5a

632 76 0
                                    

Bab 5. Waduh!

Ketika kamu merasa lelah, maka berbaringlah, tapi jangan di bawah tanah.

✨✨✨
Lima belas, empat belas, tiga belas ....

Gema memelototi jam tangan di pergelangan, menghitung mundur dalam hati. Sayangnya dia meleset. Angka menit sudah berganti sebelum mulut menuntaskan bilangan satu. Dengan dirundung kesal, Gema mengulang dari lima puluh sembilan.

Beginilah hidup. Ketika kita merasa bahagia, waktu terasa berjalan begitu cepat. Hal itu juga berlalu untuk sebaliknya, akan terasa sangat lama karena merasa merana. Yang ditunggu Gema hanya bel pulang. Karena dengan berderingnya tanda itu, berarti dia bisa terbebas dari plot dunia ini dengan melaksanakan misi kabur babak tiga.

Usia memang mempengaruhi daya ingat. Gema benar-benar lupa di bab berapa sekarang berada. Apakah baru mulai atau malah sudah mendekati klimaks? Jika sudah mendekati klimaks, maka butuh beberapa hari saja hidupnya akan berakhir di tangan para remaja berdarah dingin itu.

Waktu membuat cerita "4 Cinta, 5 Sempurna", Gema mengerahkan kegilaan, kesadisan, dan tidak memanusiawikan tokoh-tokoh pada puncak cerita. Itulah kenapa cerita berakhir sad ending.

Gema mendesah, sesekali melirik ke papan putih -yang sekarang dipenuhi coretan-dengan tetap setia menghitung.

Ternyata tiga kegagalan yang terjadi dalam satu hari, mengguncang batin Gema. Tadi pagi waktu Ernda memergokinya memakai celana, Gema hanya beralasan rok terkena tumpahan minuman salah satu siswa, lalu siswa itu bertanggung jawab dengan membelikan rok di Koperasi, tapi tidak ada. Terpaksa beli celana daripada tidak sama sekali. Ya, tentu saja itu hanya cerita bualan karena yang sebenarnya terjadi, Gema membelinya sendiri tanpa terjadi situasi buruk itu.

Atmosfer kelas tak ada beda dengan awal kedatangan Enrda, meski sudah berganti guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Marta, panggilan hormat seluruh warga sekolah. Namun, sering ditambah Bak di belakang sebagai bahan ejek ketika beliau tidak ada. Sejarahnya sederhana, karena beliau selalu makan bekal dengan menu itu.

Kali ini beliau sibuk menerangkan penggunaan huruf kapital. Bagi Gema pelajaran ini sudah di luar kepala. Sebagai penulis, ilmu Puebi itu makanan sehari-hari.

Gema ketahuan menguap dan tak mengindahkan penjelasan Bu Marta. Alhasil dia dipanggil.

"Cyteria Laura!"

Pada saat itu Gema tak menggubris. Pikirnya bukan nama "Gema" yang dipanggil. Jadi dia santai dan malah ikut celingukan mencari keberadaan Cyteria.

Ishan yang memang duduk dekat Gema, melempari tatapan perintah saat mereka tak sengaja berserobok pandang. Gema baru sadar, lantas berdiri dan berseru, "Iya, saya!"

Bu Marta mendengus. Untungnya tidak berubah bentuk jadi hewan bersuara Mooo. Beliau memberi pertanyaan, "Sebutkan penggunaan huruf kapital, Cyteria!"

Ah, kecil! Gema menarik napas dan menjelaskan dengan angkuh. "Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat, nama orang, hari, bulan, tahun, nama agama, kitab, dan Tuhan. Awal kalimat dalam petikan langsung ...." Gadis itu terus melanjutkan.

"Baiklah-baiklah, cukup," kata Bu Marta dengan wajah lelah. "Pasti kalian sangat bosan dengan ilmu yang diulang-ulang, kan? Tapi percayalah bahwa ilmu yang tak diasah akan berakhir sama dengan pisau tumpul. Itulah mengapa Ibu mengulang pelajaran ini."

Sepertinya Bu Marta salah paham terhadap sikap Gema tadi. Padahal bukan itu latar belakangnya dia tak acuh atas pelajaran.

"Kalau begitu, kita langsung ulangan daripada terus materi," perintah Bu Marta seketika.

Terkutuklah kesombongan, penyebab segala dalih akan kejadian buruk yang menimpa makhluk ciptaan Tuhan. Gema mengeluh dalam hati. Ujian hidup bertambah lagi. Ya, kalau yang keluar hanya pelajaran Puebi, Gema akan tenang. Tetapi itu takkan mungkin, kan? Mengingat pelajaran Bahasa Indonesia mencakup juga karya puisi. Dalam hal ini, gadis itu agak kurang.

Bel pulang akhirnya berdering nyaring. Gema ingin bersorak kalau saja diri ini tak diawasi oleh mata-mata para protagonis pembenci antagonis.

Tanpa membuang waktu, Gema langsung memasukkan asal semua alat tulis dan buku, lantas berlari keluar kelas. Tak peduli dengan panggilan Nale yang menyuruhnya menunggu.

"Menunggu entutmu, a?" umpat Gema saat menuruni tangga. Dua kaki terus mengayun cepat. Menyusuri koridor sekolah. Sebelum sampai ke gerbang, Gema sempatkan memakai jaket di hari yang terik.

Kalau saja aku tidak dijemput oleh supir Papa Wi, mungkin aku takkan memakai jaket di bawah amarah Matahari seperti ini.

Waspada, Gema memasang tudung jaket dan memakai masker, menyelip di antara siswa-siswi yang pulang. Terus berjalan, menyeberang jalan raya, lalu memasuki gang kampung.

✨✨✨

*Monggo: silakan atau mari.

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang