra menjeling.
"Ya karena aku ingin menanyakan hal itu."
Lelaki itu berbalik, memupus jarak. Gema kelimpungan, mundur perlahan.
"A-apa?" Gadis itu mendadak takut. Aura Nalendra menakutkan, seperti lawan yang akan mencekik musuhnya. "A-aku tidak berbuat apa-apa?"
Wajah Nale berubah ceria. "Kalau begitu bantu aku." Setelahnya putar badan dan pergi.
Gema menyemburkan napas lega. Mengelus-elus dada, menenangkan detak jantung yang memompa darah begitu cepat. "Tadi itu apa, Cy? Kenapa wajah Nalendra bisa semenakutkan itu. Bahkan kalau dijabarkan dalam kata-kata sudah seperti monster."
"Menurutmu, suara itu berasal dari Nalendra?"
Pertanyaan Cytera membuat Gema ikut-ikutan menghubungkan kejadian itu dengan keberadaan serta ekspresi Nalendra yang mendadak aneh.
"Menurutmu begitu? Tapi—" Gema melihat kepala Nalendra yang mengintip dari belokan selasar." Ah, maaf aku akan cepat ke sana!" serunya seraya melayangkan langkah terburu-buru. "Kita bicara lagi nanti, Cy."
Ruang guru tampak lengang, tapi bukan berarti sepi orang. Ada dua guru yang bercengkrama di pojokan. Sepertinya belum ada mata pelajaran yang diajar.
Kedua siswa itu mencolok di ruang guru sehingga Pak Darmaji, salah satu guru, menanyakan keperluan mereka berdua.
Nalendra yang membuka suara. "Pak Enrda menyuruh saya mengambil buku tugas kelas Akselerasi yang tertinggal, Pak."
"Oh, anak akselerasi. Bagus-bagus. Ya, sudah lanjutkan tugas kalian. Eh, sebentar. Cyteria, ada yang ingin Bapak bicarakan sebentar."
Gema memandang Nalendra, sayangnya lelaki itu tidak balik melihat dan justru pamit permisi. Mau tak mau Gema harus menghadapi Pak Darmaji yang kalau bicara, ludahnya suka menciprat.
"Berbanggalah," sindir Cyteria. "Begitu-begitu, Bapak Darmaji adalah karakter yang kamu buat. Kalau boleh tahu kenapa kamu membuatnya?"
Entahlah, Gema lup—tidak jadi lupa. Sekonyong-konyong ingatannya merasuk.
"Pak Darmaji tidak keluar di Novel 'Empat Cinta, Lima Petaka', tapi beliau keluar di Novel 'Suka-suka Cinta' yang bergenre Teenlit komedi. Beliau yang membuat dua tokoh jadi sering terkena semprot dan wajib cuci muka."
Cyteria menggumam paham. "Itu berarti tokoh-tokohmu memiliki setting tempat yang sama denganku. Lalu kenapa kamu tidak mencari dan menyapa mereka?"
Itu dia masalahnya. Gema terlalu fokus untuk bertahan hidup, jadi dia mana ada waktu memikirkan tokoh-tokoh lain yang dibuatnya.
"Jadi kenapa, Cyteria?" Suara Pak Darmaji masuk ke telinga, menyadarkan Gema.
"Aduh, anak ini. Sejak tadi Bapak komat-kamit kamu tidak mendengarkan?"
🌟🌟🌟
Maaf ya atas keterlambatan up-nya. Ngehiks. Maaf-maaf
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I a Villain?! (TAMAT)
HumorAku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh! ~Gema Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang b...