7c

540 76 0
                                    

Ucapan terima kasih seketika mencuat dari bibir bocah itu. Dia berlari pergi dengan senyuman yang menular. Berteriak kegirangan memanggil nama-nama yang dia kenal.

Berlanjut langsung ke tukang becak. Gema menyuruh Nale memberikan kerupuk dan salak kepada mereka.

"Dimakan, ya, Pak. Bagi-bagi sama yang lainnya," ucap Gema.

Ada sesuatu yang tak Gema sadari, yaitu air muka Nale yang kini menatapnya dengan tatapan yang bisa dibilang agak berbeda dari sebelumnya. Kalau bisa diartikan, mungkin lelaki itu tengah terkesima.

Begitu beres, mereka segera pergi. Tepat di gerbang pasar, langkah Gema mendadak berhenti ketika suara drumben memasuki pendengaran.

"Ada parade," terang Nale. Lantas langsung menggamit pergelangan tangan Gema. "Ayo, kita lihat."

Gema tidak menolak ajakan. Tidak pula marah, sebab pikirannya tersedot ke masa lalu.

Dia teringat Arzakuna lagi. Seperti sekarang, Gema pernah bolos sekolah. Dan pasti mengajak Arzakuna, sahabatnya. Mereka pergi ke sawah, belakang Pabrik Batu bata. Memanjat pohon nangka yang kira-kira sepuluh meter tingginya. Hanya demi menonton acara gerak jalan umum yang diselenggarakan pihak desa sebagai acara memperingati Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Karena waktu itu Gema dan Arzakuna kebagian masuk siang —karena sekolah dalam masa renovasi— mereka memutuskan membolos. Dibanding gerak jalan antar sekolah, lebih seru gerak jalan umum. Mereka memiliki tema yang unik. Entah itu sesederhana gerombolan Emak-emak berdaster, atau Bapak-bapak pakai sarung. Atau malah yang paling ditakuti Arzakuna yaitu JaOng, Jajaran Orang Bencong.

Reaksi Arzakuna pastilah gemetaran. Itu juga sebabnya mereka lebih sering menonton di atas pohon. Salah satu alasannya agar tak ada bencong yang mengejar Arza.

Gema tertawa geli mengingat bagaimana Arza masuk sungai demi menghindari para bencong.

Suara Nale menginterupsi kesadaran. "Kamu suka dengan parade ini? Apa perlu kita berfoto dengan gitapati?"

Gema langsung menggeleng, berwajah kaku. "Tidak perlu." Tak lupa melepaskan tautan tangan. Dia sadar, sekarang tak sedang bersama Arzakuna.

Arzakuna, desah Gema, lemas. Tiba-tiba aku merindukannya.

Mata Gema menangkap penjual es potong. "Ar, kenapa banyak hal yang justru mengingatkanku padamu?"

"Ar, siapa?" Nale kumat, merusak kenangan.

Gema segera menyingkirkan tubuh Nale dari hadapannya. "Minggir, kamu menghalangiku membeli es potong. Pak, dua."

Belum juga es potong menjejali mulut Gema, otak sudah berhasil mengidentifikasi rasa dingin, manis, dan pahit cokelat melalui kenangan. Lumer begitu saja. Sensasi yang membuat ketagihan. Apalagi di bawah terik Matahari. Makan sepuluh pun rasanya masih kurang.

Tatkala Gema menoleh ke kanan, gadis itu memergoki Nale mengamatinya. Terlalu intens. "Kenapa? Pengin? Jangan nanti diabetes." Lama Gema menunggu pesanan, tapi penjualnya masih sibuk menangani pembeli lainnya.

Nale meneleng, mempertahankan senyuman. "Oh, benarkah? Tapi senyumanmu lebih membuatku diabetes."

Oek! Gema seketika ingin muntah lagi. Seakan dalam perutnya, para cacing mendadak diare bersama. Teracuni oleh racun mematikan bernama gombalan bocah.

"Ya, sudah. Sekarang kamu pergi biar tidak terserang diabetes. Soalnya aku tidak bisa mengontrol wajah semanis ini." Gema pura-pura batuk ringan. “Anu, Pak. Tidak jadi,” katanya pada penjual, kemudian berlalu pergi. Nale mengejar, teguh pendirian.

"Kita akan ke mana lagi?" tanya Nale. "Ke kolam renang?"

"Mesum," tuduh Gema, terus mengayunkan tungkai.

"Eh? Bukankah tempat favoritmu itu kolam renang?"

"Siapa bilang?" Gema terhenti, begitu juga Nale. "Itu, sih, tempat favorit Cyteria bu—." Sial! Dasar mulut! Memang perlu dikunci dengan linggis. Terlalu durhaka terhadap otak. "Ah, lupa—."

Gema balik badan, sekonyong-konyong sebuah tamparan menyambutnya. Memaksa kasar wajah tertoleh ke kanan. Rasa panas menjalar perlahan kemudian disusul denyutan menyakitkan.

"Jauhi adikku!" jerit si pelaku mengalahkan terompet rusak.

Kini Gema harus merasakan dua hal: pipi dan telinga menjadi korban tragis kejadian ini.

✨✨✨

Ahem. Pengumuman. Cerita ini InsyAllah akan tayang dua minggu sekali dimulai dari hari ini. Sekian terima gaji. Wkwka. Nah, biar enggak terlampau rindu, pembaca bisa langsung ke KaryaKarsa dengan akun Shimajiwanta

Semangat literasi semua. ❤️

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang